Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melangkah bergegas di lorong lantai dua Frankfurt Messe, musikus Ari Malibu mengabarkan berita mendadak itu: "Kami ada konser tambahan pukul 17.00. Pak Sapardi Djoko Damono baru saja memberi tahu."
Reda Gaudiamo, teman nyanyi Ari dalam duo Ari-Reda, merengut. "Saya enggak ngerti. Kok, mendadak begini?" katanya. "Ini alamatnya: sebuah gereja yang katanya tua. Saya enggak tahu di mana. Tapi kamu catat saja."
Reda membuka telepon pintarnya menunjukkan sebuah tempat: Alte Nikolaikirsche.
"Konser setelahnya tetap akan berlangsung. Pukul 19.00 di Zentralbibliothek. Mepet banget waktunya. Datang, ya?" Keduanya lalu berjalan cepat, menghilang ditelan keramaian pameran buku paling besar sejagat: Frankfurt Book Fair 2015.
Ari-Reda hanya dua di antara 90 penampil, 75 penulis, 33 penerbit, 10 pembicara, dan 10 awak panggung yang hadir dalam Frankfurt Book Fair. Tahun ini Indonesia menjadi tamu kehormatan—posisi yang membuat panitia mendapat paviliun khusus untuk menyelenggarakan banyak kegiatan: pameran buku, diskusi, pembacaan karya, tari, nyanyi, demo masak, dan atraksi membuat komik.
Idenya adalah membuka mata dunia terhadap Nusantara. "Saya sadar Indonesia sebuah negeri yang amat jauh dan umumnya tak dikenal di sini," kata Goenawan Mohamad, Ketua Komite Nasional Paviliun Indonesia, dalam pidato pembukaan. "Meski berjauhan, saya percaya kita bisa membangun percakapan."
Upaya membangun percakapan itulah yang membuat Paviliun Indonesia, ruang seluas setengah lapangan bola itu, tak pernah sepi kegiatan sepanjang pameran yang berlangsung 14-18 Oktober lalu.
Di sudut kuliner dipajang pelbagai macam bumbu yang disusun rapi di atas meja setinggi pinggang. Persis di sebelahnya terdapat ruang pentas dengan undak-undak kayu membentuk setengah lingkaran, yang berfungsi sebagai kursi penonton. Agak ke depan ada sofa bundar dengan lampu di tengah: tempat buku anak dipamerkan dan dibacakan. Di pojok lain terdapat layar berbentuk lingkaran, tempat komik Indonesia dipamerkan.
Langit-langit paviliun digelayuti sejumlah lampion berbentuk pipa segi empat yang berfungsi sebagai layar yang menangkap gambar yang disemprotkan proyektor. Cahaya redup: lampu tak dipasang untuk menerangi seluruh ruangan, tapi hanya di atas obyek yang dipertontonkan—semacam upaya menggiring konsentrasi pengunjung.
Tontonan yang dipertunjukkan mungkin remeh untuk publik dalam negeri, tapi menarik bagi pengunjung mancanegara. Ahli masak Sisca Soewitomo, misalnya, menggelar sesi khusus tentang bagaimana membungkus makanan dengan daun pisang. Tita Larasati, novelis grafis dan pengajar Institut Teknologi Bandung, dan Is Yuniarto, komikus epos Ramayana, menggambar komik mengikuti kata kunci yang disampaikan penonton.
Dramawan Butet Kartaredjasa dan N. Riantiarno berbicara tentang teater Indonesia di masa Orde Baru, termasuk bagaimana bersiasat terhadap sensor. "Biasanya saya membuat dua naskah," kata Butet, terkekeh. "Satu untuk disetor ke aparat, satu lagi untuk dipentaskan. Mereka toh tidak mengecek kalimat satu per satu."
Diskusi atau pertunjukan musik di satu sudut, pembacaan cerita di sudut yang lain. Suara kerap bercampur karena jarak ruang pentas yang berdekatan. "Enggak apa-apa, memang konsepnya begitu," kata Slamet Rahardjo, ketua panitia bidang pertunjukan. Sepanjang pameran, Slamet, pemain dan sutradara film, boleh dibilang tak beranjak dari kursinya, satu sudut di jajaran pengunjung.
Tak terjadi diskusi yang mendalam di Paviliun Indonesia Frankfurt Book Fair. Percakapan yang umumnya berdurasi 45 menit memang dirancang untuk mengenalkan Indonesia sekilas pandang. Bagi pengunjung dari Indonesia, materi yang dibahas umumnya bukan hal baru.
Percakapan tentang latar tragedi 1965 dalam novel-novel Indonesia lebih banyak memantik debat di antara pengunjung Indonesia sendiri: mereka yang menginginkan kasus itu dibongkar dan mereka yang ingin kasus itu dilupakan. Laksmi Pamuntjak dan Leila S. Chudori, dua novelis yang menulis dengan latar belakang peristiwa itu, lebih banyak ditanya tentang proses kreatif dan motif mereka mengangkat persoalan tersebut.
Sedikit lebih intensif adalah diskusi novel Larung, karya Ayu Utami. Seseorang menanyakan pendapat Ayu tentang mistik dan irasionalitas—sesuatu yang cukup menonjol dalam Larung. "Being irrational is good, as long as you are kind," kata Ayu. "Kita toh sering mengirim bunga kepada keluarga, kekasih, sebagai sikap hormat dan cinta. Mengapa kita tak boleh mengirim bunga untuk arwah leluhur?" ujarnya tentang tradisi sajen dalam masyarakat Indonesia.
Seperti Larung, sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dibahas di luar Paviliun Indonesia yang hiruk-pikuk dalam dua hari terakhir—ketika publik diizinkan masuk ke lokasi pameran. Pentas di luar Frankfurt Messe adalah "kemewahan" bagi para penampil karena tak dikejar durasi yang pendek. Selain Messe dan perpustakaan nasional, tempat lain adalah Frankfurt Lab, 20 menit naik trem dari Messe. Di lokasi ini, dua malam berturut-turut opera Gandari karya Goenawan Mohamad dipentaskan. Penonton melimpah.
Tentu saja yang juga istimewa adalah Alte Nikolaikirsche—gereja Lutherian abad ke-19 yang selamat dari amuk Perang Dunia II. Rumah ibadah yang tak besar dengan dinding cokelat dan langit-langit yang menjulang ke angkasa.
Sore itu duet Ari-Reda diletakkan di tempat yang mulia: altar. Di depannya duduk Sapardi, penyair Dorothea Rosa Herliyani, dan moderator Berthold Damshauser menghadap penonton. Pengunjung tak banyak, kurang dari 50 orang. Cahaya redup. Akustik ruang gereja menggemakan suara duo itu.
LIMA hari berlangsung, pentas dunia itu tutup layar, Ahad dua pekan lalu. Gelar tamu kehormatan diserahkan Indonesia kepada Belanda. Panitia lega. Dipersiapkan setahun terakhir—jauh lebih singkat daripada negara lain yang umumnya bekerja enam tahun—kerja keras itu rampung sudah. Pada sesi serah-terima, Goenawan terharu. Lewat acara ini, kata dia, "Saya menyaksikan masih banyak orang baik yang mau bekerja tanpa pamrih."
Pada malam penutupan, di tempat berbeda, Ari-Reda menyanyikan lagu di pentas terakhirnya. Malam belum larut di Rotlint Cafe, restoran milik seorang Indonesia yang telah lama bermukim di Frankfurt, tempat pementasan itu digelar. Di luar, suhu ambruk hingga tiga derajat di atas titik beku.
Dalam denting gitar, kedua penyanyi mendendangkan selarik sajak Goenawan Mohamad, "Dingin Tak Tercatat".
Dingin tak tercatat
pada termometer
Kota hanya basah
Angin sepanjang sungai
mengusir, tapi kita tetap saja
di sana. Seakan-akan
gerimis raib
dan cahaya berenang
mempermainkan warna
Tuhan, kenapa kita bisa berbahagia?
Arif Zulkifli (Frankfurt)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo