Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan pimpinan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga melarang peredaran majalah mahasiswa Lentera sungguh berlebihan. Pembredelan semacam itu tak sepantasnya terjadi di perguruan tinggi, yang harus menjunjung kemerdekaan akademis dan kebebasan berekspresi.
Pimpinan universitas beralasan mereka melarang peredaran Lentera edisi awal Oktober lalu karena tim redaksi tak mengkonsultasikan dulu isi majalah dengan sampul berjudul "Salatiga Kota Merah" itu. Selain terdengar mengada-ada, alasan ini mengingatkan kita pada "tradisi sensor" yang pernah merajalela pada masa Orde Baru. Apalagi, faktanya, pimpinan universitas memerintahkan penarikan majalah itu setelah bertemu dengan wali kota serta pejabat kepolisian dan militer di Salatiga, Jawa Tengah.
Larangan peredaran Lentera seperti menelanjangi fobia pimpinan universitas atas ikhtiar pengungkapan kebenaran sejarah Gerakan 30 September 1965 (G-30-S). Padahal awak redaksi Lentera bukan sedang mengumbar desas-desus. Mereka menulis laporan berdasarkan kajian buku sejarah, wawancara sejumlah narasumber relevan, serta observasi tempat yang diduga bekas pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia di Salatiga. Demi kemajuan kampus, pimpinan universitas seharusnya mendukung mahasiswa yang mencoba berpikir terbuka itu.
Yang patut disesalkan, setelah menyita 14 eksemplar Lentera, Kepolisian Resor Salatiga malah menginterogasi empat anggota redaksi majalah ini. Selama lima jam, polisi bertubi-tubi mempertanyakan motivasi mahasiswa menerbitkan laporan tentang G-30-S. Entah apa dasarnya, menurut polisi, laporan seperti itu bisa meresahkan masyarakat. Meski bukan tekanan fisik, interogasi polisi jelas merupakan intimidasi psikologis yang mencederai kebebasan berekspresi.
Pimpinan universitas dan kepolisian seperti mengabaikan begitu saja Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Padahal semua perangkat hukum itu menjamin kebebasan warga negara—termasuk mahasiswa—untuk mencari dan menyebarkan informasi tanpa tekanan dari pihak mana pun.
Menurut sejumlah konvensi internasional, kebebasan berekspresi memang bukan sama sekali tak bisa dibatasi. Namun pembatasan harus secara sah lewat undang-undang. Itu pun harus dilakukan secara hati-hati, untuk menjauhkan orang ramai dari hasutan kebencian atau ajakan melakukan kekerasan. Nah, bila ditilik dari laporannya, majalah Lentera kali ini jauh dari kriteria mengumbar hasutan kebencian seperti itu.
Kalaupun benar ada pihak yang berkeberatan atas laporan Lentera, seperti klaim aparat, mereka semestinya tak membungkam aktivis mahasiswa itu dengan tangan kekuasaan. Apalagi, sebelum menerbitkan laporannya, tim redaksi Lentera telah berupaya memenuhi semua standar kerja jurnalistik yang mereka pahami. Karena itu, lebih mendidik bila pihak yang merasa dirugikan menyampaikan hak jawab atau hak koreksi seperti diatur Undang-Undang Pers.
Sejauh ini upaya menarik majalah Lentera dari tangan khalayak terbukti sia-sia. Kalaupun versi cetaknya diberangus, versi digitalnya sudah menyebar luas di jagat maya. Toh, pemberangusan telah terjadi. Demi melindungi kebebasan berekspresi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perlu menelisik apa sesungguhnya di balik tindakan pimpinan universitas dan kepolisian Salatiga itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo