Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam satu bulan terakhir, Indonesia dikagetkan lagi oleh terjadinya peningkatan kasus busung lapar, yang merujuk dari beberapa rumah sakit umum di daerah. Busung lapar merupakan istilah yang hidup di masyarakat. Adapun di dunia kesehatan anak hal itu disebut HO (hongeroedeem). Pembengkakan di seluruh tubuh penderita ini, khususnya pada perut, disebabkan adanya penurunan kadar protein darah, berkurangnya albumin darah, sehingga cairan masuk ke jaringan interstitiel.
Munculnya kasus busung lapar sekarang ini disebabkan menurunnya daya beli masyarakat dalam memenuhi kecukupan makanan dan kemampuan hidup sehat. Diperkirakan 50 persen keluarga Indonesia berkurang kemampuannya dalam memenuhi makanan dan asupan gizi.
Seperti efek domino, jumlah kasus busung lapar terus meningkat. Berturut-turut dari pelbagai daerah melaporkan kasus gizi buruk masyarakat. Di NTB, menurut perkiraan sebelum dilakukan penimbangan, jumlah balita diperkirakan 500 ribu jiwa, 10 persennya menderita gizi buruk. Di NTT 66.685 anak balita mengalami hal yang sama. Di Kabupaten Lebak, Banten, penyakit ini tercatat dialami oleh 248 balita de-ngan tanda klinis marasmik kwashiorkor, 567 gizi buruk tanpa gejala, 16.470 balita kekurangan energi protein. Demikian pula di Cianjur, Jawa Barat. Dilaporkan di wilayah itu paling tidak 22 ribu balita mengalami gizi buruk.
Provinsi Gorontalo, Kalimantan Barat, NTT, Aceh, NTB, Kalimantan Selatan, Papua, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi, Bangka Belitung, Maluku, Lampung, Kalimantan Tengah, dan Riau memiliki angka statistik gizi buruk dan gizi kurang, melebihi rata-rata nasional (10 persen gizi buruk dan 45 persen gizi kurang).
Busung lapar yang sedang menyerang beberapa wilayah di Indonesia ini sebenarnya bisa dicegah jika sistem kewaspadaan pangan dan gizi berjalan efektif. Salah satunya adalah pemantauan dan evaluasi pelaporan penimbangan melalui sistem seperti kartu menuju sehat (KMS). Dahulu semua laporan dari posyandu ke puskesmas, ke dinas kesehatan atau kantor BKKBN berjalan dengan baik. Sehingga dengan mudah BKKBN pusat dan Departemen Kesehatan dapat memantau kondisi status gizi keluarga kita melalui sistem kependudukan dan keluarga (Siduga) setiap bulan.
Sekarang banyak posyandu yang sudah tidak lagi berfungsi, puskesmas sepertinya mengalami degradasi, dulu hampir semua puskesmas dipimpin dokter umum yang baru lulus karena adanya wajib kerja sarjana (WKS) atau dokter PTT, pegawai tidak tetap. Sekarang tidak demikian.
Selama lima tahun diberlakukan desentralisasi kesehatan, terjadi penurunan kemampuan pelayanan kesehatan. Tampaknya, desentralisasi yang dilakukan hanya terbatas pada penyerahan kewenangan dan penyerahan urusan saja. Pembiayaan, personel, dan program tidak ikut serta diserahkan ke kabupaten dan kota. Dekonsentrasi ke provinsi pun menjadi terbatas. Sehingga kabupaten dan kota serta provinsi belum mampu memprioritaskan untuk anggaran kesehatan dan pendidikan, yang hanya 2 sampai 3 persen dari total anggaran pembangunan.
Busung lapar pada anak balita harus ditetapkan sebagai kondisi gawat darurat. Sebab, anak balita dengan gizi buruk selama tiga bulan berturut turut dan tidak mendapat pelayanan kesehatan melalui pemberian nutrisi yang cukup akan menyebabkan kerusakan permanen pada otaknya. Dengan begitu, sedikit sekali kemungkinan anak tersebut mampu lulus sekolah dasar.
Perlu kiranya melakukan langkah strategis seperti mencanangkan operasi sadar gizi, melakukan penimbangan massal sepekan atau sebulan sekali. Memastikan setiap anak balita mempunyai KMS dan pemantauan tumbuh kembangnya oleh keluarga dan orang tuanya sendiri.
Bagi penderita gizi buruk, segera rujuk ke RSU untuk mendapatkan perawatan yang cukup melalui pemberian formula, sesuai dengan anjuran WHO. Bagi penderita gizi buruk yang tidak terdapat tanda-tanda klinis dan gizi kurang, diberikan makanan tambahan selama 100 hari. Balita yang mengalami gizi kurang dan gizi baik dipantau di posyandu dan dilaksanakan revitalisasi posyandu dengan menerapkan strategi GOBI FFF, yaitu growth card atau kartu menuju sehat.
Busung lapar ini adalah tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan keluarga. Karena itu, kasus busung lapar ini harus ditangani secara bersama dan berorientasi kewilayahan. Sektor terkait dan pemangku kepentingan hendaknya dilibatkan agar segera diperoleh jenjang kelembagaan peduli anak, satuan tugas penanggulangan gizi, dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo