KULIT muka dan seluruh halamannya memakai kertas koran. Terdiri
dari 16 halaman, buletin dua bulanan itu berlogo huruf G di
pojok kanan atas, yang diikuti di bawahnya dengan kata-kata gaya
hidup ceria .... Penampilan berkala kaum homoseks Indonesia itu
masih kelihatan sangat sederhana.
Dicetak offset di percetakan PT Surya Chandra Kencana Press,
Surabaya, sampai Mei ini sudah sampai pada penerbitan nomor 5
tahun II. Di kulit muka nomor pertama terpampang lukisan seorang
laki-laki berbaju kodok mendobrak tembok dengan penuh ceria. Di
dadanya tertera lambang Lambda, huruf ke sebelas alfabet Yunani
(asal muasal huruf "L" yang kita kenal sekarang), lambang kaum
homoseks di seluruh dunia. Editorial redaksinya, yang berjudul
"Menghapus Arang yang Tercoreng di Kening", mengemukakan bahwa
buletin yang diterbitkan "untuk kalangan sendiri" itu bertujuan
"memperoleh kebanggaan" di antara kaum homoseks di sini.
Kaum homoseks di Indonesia sejak 1 Maret 1982 membentuk
organisasi bernama Lambda Indonesia (LI). Dan menerbitkan
buletin adalah salah satu kegiatannya, "guna memberi penyuluhan
pada teman-teman yang masih mencari-cari pola kehidupan cinta
dan seks," tutur Channy, penanggung jawab G gaya hidup ceria .
. . yang juga ketua LI. Channy, dibantu Dede Oetomo dan Yongky,
keduanya redaktur, serta dua orang sebagai penata artistik.
Adalah orang-orang itu juga pendiri LI.
Menurut Channy, berkala dua bulanan G bagi kalangan gay,
bercorak Indonesia dan tidak komersial. "Yang kami tekankan segi
edukatif dan penyuluhannya, bukan segi seks yang menjurus ke
pornografi model di luar negeri," kata Channy.
Isi nomor-nomor permulaan memang informasi tentang berdirinya
LI, homologi, dan berita-berita tentang kaumnya di dalam dan
luar negeri. Ada juga ruang Kontak (nasional dan internasional)
yang memuat foto, nama dan alamat pencari kenalan, serta sajak
dan cerpen dengan tema sekitar homoseks.
Tapi mulai nomor tiga dan seterusnya bermunculan gambar dan
cerita yang erotis. Misalnya, gambar sepasang homoseks yang
hanya bercawat, duduk bermesra-mesraan. Bahkan dalam nomor bulan
ini, No.5 , muncul cerpen berjudul Sejuta Lentera Hati oleh
Yahya M.S., berkisah tentang pasangan yang melakukan hubungan
badan. Gaya berceritanya seperti yang biasa ditemui dalam cerita
mesum stensilan.
Bukan sembarang orang bisa mendapatkan berkala G itu. "Buletin
saya kirimkan per pos dalam sampul tertutup rapat tanpa nama
pengirim," tutur Channy. Yang mendapat kiriman hanyalah mereka
yang terdaftar sebagai anggota LI dan partisipan saja. Beralamat
penerbit Kotak Pos 122 Solo berkala itu dikirimkan kepada para
langganan yang telah mengirimkan perangko antara Rp 500 dan Rp
1.000. Diperkirakan ada sekitar 400-an anggota LI dan
partisipannya. Koordinatornya ada di Jakarta, Semarang, Bandung,
Yogya, Surabaya, Malang, dan Jember.
Penerbitan itu dikelola Channy yang tinggal di Solo, yang
berkongsi dengan Dede yang tingal di Surabaya. Dari sebuah
villa berjendela banyak, dan hanya berukuran 2 x 4 meter, Channy
menggerakkan LI dan merencanakan isi berkala G. Villa itu
terletak di kompleks perumahan, dikelilingi kebun bunga, dan
pada malam hari suasananya sepi remang-remang karena kekurangan
listrik -- meski berada di tengah kota.
Channy mengirimkan bahan siap cetak kepada Dede. Selanjutnya,
setelah rampung dicetak, berkala itu dikirim ke Solo untuk
seterusnya diedarkan. Semua itu dilakukan "secara rahasia".
"Keadaan di Indonesia belum bisa terbuka seperti di luar
negeri," kata Channy.
Berwajah rupawan, berkulit bersih dengan rambut berombak
dipangkas rapi, Channy, 24 tahun, yang bersuara lembut bernada
mirip wanita itu kelahiran Jakarta. Tinggal di Solo sejak 1979
ikut bibinya yang tak tahu menahu kegiatannya -- anak nomor 4
ini masih kuliah tingkat IV di satu fakultas di UNS. Ia sadar
sebagai seorang homoseks sejak di kelas II SMA. Dan setamat dari
sekolah lanjutan ia makin merasakan keadaannya. Lewat surat ia
berkenalan dan kemudian berpacaran dengan seorang homoseks
Jerman. Akhirnya si Jerman ini diusahakannya bekerja di
perusahaan kaset di Jakarta. Berkat hubungannya dengan orang
Jerman inilah Channy banyak tahu seluk-beluk kehidupan kaumnya
di manca negara. Semuanya jadi modal kegiatannya sekarang.
Sedangkan Dede Oetomo, pengasuh G lainnya, seorang lulusan IKIP
Negeri Malang yang kini sedang menyelesaikan studinya di Cornell
University, AS, jurusan Asia Tenggara. Bertubuh semampai dengan
kulit kuning langsat, Dede, 29 tahun, merasa dirinya homoseks
sejak duduk di SMP. Tapi ibunya, katanya, memahami keadaannya.
Ibunya bahkan jadi pendorong penerbitan G. Dede biasanya menulis
editorial di berkala itu. Antara lain dicetuskannya bahwa
"perjuangan ke arah persamaan hak harus kita mulai dari sekarang
juga." Lewat LI, menurut Dede lagi, kaum homoseks dalam rencana
jangka panjangnya -- "akan menuntut hak, misalnya, mendapatkan
perumahan bagi kaum homoseks yang enggan kawin." Gaya hidup
ceria perlu menuntut pula, agaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini