Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Kejutan Poligami Aa Gym

Pemerintah berencana merevisi aturan perkawinan. Perkawinan kedua dai Abdullah Gymnastiar menjadi pemicu, juga kasus video porno anggota DPR. Terlalu jauhkan negara mengatur privasi warganya?

11 Desember 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
head0942.jpg

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sepotong pesan pendek mampir di telepon genggam Meutia Farida Hatta, Selasa pagi pekan lalu. Pengirimnya staf protokoler Istana Presiden. Sang Menteri Pemberdayaan Perempuan diminta menghadap Presiden pukul 11.00. Perintah dadakan itu membuat Meutia membatalkan agenda menghadiri peringatan Hari Ibu di Panti Wredha, Ciracas, Jakarta Timur.

Dari rumahnya di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Meutia bergegas meluncur ke kantor Presiden. Di sana ia bertemu Nazaruddin Umar, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama. Bergabung pula Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi.

Pembicaraan dengan Presiden yang memakan waktu tiga jam itu ternyata membahas UU Perkawinan dan pelaksanaannya. Kendati cuma jadi salah satu alasan, pernikahan kedua dai kondang Abdullah Gymnastiar alias Aa Gym terus terang diakui sebagai pemicu. Aa memang dikenal dekat dengan keluarga Yudhoyono. Ketika Presiden dan Ibu Ani melaksanakan umroh pertengahan tahun ini, Aa Gym dan istrinya sempat menemui rombongan Presiden di Mekah.

Tak aneh jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono kebanjiran pesan pendek bernada keluhan terhadap ”kejutan” Aa Gym tersebut. ”Telepon genggam Presiden dan Ibu Negara sampai overload,” kata Sudi Silalahi.

Keresahan yang menggelayuti benak kalangan perempuan juga ditangkap Meutia Hatta. ”Istri-istri makin ketakutan suaminya bakal menikah lagi,” ujarnya. Para suami yang semula tak terpikir menikah lagi bisa ikut-ikutan setelah figur panutannya berpoligami. Padahal buat Kementerian Pemberdayaan Perempuan, poligami merupakan hambatan untuk menciptakan keluarga harmonis.

Presiden, seperti dituturkan Meutia, merasa punya kewajiban moral menangani persoalan yang meresahkan masyarakat. Pembahasan tentang poligami antara Presiden dan para pembantunya berlangsung hangat.

Nazaruddin menyebut agama sering cuma dijadikan dalih untuk melegitimasi keinginan tertentu. Sementara Sudi menegaskan perlunya menegakkan beleid tentang monogami, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan.

Setelah mendengar masukan para pembantunya, Presiden memutuskan memperluas cakupan prinsip monogami. Tak cuma berlaku bagi pegawai negeri sipil (PNS) seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10/1983, dan No. 45/1990, beleid ini kelak mesti dipatuhi pula oleh pegawai swasta, pejabat negara, dan pejabat pemerintahan.

”Yang ingin kita capai adalah keharmonisan rumah tangga dan ketenangan hidup sosial untuk memecahkan berbagai permasalahan di negeri kita,” begitu Presiden menjelaskan sikapnya ketika berbicara dalam peringatan hari ulang tahun Dharma Wanita Persatuan ke-7 di Sasana Langen Budaya, Taman Mini Indonesia Indah, Kamis pekan lalu.

Dalam urusan menjaga keutuhan perkawinan, Presiden dan Ibu Negara Ani Yudhoyono rupanya berbagi sikap tegas. Staf Khusus Kepresidenan Heru Lelono mengatakan Presiden dan Ibu Ani tak cuma menanggapi poligami, tapi juga kasus-kasus lain yang terkait dengan lembaga perkawinan.

Beredarnya video panas anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI, Yahya Zaini, dengan penyanyi dangdut Maria Eva, tak luput dari perhatian keduanya. Begitu pula kasus rekaman adegan intim dua pegawai negeri sipil di Klaten, Jawa Tengah.

”Ini kok kayak gini terus,” Heru menirukan ucapan Ani Yudhoyono yang berbicara sambil menunjukkan potongan berita di surat kabar. Ia menangkap ada kerisauan di hati Ibu Negara. Sikap Ibu Ani yang antipoligami juga kentara terlihat.

Walhasil, ketiganya intensif membicarakan soal tersebut. Beruntung, sebagai staf khusus presiden, Heru mudah menemui keduanya. Dari pembicaraan panjang terbuhul kesimpulan, ”Kita punya Undang-Undang Perkawinan, juga peraturan pemerintah, itu harus ditegakkan.”

Sesungguhnya bila aturan yang ada ditegakkan, praktek poligami memang tak mudah dilakukan. Meutia menunjuk Pasal 4 UU Perkawinan yang menyatakan seorang suami yang hendak memiliki istri lebih dari satu hanya akan diberi izin oleh pengadilan jika si istri tak dapat menjalankan kewajibannya, cacat badan atau menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan, atau tidak dapat melahirkan keturunan. Di luar alasan itu, pria harus membuang jauh-jauh keinginan berpoligami.

Masalahnya, aturan tinggal aturan, tapi pelaksanaan lain lagi. Sejak aturan itu ditetapkan, sudah ribuan orang melakukan poligami, termasuk pegawai pemerintah. Padahal, mereka terikat peraturan yang mestinya menyulitkan pernikahan lebih dari satu istri.

Syarat izin dari atasan, sekadar contoh, mestinya menjadi faktor penghambat. Jika ada anak buah yang mau menikah lagi, si atasan tak cukup hanya menerima alasan sepihak dari pihak lelaki. Ia mesti mengecek juga ke pihak perempuan. Yang ingin dihindari tentu penipuan terhadap istri pertama. Tapi seribu satu cara dipakai untuk mengakali ketentuan ini. Padahal, bila ketahuan melanggar aturan, si pegawai bisa diberhentikan. ”Penegakan aturan itulah yang menjadi prioritas Presiden sekarang,” kata Meutia.

Jika aturan ditegakkan, pernikahan poligami tetap akan dicatat negara, tidak sekadar menjadi pernikahan siri seperti yang sekarang banyak terjadi. Tanpa pencatatan resmi, hak-hak istri dan anak menjadi tidak terlindungi. Jika si ayah meninggal, sekadar contoh, mereka tak mendapat hak waris.

Rencana pemerintah ini segera menuai ”serangan”. Sejumlah tokoh dan organisasi Islam berbagi kekhawatiran bahwa pemerintah bakal melarang poligami, yang sebetulnya diperbolehkan menurut hukum Islam. Dalam nada yang lebih lunak, Ketua Nahdlatul Ulama Hasyim Muzadi meminta, ”Pemerintah tak perlu terlalu jauh mengurusi soal privat seperti ini.”

Meutia menampik anggapan bahwa pemerintah bermaksud melarang poligami. Kebijakan seperti itu diakuinya tak populer dan bakal memicu penolakan. Pemerintah, menurut dia, cuma mengupayakan agar praktek itu tidak mudah dilaksanakan. Syarat-syarat ketat, baik dari UU Perkawinan maupun peraturan pemerintah, dimaksudkan menjadi bentengnya.

Namun, ada kalangan yang tetap cemas. Mereka beranggapan pengetatan aturan perkawinan justru akan menyuburkan praktek perselingkuhan dan perzinaan. Kekhawatiran itu ditampik Nazaruddin Umar. ”Poligami dilegalkan pun belum tentu perzinaan akan mereda. Itu tidak berbanding lurus,” ujarnya.

Pembatasan perkawinan, menurut Meutia, terutama dianggap penting bagi kalangan pejabat negara, seperti anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan menteri. Mereka memang bukan pegawai negeri sipil tapi bekerja untuk negara dan hidup dari gaji negara.

Heru Lelono mengatakan Presiden khawatir praktek poligami bakal mempengaruhi kinerja para pejabat. Bila tidak ditangkal, Presiden berpandangan tak tertutup kemungkinan akan muncul ekses-ekses poligami, seperti penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan tindakan tercela lainnya. ”Itu yang dirisaukan Presiden,” kata Heru.

Dalam situasi ekonomi sulit seperti sekarang, lagi-lagi Heru menyitir Presiden, hidup dengan satu istri dengan dua anak saja mestinya sudah membuat orang harus pintar-pintar mengatur keuangan. Jadi, sebaiknya kaum pria tak usah mencari masalah dengan melakukan poligami.

Keinginan Kepala Negara, dengan motif apa pun, untuk melindungi kaum perempuan merupakan niat mulia yang patut didukung. Bahkan, tanpa perlu menimbang aturan hukum apa pun, kaum perempuan perlu dilindungi oleh kita semua. Setiap pelanggaran terhadap kaum perempuan perlu dilawan dan ditindak sesuai dengan hukum. Persoalannya, apakah perlu negara masuk sedemikian jauh untuk mengatur kehidupan privat warga negara itu.

Dwi Wiyana, Widiarsi Agustina, Badriah

Pasang-Surut Aturan Poligami

Poligami menjadi topik pembicaraan di semua sudut kehidupan saat ini. Di pasar, di tempat kuliah, maupun di ruang rapat, bergaung pelbagai suara soal pernikahan kedua dai kondang Abdullah Gymnastiar yang menjadi pemicu poligami ini. Sejumlah perempuan kabarnya resah. Ratusan pesan pendek pun melayang ke telepon seluler Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Ani Yudhoyono.

Setelah berkonsultasi dengan beberapa pembantunya, Presiden lalu minta soal poligami diatur lagi. Pemerintah berencana memperluas PP No. 10/1983 dan PP No. 45/1990 agar bisa menjangkau masyarakat luas.

Rencana pemerintah itu menuai protes dari sejumlah pemimpin organisasi dan tokoh Islam. Debat yang pernah terjadi puluhan tahun lalu berulang kembali. Berikut perjalanan Undang-Undang Perkawinan dan peraturan pendukungnya yang kontroversial.

Nunuy Nurhayati

Desember 1928 Kongres Wanita Indonesia yang diikuti 30 organisasi wanita melontarkan ide soal pengaturan masalah poligami dalam sistem hukum dan perundangan di Indonesia. Kongres yang diprakarsai oleh Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah, itu juga membahas isu perkawinan di bawah umur dan kawin paksa.

21 November 1946 Pemerintah menerbitkan Undang-Undang No. 22/1946 tentang pencatatan nikah, talak, dan rujuk di semua daerah luar Jawa dan Madura. Undang-undang ini kemudian diperbaiki dan akhirnya ditetapkan melalui UU No. 34/1954.

1966 Ketetapan MPRS XXVIII/MPRS/1966 menyerukan segera diadakannya undang-undang perkawinan yang bersifat nasional.

1967 Departemen Agama menggodok RUU Pokok Pernikahan Umat Islam.

1968 Departemen Kehakiman menggarap RUU Pokok Perkawinan (Nasional).

2 Januari 1974 DPR mengesahkan RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah pada pertengahan 1973 menjadi Undang-Undang Perkawinan. Proses pengesahan UU ini diwarnai reaksi keras dari sebagian anggota Dewan yang beragama Islam. Gelombang aksi unjuk rasa dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk para ulama, bermunculan menentang UU yang mengatur soal poligami ini. Mereka menilai pasal-pasal dalam UU itu bertentangan dengan ajaran Islam karena memuat syarat berat bagi lelaki yang berpoligami. Namun, ketika akhirnya UU itu disahkan, banyak juga ulama yang setuju.

21 April 1983 Terbit Peraturan Pemerintah No. 10/1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Peraturan ini dibuat sebagai pelaksanaan dari UU Perkawinan. Dalam PP itu diatur pegawai negeri yang berniat bercerai atau menikah lagi harus memperoleh izin dari atasannya. Pegawai negeri juga dilarang ”hidup bersama di luar nikah”. Bila dilanggar, sanksinya pemecatan.

6 September 1990 Untuk memperkuat PP No. 10/1983, pemerintah mengeluarkan PP No. 45/1990. PP ini dinilai tak banyak manfaatnya dan tidak populer. Salah satu pasalnya menyatakan bahwa pegawai negeri sipil perempuan dilarang sama sekali menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat. Pasal itu justru dipandang memperlemah posisi pegawai perempuan bila dia dihadapkan pada situasi harus menjadi istri kedua—suatu hal yang sering tak terhindarkan.

5 Desember 2006 Presiden Yudhoyono berencana memberlakukan PP 10/1983 dan PP 45/1990 untuk seluruh masyarakat, tak hanya pegawai negeri sipil. Rencana ini ditentang oleh sejumlah tokoh Islam. Presiden kemudian minta agar masalah perkawinan dan poligami ini dikembalikan ke UU dan PP yang ada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus