Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAIFUN krisis moneter yang bermula di Thailand, pada 2 Juli 1997, dengan cepat mengempaskan negeri-negeri tetangganya, bahkan jauh ke Korea Selatan. Hanya dalam semalam, kurs mata uang Thailand, baht, terhadap dolar Amerika Serikat terdepresiasi sampai 25 persen. Dua pekan kemudian, rupiah ikut lurut dan jatuh paling dalam. Sampai awal November, ketika Dana Moneter Internasional (IMF) masuk ke Indonesia, kurs rupiah sudah jatuh lebih dari 30 persen.
Namun pemerintah tampaknya terlalu menganggap sepele krisis ini. Dalam pidatonya di DPR, pada 16 Agustus 1997, Presiden Soeharto mengatakan bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih kuat. Menurut Menteri Keuangan saat itu, Mar’ie Muhammad, IMF pun menganggap krisis di Indonesia pada level moderat, sebagai imbas dari yang terjadi di Thailand. ”IMF under estimate,” kata Mar’ie kepada Tempo, belum lama ini.
Dalam kenyataannya, krisis Indonesia jauh lebih parah dari yang diperkirakan banyak pihak. Upaya pemerintah dan Bank Indonesia menahan gejolak kurs, dengan melebarkan pita intervensi, ternyata gagal. Kurs rupiah terus bergerak ke posisi Rp 2.800-an per US$ 1, dari awal Juli sekitar Rp 2.437 per US$ 1. Indonesia akhirnya mengikuti jejak negara korban krisis dengan mengambangkan kurs rupiah pada 14 Agustus 1997.
Pada saat yang hampir bersamaan, Bank Indonesia mulai menerapkan kebijakan uang ketat dengan menaikkan suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI). Selama Juli-Agustus 1997, BI empat kali menaikkan suku bunga SBI, dari di bawah 10 persen pada awal Juli, sampai di kisaran 20 persen pada akhir Agustus 1997. Langkah ini kemudian diikuti kenaikan suku bunga kredit, termasuk pinjaman antarbank.
Hasilnya memang terlihat langsung. Rupiah, yang sempat hendak menembus level Rp 3.000 per US$ 1, perlahan-lahan turun hingga Rp 2.600-an. Namun efeknya cuma sejenak. Kebijakan uang ketat itu ternyata tak hanya menghentikan pergolakan rupiah, tapi juga memukul dunia usaha. Naiknya suku bunga membuat dunia usaha mandek. Mereka tak sanggup lagi berproduksi karena biaya produksi naik—terutama yang berbahan baku impor—dan beban pembayaran bunga juga melonjak.
Padahal sebagian besar perusahaan papan atas Indonesia sebelumnya sudah jungkir balik menghadapi utang luar negeri. Perusahaan-perusahaan ini terutama bergerak di sektor properti. Sebagian besar dari mereka menggunakan pembiayaan dolar tapi penghasilannya rupiah. Pada Maret 1998, utang luar negeri swasta Indonesia mencapai US$ 72,5 miliar, dan setahun kemudian bertambah menjadi US$ 81,5 miliar.
Indonesia pun mengundang IMF. Keputusan ini diambil dalam sidang kabinet pada 8 Oktober 1997. Presiden Soeharto ketika itu meminta Profesor Widjojo Nitisastro menyiapkan bahan terkait dengan IMF. Letter of intent pertama diajukan pada 31 Oktober 1997. Sebagai kompensasinya, Indonesia mendapat pinjaman siaga US$ 10 miliar dari IMF. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia juga menyediakan US$ 8 miliar.
Ada beberapa strategi yang dipilih IMF untuk Indonesia. Strategi itu antara lain memulihkan kepercayaan dan menahan laju penurunan kurs rupiah, memperkuat kerangka ekonomi makro, pengetatan kebijakan moneter, reformasi sektor finansial, dan reformasi struktural. Salah satu strategi IMF yang kemudian justru memperparah krisis adalah penutupan bank pada 1 November 1997.
Ketika itu, pemerintah menutup 16 bank tanpa didukung sistem penjaminan yang memadai, seperti dilakukan Korea Selatan dan Thailand. Dalam sidang kabinet pada 3 September 1997, pemerintah memutuskan hanya membayar deposan sebesar maksimal Rp 20 juta. Kabar pun menyebar tak keruan bahwa pemberangusan bank masih akan terus berlanjut. Akibatnya, penarikan dana besar-besaran (rush) melanda sejumlah bank.
Antrean panjang setiap hari terlihat memenuhi gerai bank atau ATM. Duit mengalir deras dari perbankan ke masyarakat. Gubernur Bank Indonesia ketika itu, Soedradjad Djiwandono, menceritakan, ”Setiap sore, dari kamar kerja, saya melihat uang kertas dimasukkan ke tumpukan peti kayu bekas di khazanah (gudang uang) BI. Makin lama tumpukan peti makin tinggi karena rush tak berhenti.”
Bank Indonesia, sebagai lender of the last resort, pun terus memompa duit melalui bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ke perbankan untuk memulihkan kepercayaan. Sampai 1999, tidak kurang dari Rp 178,6 triliun dialirkan Bank Indonesia ke bank-bank yang bermasalah. Toh, sia-sia. Bahkan, ketika pemerintah meluncurkan program penjaminan mulai 26 Januari 1998, rush tak juga berhenti.
Memasuki 1998, krisis Indonesia makin teruk. Penandatanganan letter of intent kedua, pada pertengahan Januari, dilakukan sendiri oleh Soeharto di depan Direktur Pelaksana IMF, Michel Camdessus, yang bersedekap. Foto itu kemudian menghiasi media massa keesokan harinya. Mar’ie bercerita, dalam LOI kedua ini, tim ekonomi sangat sedikit dilibatkan. Soeharto sendiri yang berbicara dengan Deputi Direktur Pelaksana IMF, Stanley Fischer, tanpa melibatkan Mar’ie dan Gubernur BI Soedradjad.
Presiden juga langsung mengambil alih komando pemulihan ekonomi dengan menjadi Ketua Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan. Soeharto dibantu Widjojo. Mar’ie merasa bahwa Soeharto tidak lagi mempercayai tim ekonominya. Tak lama kemudian, pada 19 Januari 1998, Soedradjad diberhentikan sebagai Gubernur Bank Indonesia.
Isu penerapan Currency Board System (CBS) pun tiba-tiba merebak. ”Saya bilang ke Pak Harto bahwa masalah kita adalah nilai tukar,” kata Fuad Bawazier, yang menjadi Menteri Keuangan pada 1998. Karena itu ia mengusulkan agar Indonesia menganut CBS dengan rupiah di-peg pada kurs Rp 5.500 per US$ 1. Tapi ide Fuad kandas, dan resep IMF dipakai untuk menghalau krisis.
Pada awal 1998 itu, Soeharto memang menjadi titik sentral pemulihan ekonomi. Namun, sejarah mencatat, tahun itu juga merupakan titik nadir perekonomian Indonesia selama Orde Baru. Keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada April 1998 memicu kerusuhan sosial berkepanjangan, dan berujung pada Mei berdarah. Ribuan orang tewas, dan pada 21 Mei 1998 Soeharto menyatakan mundur.
Tapi krisis tak juga surut. Bank terus bertumbangan. Sampai Maret 1999, pemerintah sudah menutup 48 bank. Pada kurun waktu itu, perbankan memang seperti jago yang kehilangan dua tajinya sekaligus. Nasabah kabur, para debitor menunggak utang. Total kredit macet di perbankan swasta dan pemerintah yang diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional—yang dibentuk pada 26 Januari 1998 untuk menangani restrukturisasi perbankan dan kredit macet—mencapai Rp 340,7 triliun.
Dunia industri menyusul kolaps. Sebagian karena terempas dolar, sebagian karena tak sanggup membayar bunga utang dan dibelit kredit macet. Sebagian yang lain tutup karena tak sanggup membeli bahan baku. Pelarian modal makin menjadi-jadi setelah kerusuhan rasial pada Mei 1998. Rupiah terjun bebas sampai Rp 17 ribu per US$ 1. Suku bunga SBI melonjak hingga 70,8 persen pada Juli 1998.
Konsumen pun menjerit karena harga bahan kebutuhan pokok melejit. Harga susu melambung lebih dari dua kali lipat. Begitu juga harga mobil dan rumah. Inflasi pada 1998, yang mencapai 77,36 persen, dengan jelas menggambarkan kondisi harga barang pada tahun itu.
Mulailah kegelapan melingkupi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi minus 13,7 persen pada 1998. Pengangguran meningkat. Jumlah orang miskin bertambah, dari 34,5 juta jiwa (11,3 persen) pada 1996 menjadi 49,5 juta orang (24,2 persen) pada akhir 1998. Perekonomian Indonesia persis rumah kartu: ketika satu roboh, yang lain berluruhan.
Proses pemulihan kemudian dibebankan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Lembaga inilah yang ditugasi memperbaiki perbankan Indonesia yang babak-belur dihantam krisis. BPPN juga yang merestrukturisasi kredit macet yang diserahkan perbankan. Tapi BPPN meninggalkan pekerjaan rumah begitu banyak. Proses penjualan aset bermasalah, dan pelunasan utang para konglomerat, juga tidak tuntas. Kini berbagai hal itu dipersoalkan oleh Kejaksaan Agung.
Krisis juga meninggalkan beban utang dalam negeri yang luar biasa besar. Pada saat krisis, obligasi pemerintah—sebagian karena BLBI, sebagian lagi berasal dari kredit macet—mencapai sekitar Rp 650 triliun. Kini jumlahnya malah lebih besar, sekitar Rp 779 triliun. Warisan itu akan terus muncul di APBN Indonesia dalam bentuk pembayaran bunga utang dalam negeri. Beban ini baru berakhir pada 2030.
”Loh, swasta kan harus melindungi utang valasnya yang banyak itu. Dari total utang luar negeri US$ 140 miliar, sekitar US$ 82 miliar milik swasta. Kalau lagi enak memang suka lupa hal penting.” Soedradjad Djiwandono, Gubernur BI Kabinet Pembangunan VI (Maret 1993–Maret 1998)
”Resep-resep yang diberikan Pak Widjojo yang sangat mendukung IMF itu semuanya racun. Itu semuanya adalah kebalikan dari yang seharusnya kita lakukan. Tak heran, negara tambah sengsara.” Fuad Bawazier, Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII (16 Maret 1998–23 Mei 1998)
”Resep-resep yang diberikan IMF berdasarkan berbagai analisa, memang, banyak yang kurang tepat. Alasannya, IMF menyamakan permasalahan di semua negara. Tetapi, menyalahkan semata-mata IMF atas krisis ekonomi panjang di Indonesia sebaiknya jangan dilakukan.” Mar’ie Muhammad, Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VI (Maret 1993–Maret 1998)
Cuci Gudang Sepanjang Jalan
November 1997 Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad mengumumkan Pencabutan Izin Usaha 16 (enam belas) Bank Umum di Gedung Utama Sekretariat Kabinet, Jakarta, di antaranya Bank Pinaesaan, Bank Anrico, Bank Andromeda, Bank Astria Raya, Bank Harapan Sentosa, Sejahtera Bank Umum, Bank Jakarta, Bank Mataram Dhanarta, dan Bank Pacific. Para deposan di bank-bank itu hanya mendapat penggantian dari pemerintah sampai dengan Rp 20 juta per rekening. Hal ini memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional sehingga terjadilah penarikan besar-besaran (rush) simpanan di bank.
Agustus 1997 Pemerintah mengucurkan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank yang mengalami penarikan besar-besaran (rush) simpanan. Per 31 Desember 1997, jumlahnya mencapai Rp 47,7 triliun, kemudian menggelembung menjadi Rp 119 triliun pada Mei 1998. Posisi BLBI pada Desember 1998 mencapai Rp 147,7 triliun. Namun, saat dilakukan kesepakatan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur BI pada 6 Februari 1999, posisi BLBI direvisi menjadi Rp 144,54 triliun.
Januari 1998 Pemerintah mengeluarkan peraturan tentang penjaminan secara menyeluruh dana nasabah dan pinjaman perbankan nasional (blanket guarantee system) dengan Keppres Nomor 26 Tahun 1998. Sistem ini memberi jaminan kepada para deposan tanpa batas dan juga memberi penjaminan pada bank-bank dalam negeri bagi utang-utangnya.
Pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang bertugas melakukan restrukturisasi aset dan penjualan aset para obligor yang diambil alih. Sebanyak 31 bank yang dilikuidasi diserahkan ke BPPN.
April 1998 Pemerintah membekukan kegiatan operasi tujuh bank (Bank Beku Operasi/BBO) dan pengambilalihan tujuh bank oleh BPPN (Bank Take Over/BTO).
Agustus 1998 Pemerintah mengumumkan paket restrukturisasi perbankan yang menyeluruh, yang meliputi pembangunan kembali perbankan yang sehat dan percepatan restrukturisasi perbankan. Pemerintah juga membekukan kegiatan operasi tiga bank dan tetap memberlakukan BTO terhadap empat bank dengan rencana untuk merger.
September 1998 Para konglomerat pengutang kakap menandatangani kesepakatan penyelesaian utang senilai total Rp 111,6 triliun.
Maret 1999 Pemerintah membekukan kegiatan operasi 38 bank yang mempunyai CAR lebih rendah dari minus 25 persen serta merekapitalisasi tujuh bank.
Maret 2002 BPPN melaksanakan divestasi PT Bank Central Asia Tbk kepada Farindo Investment Limited. Ini merupakan penjualan bank pertama oleh BPPN.
September 2002 PT Bank Niaga Tbk terjual ke Commerce Asset Holding Berhad, Malaysia.
Maret 2003 BPPN menjual PT Bank Danamon Tbk ke Temasek Holding, Singapura.
November 2003 BPPN menjual 51 persen saham PT Bank International Indonesia (BII) ke konsorsium Sorak (Temasek dan Kookmin Bank).
Januari 2004 BPPN menjual 52 persen saham Bank Lippo kepada konsorsium Swissasia Global.
November 2004 Penjualan Bank Permata kepada konsorsium Standard Chartered Bank dan PT Astra Internasional Tbk.
September 2005 Khazanah Nasional Berhad menuntaskan akuisisi 52 persen saham Bank Lippo dari Swissasia Global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo