Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADAI krisis ekonomi 1997/1998 meluluhlantakkan hampir semua sendi perekonomian sejumlah negara di kawasan Asia. Puluhan bank rontok, ribuan perusahaan ambruk, jutaan pekerja kehilangan sumber nafkah. Indonesia pun lunglai, bahkan nyaris bangkrut.
Tak ada jalan lain, hampir enam tahun negeri ini “terpaksa” kehilangan daulat dan menjadi pasien Dana Moneter Internasional (IMF). Ongkos pemulihan harus dibayar mahal oleh rakyat. Ratusan triliun duit rakyat terkuras untuk menambal bolong modal perbankan yang bobrok. Pil pahit kenaikan harga bahan bakar minyak mesti ditelan demi pemulihan ekonomi negeri berpenghuni 220 jiwa ini.
Satu dasawarsa sudah krisis itu lewat. Kini, roda ekonomi sudah mulai bergerak. Kurs rupiah dan inflasi relatif anteng. Cadangan devisa di brankas negara kian gemuk, meski perlu dicatat: perubahan di Indonesia tak secepat negara-negara Asia yang lain.
2 Juli 1997 (Rp 2.430)
Awal krisis ekonomi di Asia. Dipicu kejatuhan bath, mata uang Thailand.
14 Agustus 1997 (Rp 2.700)
Indonesia meninggalkan sistem kurs rupiah mengambang terkendali menjadi mengambang bebas.
3 September 1997
Pemerintah mengeluarkan kebijakan BLBI. Menteri Keuangan dan Gubernur BI ditugaskan membantu bank-bank yang kesulitan likuiditas.
31 Oktober 1997 (Rp 3.579)
Indonesia dan IMF meneken kesepakatan atau letter of intent (LoI) pertama untuk pinjaman US$ 40 miliar (untuk nilai kurs sekarang, sekitar Rp 360 triliun)
1 November 1997 (Rp 3.193)
Atas rekomendasi IMF, 16 bank dilikuidasi. Rush melanda perbankan.
23 Januari 1998 (Rp 14.555)
Revisi RAPBN 1998/1999 setelah direspons negatif oleh pasar.
26 Januari 1998 (Rp 13.673)
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdiri.
18 Februari 1998 (Rp 8.800)
Presiden Soeharto mengundang Steve Hanke mengkaji penerapan currency board system dalam pengendalian kurs. Rupiah rencananya dipatok US$/Rp 5.000.
5 Mei 1998 (Rp 7.990)
Harga bahan bakar minyak (BBM) naik rata-rata 20 persen.
12 Mei 1998 (Rp 8.000)
Kerusuhan Mei pecah di berbagai kota, diawali aksi demo besar-besaran. Soeharto akhirnya mundur pada 21 Mei.
Juli 1998 (Rp 14.519)
Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia naik drastis dari 10,9 persen menjadi 70,8 persen.
2 Oktober 1998 (Rp 10.724)
Bank Mandiri, bank negara terbesar—gabungan empat bank bermasalah: BDN, Bapindo, BBD, dan Bank Exim—berdiri.
6 Februari 1999 (Rp 8.600)
Pemerintah dan BI sepakati jumlah bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 144,5 triliun.
26 Maret 1999 (Rp 8.825)
Rekapitalisasi bank negara dan swasta dimulai. Menyedot uang publik Rp 430 triliun.
8 Juni 1999 (Rp 7.740)
Pemilihan umum.
29 Desember 1999 (Rp 6.946)
Gubernur BI Syahril Sabirin diminta mundur oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
16 Juni 2001 (Rp 11.200)
Harga BBM naik rata-rata 30 persen. Premium dari Rp 1.150 menjadi Rp 1.450 per liter.
13 Juli 2001 (Rp 11.355)
LoI IMF gagal diteken. IMF menunda pencairan pinjaman.
18 Maret 2002 (Rp 9.970)
BCA, bank swasta terbesar, jatuh ke tangan Konsorsium Farindo Investment Ltd.
2 Januari 2003 (Rp 8.915)
Pemerintah mengumumkan rencana kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan telepon. Belakangan dibatalkan karena aksi demo meluas.
31 Desember 2003 (Rp 8.473)
Kontrak IMF berakhir dan tidak diperpanjang.
27 Februari 2004 (Rp 8.460)
Penutupan BPPN.
22 September 2004 (Rp 9.160)
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dibentuk untuk menjamin dana nasabah di bank.
1 Oktober 2005 (Rp 10.300)
Harga BBM naik rata-rata 126 persen, setelah pada Maret naik 29 persen akibat harga minyak dunia meroket hingga US$ 70 per barel.
12 Oktober 2006 (Rp 9.220)
Pemerintah mempercepat pelunasan sisa utang IMF US$ 3,1 miliar yang jatuh tempo pada 2010.
Sumber: IMF, Bank Dunia, BI, BPPN, dan Departemen Keuangan
Akankah Krisis Berulang
Sejumlah faktor pemicu krisis ekonomi 10 tahun silam kembali menguntit. Mudah-mudahan, benteng pertahanan yang telah dibangun satu dekade ini bisa membendung ancaman itu.
Ancaman
- Serbuan modal asing jangka pendek ke Indonesia. Selama Januari - Mei 2007, BI mencatat dana asing masuk Indonesia US$ 8,5 miliar. Perinciannya, US$ 3,9 miliar di SBI, US$ 3,2 miliar di obligasi negara dan US$ 1,3 miliar di bursa saham.
- Lonjakan harga minyak dunia. Dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak terus melonjak di atas US$ 70 per barel.
Benteng Pertahanan
- Bank sentral lebih independen dan fokus pada stabilisasi moneter.
- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sudah dibentuk.
- BI, LPS, dan Departemen Keuangan membentuk forum deteksi dini krisis ekonomi.
- Perbankan lebih transparan dan bermodal kuat.
- Ada kerja sama antarbank sentral Asia Tenggara bersama Jepang, Cina, dan Korea Selatan untuk menghadapi ancaman krisis.
Di Tangan Lima Presiden
Tiga Babak Ekonomi Indonesia
Indikator | Prakrisis (1996) | Krisis (1998) | Pascakrisis (2006) |
Makroekonomi | |||
Pertumbuhan ekonomi (%) | 7,7 | -13,1 | 5,6 |
Inflasi (%) | 8,7 | 58,5 | 6,6 |
Kurs rupiah terhadap dolar AS | 2.210 | 10.013 | 9.141 |
Suku bunga (SBI) | 10,8* | 70,8 | 8,50** |
Investasi (% PDB) | 28,0 | 25,4 | 24,0 |
Ekspor (miliar dolar AS) | 43,0 | 48,8 | 100,7 |
Impor (miliar dolar AS) | 36,0 | 27,3 | 61,0 |
Pengangguran (%) | - | - | 10,3 |
Kemiskinan (%) | 17,6 | 23,4 | 17,8 |
Pendapatan per kapita (dolar AS) | 1.055 | 610 | 1.560 |
Indeks Harga Saham Gabungan | 467,339 | 292,120 | 2.139,278** |
Keuangan Negara | |||
Defisit/surplus anggaran (% PDB) | 1,2 | -2,0 | -1,0 |
Rasio utang pemerintah (% PDB) | 24,3 | 74,1 | 39,1 |
Cadangan devisa (miliar dolar AS) | 13,8 | 22,9 | 51** |
Defisit/surplus neraca pembayaran (miliar dolar AS) | - | -5,2*** | 15 |
Perbankan | |||
Rasio kredit bermasalah/NPL (%) | - | 70 | 7,0 |
Rasio kredit atas simpanan Nasabah/LDR (%) | 111 | 72,5 | 53,3 |
Rasio kecukupan modal/CAR (%) | <4 | -16 | 20,5 |
Keterangan: *Juli 1998, **Juni 2007, ***1997 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo