Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Gaya ceria gaya lambda

Kaum homoseks di indonesia membentuk organisasi bernama lambda indonesia (li), juga menerbitkan buletin gaya hidup ceria.(md)

21 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KULIT muka dan seluruh halamannya memakai kertas koran. Terdiri dari 16 halaman, buletin dua bulanan itu berlogo huruf G di pojok kanan atas, yang diikuti di bawahnya dengan kata-kata gaya hidup ceria .... Penampilan berkala kaum homoseks Indonesia itu masih kelihatan sangat sederhana. Dicetak offset di percetakan PT Surya Chandra Kencana Press, Surabaya, sampai Mei ini sudah sampai pada penerbitan nomor 5 tahun II. Di kulit muka nomor pertama terpampang lukisan seorang laki-laki berbaju kodok mendobrak tembok dengan penuh ceria. Di dadanya tertera lambang Lambda, huruf ke sebelas alfabet Yunani (asal muasal huruf "L" yang kita kenal sekarang), lambang kaum homoseks di seluruh dunia. Editorial redaksinya, yang berjudul "Menghapus Arang yang Tercoreng di Kening", mengemukakan bahwa buletin yang diterbitkan "untuk kalangan sendiri" itu bertujuan "memperoleh kebanggaan" di antara kaum homoseks di sini. Kaum homoseks di Indonesia sejak 1 Maret 1982 membentuk organisasi bernama Lambda Indonesia (LI). Dan menerbitkan buletin adalah salah satu kegiatannya, "guna memberi penyuluhan pada teman-teman yang masih mencari-cari pola kehidupan cinta dan seks," tutur Channy, penanggung jawab G gaya hidup ceria . . . yang juga ketua LI. Channy, dibantu Dede Oetomo dan Yongky, keduanya redaktur, serta dua orang sebagai penata artistik. Adalah orang-orang itu juga pendiri LI. Menurut Channy, berkala dua bulanan G bagi kalangan gay, bercorak Indonesia dan tidak komersial. "Yang kami tekankan segi edukatif dan penyuluhannya, bukan segi seks yang menjurus ke pornografi model di luar negeri," kata Channy. Isi nomor-nomor permulaan memang informasi tentang berdirinya LI, homologi, dan berita-berita tentang kaumnya di dalam dan luar negeri. Ada juga ruang Kontak (nasional dan internasional) yang memuat foto, nama dan alamat pencari kenalan, serta sajak dan cerpen dengan tema sekitar homoseks. Tapi mulai nomor tiga dan seterusnya bermunculan gambar dan cerita yang erotis. Misalnya, gambar sepasang homoseks yang hanya bercawat, duduk bermesra-mesraan. Bahkan dalam nomor bulan ini, No.5 , muncul cerpen berjudul Sejuta Lentera Hati oleh Yahya M.S., berkisah tentang pasangan yang melakukan hubungan badan. Gaya berceritanya seperti yang biasa ditemui dalam cerita mesum stensilan. Bukan sembarang orang bisa mendapatkan berkala G itu. "Buletin saya kirimkan per pos dalam sampul tertutup rapat tanpa nama pengirim," tutur Channy. Yang mendapat kiriman hanyalah mereka yang terdaftar sebagai anggota LI dan partisipan saja. Beralamat penerbit Kotak Pos 122 Solo berkala itu dikirimkan kepada para langganan yang telah mengirimkan perangko antara Rp 500 dan Rp 1.000. Diperkirakan ada sekitar 400-an anggota LI dan partisipannya. Koordinatornya ada di Jakarta, Semarang, Bandung, Yogya, Surabaya, Malang, dan Jember. Penerbitan itu dikelola Channy yang tinggal di Solo, yang berkongsi dengan Dede yang tingal di Surabaya. Dari sebuah villa berjendela banyak, dan hanya berukuran 2 x 4 meter, Channy menggerakkan LI dan merencanakan isi berkala G. Villa itu terletak di kompleks perumahan, dikelilingi kebun bunga, dan pada malam hari suasananya sepi remang-remang karena kekurangan listrik -- meski berada di tengah kota. Channy mengirimkan bahan siap cetak kepada Dede. Selanjutnya, setelah rampung dicetak, berkala itu dikirim ke Solo untuk seterusnya diedarkan. Semua itu dilakukan "secara rahasia". "Keadaan di Indonesia belum bisa terbuka seperti di luar negeri," kata Channy. Berwajah rupawan, berkulit bersih dengan rambut berombak dipangkas rapi, Channy, 24 tahun, yang bersuara lembut bernada mirip wanita itu kelahiran Jakarta. Tinggal di Solo sejak 1979 ikut bibinya yang tak tahu menahu kegiatannya -- anak nomor 4 ini masih kuliah tingkat IV di satu fakultas di UNS. Ia sadar sebagai seorang homoseks sejak di kelas II SMA. Dan setamat dari sekolah lanjutan ia makin merasakan keadaannya. Lewat surat ia berkenalan dan kemudian berpacaran dengan seorang homoseks Jerman. Akhirnya si Jerman ini diusahakannya bekerja di perusahaan kaset di Jakarta. Berkat hubungannya dengan orang Jerman inilah Channy banyak tahu seluk-beluk kehidupan kaumnya di manca negara. Semuanya jadi modal kegiatannya sekarang. Sedangkan Dede Oetomo, pengasuh G lainnya, seorang lulusan IKIP Negeri Malang yang kini sedang menyelesaikan studinya di Cornell University, AS, jurusan Asia Tenggara. Bertubuh semampai dengan kulit kuning langsat, Dede, 29 tahun, merasa dirinya homoseks sejak duduk di SMP. Tapi ibunya, katanya, memahami keadaannya. Ibunya bahkan jadi pendorong penerbitan G. Dede biasanya menulis editorial di berkala itu. Antara lain dicetuskannya bahwa "perjuangan ke arah persamaan hak harus kita mulai dari sekarang juga." Lewat LI, menurut Dede lagi, kaum homoseks dalam rencana jangka panjangnya -- "akan menuntut hak, misalnya, mendapatkan perumahan bagi kaum homoseks yang enggan kawin." Gaya hidup ceria perlu menuntut pula, agaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus