Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny Agustinus, Direktur Penerbit Margin Kiri, terlihat sibuk-hibuk selama Frankfurt Book Fair. Margin Kiri salah satu penerbit kita yang ikut berpameran di Paviliun Nasional Indonesia. "Saya baru saja berkumpul makan malam dengan penerbit kiri seluruh dunia di Cafe Albatross di kawasan Kiesstrasse Bockenheim," katanya tatkala ditemui Tempo pada hari kedua Book Fair.
Margin Kiri dikenal sebagai penerbit buku progresif. Menerbitkan buku perubahan sosial dan pemikiran kritis, baik terjemahan maupun karya penulis Indonesia. Buku terbitannya antara lain Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt karya Agus Sudibyo, Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Sizek karya Robertus Robert, serta Marhaen dan Wong Cilik: Membedah Wacana dan Praktek Nasionalisme bagi Rakyat Kecil dari PNI sampai PDI Perjuangan karya Retor A.W. Kaligis. Di Cafe Albatross itu Ronny menceritakan bagaimana penerbit kiri berkenalan dan bertukar pikiran.
Kepada Tempo, Ronny memperlihatkan daftar nama penerbit yang setelah itu ingin bertemu khusus dengan Margin Kiri membicarakan peluang kerja sama. "Lebih dari 15 penerbit ingin bertemu," ujarnya. Di antaranya penerbit terkenal seperti Gallimard (Prancis), Nao Editora (Brasil), Between The Lines Books (Toronto), New Vessel Press (Amerika), Modjaji Books (Cape Town, Afrika Selatan), Schavelzon Agencia (Spanyol), Unhrast Verlag (Jerman), serta empat penerbit buku radikal dari Inggris: Zed Books, Verso, Pluto Press, dan New Internationalist.
"Efek Indonesia menjadi Guest of Honour dan memiliki paviliun yang bagus menjadikan orang ingin tahu," kata Ronny. Ia mengakui beberapa penerbit sudah mengarah ke kesepakatan. "Zed Books naksir membeli copyright buku terbitan kami: Kekerasan Budaya Pasca 1965 karya Wijaya Herlambang dan Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam karya dosen filsafat Universitas Indonesia, Saras Dewi."
Bukan hanya Margin Kiri yang beroleh peluang. Selama tiga hari dari 14 sampai 18 Oktober di Frankurt Book Fair, negosiasi terjadi antara sejumlah penerbit Indonesia dan penerbit luar. Ada sekitar 20 penerbit yang membuka stan di Paviliun Nasional yang terletak di hal 4.0. Dari penerbit Trubus, Mizan, Gramedia, Kanisius, Rosda Karya, UGM Press, sampai UI Press. Sama dengan Margin Kiri, mereka mengakui dampak Indonesia sebagai tamu kehormatan terhadap kemungkinan penjualan copyright buku mereka cukup signifikan
"Kami sudah menandatangani MoU dengan penerbit Springer Jerman untuk penjualan copyright lima buku kami," ujar Kartini Nurdin, Ketua Pengurus Yayasan Obor. Lima buku itu antara lain bertema konflik Maluku, Indeks Kemandirian Desa, dan Ensiklopedi Suku Bangsa Indonesia.
Menurut Kartini, dia menawarkan sepuluh buku dan diambil lima oleh Springer. "Springer itu penerbit raksasa di Jerman," kata Hanna Rambe, sastrawan yang novel-novelnya diterbitkan Yayasan Obor dan hadir di stan Indonesia. "Sama besarnya dengan Penguin di London."
Demikian juga dialami Yayasan Lontar. "Saya tak menduga. Kaget. Setelah opening, berbondong-bondong penerbit datang ke Paviliun Nasional Indonesia," ujar Wikan Satriati, Manajer Publikasi Lontar. Menurut Wikan, prospek penjualan copyright buku-buku Lontar lumayan. "Ada sepuluh buku yang diincar. Moga-moga deal."
Lima novel yang diterjemahkan Yayasan Lontar ke bahasa Inggris telah dipublikasikan dalam bahasa Jerman oleh penerbit Jerman, Angkor Verlag. Antara lain Telegram karya Putu Wijaya, Ziarah karya Iwan Simatupang, Bibir dalam Pispot karya Hamsad Rangkuti, Jazz, Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma, serta Dan Perang pun Usai karya Ismail Marahimin.
Untuk keperluan Frankfurt Book Fair, Lontar juga menerbitkan karya 25 sastrawan kita dalam bentuk seri buku saku kecil yang diberi nama By the Way (BTW Books). Cerpen-cerpen atau cuplikan novel para penulis yang diseleksi disajikan dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, Jerman. Cerpen-cerpen A.S. Laksana, misalnya, dikumpulkan dalam judul How to Find True Love & Other Stories (Wie man wahre Liebe findet und andere Erzahlungen), puisi-puisi Joko Pinurbo dalam Borrowed Body and Other Poems (Geliehener Korper und andere Gedichte), dan dua nukilan novel Abidah El-Khalieqi dalam Genijora and Mataraisa: Excerpts from Two Novel (Genijora und Mataraisa–Zwei Romanauszuge).
Sebanyak 25 buku seri BTW Books itu dipajang di Paviliun Kehormatan Indonesia. Ternyata cukup menarik perhatian para penerbit asing. "Ada yang begitu melihat di Paviliun Kehormatan lalu langsung mencari di stan Paviliun Nasional," kata Wikan. Bahkan, "Ada penerbit dari Bulgaria usul bagaimana bila diterjemahkan di negaranya, disajikan dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris dan Bulgaria," ujar Wikan. Buku saku tiga bahasa itu ternyata menarik untuk kebutuhan praktis mempelajari sastra Indonesia.
FRANKFURT Book Fair pada dasarnya adalah pasar jual-beli royalti buku. Di sinilah negosiasi, transaksi antarpenerbit, serta antara penerbit dan agency buku seluruh dunia terjadi. Indonesia tak banyak memiliki agency penerbitan internasional. Tapi setidaknya ada dua, Literary Agency Maxima Jakarta dan Borobudur Agency.
Yang hadir membuka stan di Frankfurt hanya Borobudur Agency. Dari Borobudur Agency inilah novel Amba karya Laksmi Pamuntjak bisa diterbitkan ke Jerman menjadi Alle Farben Rot oleh penerbit Ullstein. "Itu penerbit berkelas di Jerman. Alle Farben Rot dicetak 15 ribu eksemplar. Di Jerman untuk karya asing cukup tinggi," kata Nung Atasana, International Rights Director Borobudur Agency.
Borobudur Agency dibentuk Ikapi pada Juli 2013. Nung Atasana diminta memimpin agency ini. Nung dulu bekerja di Gramedia Pustaka Utama, selama kurang-lebih 30 tahun. "Saya pensiun dari Gramedia pada 2012, lalu bekerja di Borobudur Agency," katanya. "Tugas saya membantu penerbit mendapatkan mitra dari luar."
Pada Oktober 2013, Nung membuka stan di Frankfurt Book Fair. Para penerbit Jerman saat itu sudah mendengar bahwa pada 2015 Indonesia bakal menjadi tamu kehormatan. Penerbit Ullstein datang. Ketika itu ia menyodorkan dua novel yang sudah berbahasa Inggris, Amba karya Laksmi dan karya Okky Madasari.
"Saya kemudian pilihkan Amba karena, menurut pertimbangan saya, Laksmi menulis sendiri dalam bahasa Inggris," katanya. Begitu pulang ke Jakarta, ia mengirim teks digitalnya ke Ullstein. "Tak beberapa lama langsung diterjemahkan ke Jerman." Sebelum berangkat ke Frankfurt, Nung telah mengantongi sejumlah jadwal pertemuan dengan beberapa penerbit asing.
Selama tiga hari, hampir tiap hari ia melakukan pertemuan dengan 30 penerbit asing dari Uruguay, Italia, Peru, sampai Portugal. "Dulu, ketika di Gramedia, saya harus blusukan. Sekarang malah banyak yang ingin ketemu."
Para sastrawan kita tak hanya "menitipkan" karya-karyanya lewat agency dalam negeri, tapi juga sudah menggunakan agency luar negeri. Eka Kurniawan, misalnya, memiliki agency dari Spanyol, yaitu Pontas Barcelona. Melalui agency inilah novelnya sekarang dijual ke penerbit seluruh dunia. "Agency ini yang dulu menjualkan copyright novel Pramoedya Ananta Toer," katanya.
Pengalaman menarik dijalani novelis pemula Ery Maryana, yang "menembus" penerbit Jerman tanpa agency atau penerbit sama sekali. Selama setahun terakhir, mantan wartawan Solo Pos ini tinggal dan berumah tangga di Heidelberg. Dia pernah menghasilkan novel tipis, Aku Pembunuh, pada 2012, diterbitkan penerbit Hafamira Yogya. "Ini tentang keluarga broken home yang anaknya kena leukemia stadium IV."
Di Jerman, ia kemudian menerjemahkan bukunya ke bahasa Inggris. "Saya bayar penerjemah, lalu saya asong ke lima penerbit Jerman, dan ternyata lolos satu," katanya. "Mereka suka karena novel saya bertolak dari kisah nyata dan faktor Indonesia bakal menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair." Novelnya diterbitkan di Jerman oleh Ganymed Edition, Hemmingen, dengan judul Das Lied der Papierblumen. "Dicetak 10 ribu kopi. Dan setiap bulan royalti 20 persen. Kontraknya selama sembilan tahun."
Bukan hanya novel atau buku kajian, buku anak-anak dari Indonesia pun dilirik penerbit asing. Kanisius, misalnya. Penerbit dari Yogya ini, meski dikenal banyak mencetak buku filsafat, dalam gerainya di Frankfurt berfokus pada buku anak Kristiani. "Salah satu kekuatan yang membedakan kami dengan penerbit buku Indonesia lain, kami menyediakan buku-buku anak Kristiani," kata Eas Trisiwi, Kepala Penerbitan Kanisius. "Sebelum berangkat, kami sudah janjian dengan 45 penerbit."
Di lapangan, jumlah "blind date" bertambah. "Di sini mudah sekali membuat janjian," tutur Trisiwi. Ketika Tempo menyambangi gerai Kanisius, seorang penerbit dari Jerman menyelonong menanyakan apakah betul ini stan yang menyediakan khusus buku Kristiani. "Lihat, terpilihnya Indonesia sebagai Guest of Honour membuat kita diperhatikan," kata Trisiwi. Ia mengaku belum ada penandatanganan kesepakatan antara Kanisius dan penerbit luar. Tapi setidaknya ada lima judul komik cerita Injil sedang dalam penjajakan. "Ada penerbit Libanon dan Mesir tertarik I'm Always Love karya Stella Ernes. Mesir butuh buku-buku untuk dibagikan gratis kepada anak-anak pengungsi Suriah. Mereka cocok dengan buku Stella, karena bisa membangkitkan daya hidup anak-anak pengungsi."
Penerbit Mizan juga memfokuskan diri memajang buku anak-anak. Sementara Kanisius mengkhususkan diri pada buku anak Kristiani, Mizan dalam perspektif muslim. Mereka menghadirkan buku semacam The Story of Prophets dan kisah-kisah dari Quran. "Buku kami, Halo Balita Hello Kids, yang terdiri atas 25 volume telah ditawar copyright-nya oleh penerbit dari Turki," kata Sari Meutia, CEO Mizan.
Buku dalam bahasa Inggris ini, menurut Sari, dibuat oleh staf Mizan sendiri. "Buku ini intinya mendidik agar, sejak balita, anak-anak bisa mandiri dan mulai peka. Di tiap seri judul dan temanya menarik. Aku bisa mandi sendiri, aku bisa berpakaian sendiri, berani tidur sendiri, aku mencintai buku, aku harus membuang sampah di tempatnya, aku wudu, aku mencintai nabi, mencintai Allah," Sari menerangkan.
Eas Trisiwi dari Kanisius melihat buku anak selalu berkembang. "Pasar buku anak di berbagai Book Fair tidak ada habis-habisnya," katanya. Memang Frankfurt Book Fair sendiri menyediakan tempat yang luas untuk penerbit buku anak. Kita melihat bahkan ada Karl-May Verlag, penerbit buku kisah petualangan Old Shatterhand dan Winnetou yang umurnya sudah lebih dari seratus tahun dan dulu buku-bukunya di Indonesia diterjemahkan oleh penerbit Pradnja Paramita.
"Pada 2010, saat saya menghadiri Frankfurt Book Fair, ada pertanyaan besar: apakah buku cetak akan lenyap. Para penerbit buku Jerman mengatakan kita tidak tahu dengan buku lain. Tapi buku anak tetap akan dibutuhkan. Buku anak dengan ilustrasi bagus bermanfaat untuk motorik anak," kata Nung Atasana. Maka tak mengherankan bila buku doktor sastra anak-anak dari Universitas Indonesia, Murti Bunanta, Princess Kemang, ludes saat dijual di depan Paviliun Kehormatan. "Ini cerita rakyat Bengkulu menggambarkan kesetaraan perempuan," katanya.
Para komikus Indonesia pun di Frankfurt Book Fair kecipratan berkah. Tahun ini penerbit komik besar Jepang, Digital Catapult, meneken kontrak penerjemahan komik Garudayana karya Is Yuniarto, Grey dan Jingga karya Sweta Kartika, juga karya komikus Chris Lie dari komunitas re:ON. Karya mereka akan diterjemahkan ke bahasa Jepang dan diterbitkan dalam bentuk e-book. "Kontraknya berkesinambungan. Kontrak itu tidak hanya pada produk komik re:ON yang sudah jadi, tapi juga produk-produk re:ON selanjutnya yang masih akan diterbitkan. Kami bangga sekali," kata Chris Lie.
SELAIN lewat penerbit komersial, buku sastra Indonesia dalam pameran ada yang diterjemahkan ke bahasa Jerman lewat bantuan dana pemerintah Jerman. Yang memfasilitasi Litprom, organisasi nirlaba Jerman yang mengenalkan sastra dari negara-negara jauh, seperti dari Benua Asia, Afrika, dan Amerika Selatan, yang tidak dikenal khalayak Eropa.
Litprom dibentuk pada 1980 oleh sejumlah jurnalis, penerbit, penerjemah, profesor, dan aktivis gereja. Pada Book Fair kali ini, Litprom menawarkan karya 12 penulis Indonesia kepada penerbit Jerman dan Swiss. Litprom tidak mengambil keuntungan sedikit pun dari para penerbit dan penulis. Litprom mendapatkan dukungan keuangan dari Badan Bantuan Pembangunan Gereja Protestan untuk Negara Berkembang EKD Jerman dan organisasi bantuan pembangunan nonpemerintah yang bekerja sama dengan Frankfurt Book Fair.
Sejak 1984 hingga 2010, ada 17 judul buku dari Indonesia yang menjadi bagian dari program penerjemahan buku Litprom. Penulis Indonesia yang karyanya paling sering mendapat bantuan penerjemahan itu adalah Pramoedya Ananta Toer (lima kali, Trilogi Pulau Buru, Gadis Pantai, Keluarga Gerilya), Mochtar Lubis (dua kali, Jalan Tak Ada Ujung; Harimau! Harimau!), dan Ahmad Tohari (dua kali, Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari).
Menurut penerbit Horlemann dari Jerman, khusus Pramoedya Ananta Toer, meski karya Pram lima kali mendapat bantuan program penerjemahan dari Litprom, tidak ada jaminan karyanya itu diminati pembaca berbahasa Jerman. "Untuk Frankfurt Book Fair sekarang, sampai saat ini Ratih Kumala, Goenawan Mohamad, Eka Kurniawan, Okky Madasari, Seno Gumira Ajidarma, dan Dewi Lestari yang karyanya sudah dibeli penerbit Jerman," kata Anita Djafari, Ketua Yayasan Litprom.
Karya Ratih Kumala yang diterjemahkan adalah Gadis Kretek. Penerbit CulturBooks menerima bantuan finansial dari Litprom dan bantuan dari pemerintah RI sebagai bagian dari program bantuan penerjemahan. Judul terjemahannya Das Zigarettenmädchen. "Ini penting bagi kami. Kami sangat berterima kasih karena penerbit muda yang masih berumur dua tahun seperti kami sangat memerlukan bantuan seperti ini," kata Jan Karsten dari CulturBooks.
Litprom juga mengundang penerbit kecil dari Asia, Afrika, dan Timur Tengah, termasuk dari Jalasutra, Yogyakarta. "Penerbit kami diundang oleh Litprom. Kami diajari seluk-beluk kontrak. Bagaimana membeli dan menjual hak cipta," kata Sistha Oktaviana Pavitrasari, editor Jalasutra.
DEMIKIANLAH, Frankfurt Book Fair 2015 bisa menjadi babak baru dunia perbukuan Indonesia. Stephan Weidle dari penerbit Weidle, yang menerjemahkan karya Leila S. Chudori, Pulang, serta Jan Karsten dari penerbit CulturBooks yang menerjemahkan roman Gadis Kretek, terkesan oleh reaksi pembaca Jerman yang hadir saat pembacaan kedua novel itu di Pameran Buku Frankfurt 2015.
Menurut Karsten, banyak pengunjung stan CulturBooks mengatakan Gadis Kretek mengingatkan mereka pada karya pujangga Jerman terkenal, Thomas Mann, Buddenbrooks. "Ketika selesai membaca Gadis Kretek, saya sempat berpikir ceritanya terasa akrab bagi publik Jerman. Eh, benar saja, banyak yang berkomentar buku ini mirip Buddenbrooks. Kami juga menyinggungnya di sampul belakang Das Zigarettenmädchen," kata Jan Karsten.
Akan halnya Zoe Beck, juga dari penerbit Culturbooks, yang membacakan petilan Gadis Kretek dalam bahasa Jerman, tidak mengira bahwa para hadirin yang mendengarkan pembacaan langsung membeli buku Ratih dan meminta tanda tangan Ratih. "Untung saja kami membawa beberapa eksemplar," katanya.
Stephan dan Barbara Weidle, yang menemani Leila S. Chudori, juga kaget akan reaksi pengunjung Pameran Buku Frankfurt terhadap novel Pulang yang mereka terbitkan. "Banyak yang datang ke stan kami menanyakan Heimkehr nach Jakarta (judul Pulang dalam bahasa Jerman). Dan sekarang eksemplar yang tersedia habis," kata Barbara Weidle.
Stephan dan Barbara Weidle menjelaskan, mereka meminang Pulang untuk diterbitkan ke bahasa Jerman karena ada unsur sejarah dan kisah nyata di dalam buku itu. "Kami pergi ke rumah makan Indonesia di Paris, yang menjadi bagian utama novel Pulang. Kami juga sempat ke Museum Pancasila Sakti. Semuanya kami abadikan menjadi sampul buku Heimkehr nach Jakarta," kata Stephan Weidle. Sejak pertengahan 2014, Weidle sudah mencetak 5.000 eksemplar Heimkehr nach Jakarta. "Sampai saat ini kami berhasil menjual sekitar 2.000 eksemplar."
Dunia perbukuan Indonesia selama ini kurang dikenal di Eropa. Di pembukaan Frankfurt Book Fair, Goenawan Mohamad menceritakan kisah Malang Sumirang. Ia dibakar oleh Sultan karena ajarannya dianggap menyimpang dari syariah. Dengan tenang ia masuk ke kobaran api. Ia tidak hangus. Ia malah meminta kertas dan tinta. Dan, dalam jilatan api, ia malah menulis sajak. "Kita tak tahu apa yang ditulis oleh Malang Sumirang...."
Dengan gebrakan Paviliun Indonesia, Eropa mulai meraba-raba imajinasi jagat literasi Indonesia. "Ini momentum. Pemerintah harus aktif terus-menerus mempromosikan buku Indonesia di berbagai book fair," kata Murti Bunanta. "Ini saatnya kita menjual copyright. Jangan hanya berhenti di Frankfurt. Kalau tidak, pasti kembali akan tak dikenal."
Seno Joko Suyono dan Luky Setyarini (Frankfurt)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo