Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan kontainer bahan pakan ternak ilegal bebas keluar-masuk di Pelabuhan Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Kejadian merisaukan ini telah berlangsung setidaknya selama setahun terakhir. Tak ada izin. Tak ada pajak yang dibayarkan ke kas negara. Pemerintah, lagi-lagi, seperti tak berdaya menyaksikan suburnya penyelewengan ini.
Sebenarnya bahan pakan ternak itu sederhana saja, antara lain butiran jagung atau corn gluten meal (CGM). Bahan pakan lainnya adalah remahan daging, berisi tetelan dan jeroan. Ini lazim disebut meat and bone meal (MBM). Pasokan remahan daging harus diimpor karena peternakan sapi lokal memang jauh dari memadai. Sejauh ini pemerintah hanya mengizinkan impor MBM dari Australia, Selandia Baru, dan Amerika. Tetelan dan jeroan dari Eropa tak boleh masuk lantaran diduga berisiko membawa penyakit sapi gila.
Pada kenyataannya, remahan daging bahan pakan ternak dari Eropa lancar jaya memasuki pintu Pelabuhan Tanjung Priok. Modusnya, seperti yang ditemukan Tempo, dokumen impor MBM disamarkan sebagai dokumen impor butiran jagung. Di antara puluhan kontainer, petugas bea cukai dan karantina hanya meneliti satu atau dua kontainer sebagai sampel. Kontainer berisi remah bubuk daging bahan pakan ternak dari Eropa pun melaju lancar.
Peredaran ilegal butiran jagung dan remah daging pakan ternak jelas berdampak buruk. Selain ada risiko keamanan dan kesehatan, negara kehilangan potensi pajak yang tidak sedikit. Harga jual produk berbahan baku selundupan pun tentu lebih murah dibanding yang diimpor secara resmi. Pengusaha yang patuh pada regulasi jadi kalah bersaing. Karena itu Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Ternak mengajukan protes dan menuntut pemerintah tegas menegakkan regulasi.
Kekisruhan pengadaan bahan pakan ternak ini menunjukkan betapa rapuh ketahanan pangan di negeri ini. Pemerintah tidak punya strategi menumbuhkan kemampuan lokal memasok bahan pakan ternak. Faktanya, 90 persen bahan pakan ternak masih harus diimpor. Peternak lokal tidak didorong memenuhi kebutuhan remahan daging. Tak ada pula dorongan mengganti remahan daging dengan bubuk remah ikan. Padahal bubuk remah bahan pakan ternak itu berlimpah di sini.
Perkara jagung pun menyimpan cerita yang ruwet. Kementerian Pertanian yakin bahwa produksi jagung tahun ini naik 1,6 juta ton dibanding pada 2014. Karena itu pada Agustus lalu Kementerian Pertanian mengunci keran izin impor jagung. Namun kemarau panjang telah menggagalkan panen ratusan hektare ladang jagung di Jember, Lampung, Palembang, Gorontalo, Kotabaru, dan Kupang. Harga jagung pun melonjak 30 persen, dari Rp 2.800 menjadi Rp 4.000 per kilogram. Maka Gabungan Pengusaha Makanan Ternak meminta keran impor dibuka lagi.
Ketidakcocokan data jagung ini memperjelas situasi yang sudah berlangsung berpuluh tahun. Tengkulak, kaki tangan pengusaha pakan ternak, memborong jagung saat produksi melimpah dengan harga yang sangat rendah. Akibatnya, pada musim tanam berikutnya, petani kehabisan modal tanam dan terjerat utang kepada tengkulak. Lingkaran setan pun terus berulang. Situasi semakin buruk di tengah perubahan iklim dengan kemarau yang seolah-olah tanpa ujung.
Jika pemerintah serius mengatur strategi ketahanan pangan, petani dan peternak wajib dirangkul. Bukan perlakuan istimewa yang mereka butuhkan. Cukuplah dengan menata infrastruktur, membenahi tata niaga yang selalu memojokkan petani, dan menegakkan regulasi. Tanpa langkah sungguh-sungguh, ketahanan pangan kita akan selalu rapuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo