Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ukuran buku itu sebesar majalah ini, yang boleh jadi sedang Anda baca. Pada kulit mukanya tercetak kata-kata Laporan Penggunaan Dana Operasional Menteri Tahun 2003. Ada tiga bundel serupa dengan judul berbeda pada angka tahunnya. Jika disatukan, seluruh laporan itu tebalnya sekitar 100 halaman.
Tempo berkesempatan membaca isi bundel-bundel laporan itu pada Jumat pekan lalu. Ternyata, kata menteri yang dimaksud di kulit muka adalah Profesor Rokhmin Dahuri pada saat memimpin Departemen Kelautan dan Perikanan (2001-2004). Laporan diawali dengan selembar ringkasan belanja Pak Menteri pada Januari. Berapa uang yang masuk dan berapa yang keluar pada bulan itu? Biasa saja!
Nah, isi halaman-halaman berikutnya bisa membelalakkan mata barang siapa yang membacanya. Di sana tertulislah rincian belanja sang Menteri dari hari ke hari, mulai dari ongkos merawat gigi, sewa mobil, sampai belanja politik dan koneksi. Ambil satu contoh, laporan Januari 2003. Dari belasan daftar belanja ada empat pengeluaran untuk keperluan yang sama: Biaya orasi ilmiah Menteri. Uang yang dikeluarkan bervariasi dari Rp 65 juta hingga Rp 100 juta. Kalau ditotal, jumlahnya Rp 356 juta. Memang, pada bulan itu Menteri Rokhmin menggelar acara pengukuhannya sebagai guru besar tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor (IPB).
Melompat pada buku lain, belanja Maret 2004. Terdapat catatan pengeluaran uang untuk tim sukses sejumlah calon presiden menjelang pemilihan presiden putaran pertama, empat bulan ke depan. Rokhmin membagi-bagikan uang dalam jumlah yang sama, masing-masing Rp 200 juta. Sah? Entahlah, karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) membatasi sumbangan Rp 100 juta dari perorangan, dan Rp 750 juta dari perusahaan.
Itu baru contoh yang ada di dua lembar, dari sekitar 100 halaman laporan. Sisanya? Hampir di setiap lembar terdapat nama orang, organisasi, lembaga, dan partai politik yang tidak asing—yang turut mencicipi dana tersebut. Tempo mencatat, ada beberapa nama penerima uang tersebut yang saat ini menjabat menteri di kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Keterangan yang ada dalam catatan itu beragam, mulai dari ongkos jalan-jalan ke daerah atau luar negeri hingga biaya kongres. Tapi yang paling banyak tanpa embel-embel keterangan. Jadi, uang itu mau dipakai apa saja, terserah si penerima. Total jenderal, uang siluman yang menguap itu di atas Rp 15 miliar.
Ya, siluman—begitulah beberapa kalangan menyebutnya. Alasan mereka, uangnya ada tetapi tak pernah dilaporkan dalam keuangan negara. Istilah yang lazim dipakai: dana nonbujeter. Pembukuan sejenis ini sudah lama diharamkan. Sejak B.J. Habibie menjadi Presiden, dia menerbitkan Instruksi Presiden No. 9/1999 yang isinya mewajibkan semua menteri melaporkan setiap rekening yang ada departemennya.
Keberadaan uang di luar pengawasan negara ini paling mudah diselewengkan dan menjadi sumber korupsi. Pelanggaran itulah yang membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), setelah beberapa kali melakukan pemeriksaan, menitipkan Rokhmin di sel Markas Besar Kepolisian, Kamis dua pekan lalu.
Gagasan membuat rekening nonbujeter Departemen Kelautan bermula dari rapat pimpinan yang diikuti Menteri dan pejabat eselon satu, Februari 2002. Rapat memutuskan untuk menambah anggaran departemen di luar jatah anggaran belanja negara. Caranya, memotong satu persen dari setiap anggaran proyek dan program yang ada di lingkungan Departemen Kelautan.
Sekitar tiga bulan kemudian, Departemen Kelautan menggelar rapat kerja teknis yang diikuti pejabat departemen dan kepala dinas kelautan dari semua provinsi, di Hotel Indonesia. Saat itulah hasil rapat pimpinan disampaikan, termasuk soal pungutan satu persen. Jadi, setiap direktur jenderal dan kepala dinas harus menyetor satu persen pendapatannya ke rekening nonbujeter internal itu.
Mantan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Banten, Ubaidillah, membenarkan adanya wajib setor satu persen, saat Rokhmin menjadi Menteri Kelautan. Pemotongan itu sesuai dengan instruksi Menteri Kelautan. ”Anggaran itu langsung dipotong departemen saat kami menerima,” katanya. Keterangan itu pula yang diperoleh majalah ini dari Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Sumatera Utara, Yosef Siswanto.
Saat Rokhmin menjadi menteri, Yosef menjabat wakil kepala dinas. Saat itu kantornya selalu memberikan setoran uang ke Departemen Kelautan. ”Uang itu dibawa langsung ketika pejabat daerah berkunjung ke pusat,” katanya.
Setiap rupiah yang disetor masuk ke Bendahara Kas Biro Keuangan Departemen. Seorang staf di Biro Keuangan mencatatnya dalam buku besar dengan tulisan tangan, lalu melaporkan kepada koordinator setiap bulan. ”Tulisan tangan itu sekarang dipegang KPK,” kata seorang sumber di Departemen Kelautan.
Sebagai koordinator, ditunjuk Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan saat itu, Andin H. Taryoto. Senin dua pekan lalu, KPK menahan Andin dan menyita uang yang tersisa Rp 739 juta. Ternyata uang siluman yang ada di Departemen Kelautan bukan hanya Rp 15 miliar yang dipungut secara internal.
Masih ada lagi uang siluman Rp 19,7 miliar yang sumbernya dari luar departemen. Uang itu dikumpulkan dari komisi pengusaha yang menjadi rekanan pengadaan barang, serta pengusaha di bidang perkapalan dan perikanan. Menurut sumber Tempo yang bekerja di Departemen Kelautan saat Rokhmin menjabat, rekening kedua ini dipegang Didi Sadili, Kepala Sub-Direktorat Identifikasi Potensial Pulau-Pulau Kecil.
Jabatan Didi memang jauh dari urusan uang, tetapi Rokhmin mempercayainya sebagai sahabat sejak mereka sekolah di Cirebon, Jawa Barat. Mereka juga bersama saat kuliah di IPB. Hingga saat ini Didi yang mengurus rumah Rokhmin di Bogor. Rumah itu semula menjadi tempat kos Rokhmin saat mahasiswa, kemudian dibelinya. Saat Rokhmin menjadi Dirjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Didi dibawanya masuk ke Departemen Kelautan. Setiap kali Menteri Rokhmin membutuhkan dana segar, Didi yang menyiapkannya. Keluar-masuknya uang itu dicatat dalam buku saku yang selalu dibawa ke mana dia pergi.
Ketika dihubungi Tempo, Didi mengaku sudah beberapa kali dipanggil KPK. Dia menolak menjelaskan posisi dan tugasnya sebagai ”kasir” Rokhmin. ”Wah, ini soal sensitif. Anda ketemu Pak Rokhmin saja sendiri,” ujarnya.
Herman Kadir, kuasa hukum Rokhmin, mengatakan bahwa kliennya tidak tahu-menahu tentang adanya pembukuan internal dan eksternal. Masuknya uang dari luar departemen merupakan kebijakan Andin sebagai sekretaris jenderal. ”Tidak ada inisiatif (Rokhmin) itu, yang mengurusi duit itu sekretaris jenderal,” katanya. Rokhmin malah baru mengetahui setelah dalam bentuk pembukuan rapi yang dibuat Andin.
Tetapi kuasa hukum Andin, Rochanna S. Rahayu, membantah kliennya mengurus dana yang berasal dari luar departemen. ”Pak Andin baru tahu ada dana itu, dua hari setelah ditahan,” katanya. Andin mengakui tugasnya sebagai koordinator pengumpulan uang dari Dinas Kelautan karena perintah Rokhmin. ”Dan itu sesuai dengan hasil rapat pimpinan tahun 2002,” katanya.
Sehari setelah ditahan pada pekan lalu, Rokhmin bersedia memberikan wawancara kepada majalah ini. Dia mengakui tidak pernah menerima instruksi tentang kebijakan soal pungutan satu persen. Dan hanya menjalankan ”tradisi” yang sudah hadir di departemen itu ketika dia memimpin.
Okelah. Tapi ada sejumlah hal yang tidak sesuai dengan penjelasan mantan Menteri Kelautan itu mengenai ihwal penggunaan uang tersebut. Mengutip Rokhmin: ”Untuk menolong nelayan yang kena banjir, nelayan yang bangkrut, menyusun RUU Perikanan, membantu organisasi kemasyarakatan.” Hasil penelusuran majalah ini menemukan setidaknya Rp 15 miliar uang pungutan itu tidak digunakan untuk tujuan-tujuan mulia yang dipaparkan Rokhmin
Agung Rulianto, Ramidi
Uang Mengalir Sampai Jauh
Dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan berasal dari dalam dan dari luar departemen. Uang itu masuk melalui seratus pintu—benar-benar 100 buah menurut Komisi Pemberantasan Korupsi. Lalu ada 1.300 pintu keluar. Walhasil, dari sekitar Rp 34,7 miliar dana nonbujeter yang dikumpulkan pada 18 April 2002 hingga 23 Maret 2005, KPK hanya berhasil menyita Rp 739 juta. Ke mana dana itu mengalir?
Inilah hasil pelacakan Tempo:
Sumber dana internal
Lebih dari Rp 15 miliar
- Dirjen Perikanan Tangkap
- Dirjen Perikanan Budi Daya
- Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil
- Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Perikanan
- Dirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
- Tiga puluh dinas kelautan dan perikanan provinsi
Pengumpulan dana dikoordinasi Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan. Dana dikumpulkan di kas Biro Keuangan.
Penggunaan
Kegiatan Kedinasan Departemen Jumlah: Rp 5 miliar
DPR Jumlah: Rp 5,44 miliar
Diberikan atas nama lembaga maupun pribadi kepada anggota Dewan yang menjadi mitra kerja departemen
Tujuan:
- Pembuatan Rencana Undang-Undang Kelautan
- Meloloskan anggaran belanja departemen
- Perjalanan ke luar negeri dua anggota DPR
Biaya Operasional Kegiatan Menteri Jumlah: Rp 1,5 miliar
Di antaranya untuk orasi ilmiah pengukuhan guru besar Rokhmin di Institut Pertanian Bogor sekitar Rp 356 juta.
Sumbangan Jumlah: Rp 3,99 miliar
Tempo melihat sejumlah nama tokoh politik dan organisasi massa yang menikmati dana sumbangan ini dalam sebuah dokumen yang berada di tangan seorang staf kejaksaan. Sumbangan juga diberikan untuk korban bencana alam, bantuan keagamaan (sumbangan ke sejumlah masjid), serta bantuan kepada kelompok nelayan di pesisir utara.
Ramidi Sumber: Wawancara, dokumen laporan tahunan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan
Sumber dana Eksternal
Lebih dari Rp 19,7 miliar
- Komisi pengusaha perikanan yang mendapat rekomendasi dari departemen untuk permohonan kredit.
- Denda kapal yang tertangkap melakukan pencarian ikan ilegal
- Komisi pengadaan barang
- Komisi penambangan pasir laut
- Komisi pemberian izin untuk kapal penangkap ikan, terutama untuk kawasan primadona, seperti Laut Arafura.
- Dana dikumpulkan oleh Didi Sadili, asisten pribadi Rokhmin. Didi pula yang mendistribusikan dana tersebut untuk keperluan menteri maupun untuk sejumlah kalangan. Kepada Tempo, Didi mengaku telah diperiksa KPK.
- Jumlah dana yang disetor sumber bervariasi: Rp 100-150 juta dan dalam dolar US$5000 - US$10.000 (sekitar Rp 45-90 juta). Pengacara Rokhmin, Herman Kadir, mengatakan bahwa sumbangan itu ”ada bukti paraf, tapi tidak tertera nama penyumbang.”
Penggunaan
Operasional menteri Sebagian besar dana dikeluarkan untuk berbagai kegiatan Rokhmin Dahuri dan sumbangan ke sejumlah organisasi massa dan pribadi.
Kendaraan Pembelian mobil Camry senilai Rp 300 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo