TUNTUTLAH ilmu sampai ke Negeri Cina. Tapi bukan karena hadis Muhammad itu Mimi ada di Beijing. Seperti teman-temannya di BLCU, Liang Xuo Mei—begitu nama Cina gadis 19 tahun ini, yang bukan muslimah—memilih mengungsi karena terus dicekam bayang-bayang menakutkan tragedi Mei. Ia pun buru-buru terbang ke Tiongkok. Awal Desember lalu, di kamar asramanya yang penuh dengan jemuran, remaja periang ini menuturkan mimpi buruknya. Berikut ini petikannya.
Setelah kerusuhan meledak 13 Mei 1998, selama 13 hari saya tidak keluar rumah. Toko keluarga kami hampir dibakar. Untung, dicegah penduduk di situ. "Jangan, ini sih Pak Haji punya," begitu kata mereka. Rumah saya yang ada di kawasan Kota, Jakarta, juga selamat. Tapi rumah kawan-kawan dekat saya ludes dijarah dan dibakar massa. Api berkobar di mana-mana. Tiap malam selalu ada ribut-ribut. Tiang listrik dipukul-pukul puluhan pemuda yang bergerombol di depan rumah. Belum lagi telepon gelap, mengancam membakar rumah kami. Enggak tahu dari mana. Kelihatannya dari telepon umum. Suaranya lain-lain. Ya, ampun, 13 hari itu saya nggak bisa tidur. Nangis-nangis melulu. Mata sampai bengkak-bengkak.
Pada hari ke-14, baru saya berani buka pintu. Eh, di luar ramai orang. Mereka tertawa-tawa. Ada yang berteriak, "Eh, Moy, (panggilan untuk gadis Tionghoa) tunggu ya, giliran elu." Saya ketakutan. Apalagi pagar depan sudah penuh dengan coretan bertuliskan "MI-MI-MI-MI".
Setelah itu, santer kabar 17 Agustus bakal meledak kerusuhan besar lagi. Papa dan Mama menyuruh saya pindah sekolah ke luar negeri. Karena sudah lama ingin belajar Mandarin, saya minta ke Beijing. Kebetulan, saudara saya baru pulang belajar dari BLCU.
Saya langsung mengurus visa. Hanya dalam waktu empat hari, visa keluar. Ketika ditanya pihak Kedutaan RRC apa alasannya, saya jawab: mau kabur. Waktu itu Papa tidak bisa berangkat karena harus menjaga toko. Mama juga pas lagi ada kangtauw (proyek) yang mesti digarap. Saya nekat berangkat sendirian. Padahal, baru sekali itu saya berangkat ke luar negeri sendirian. Sepatah kata bahasa Mandarin pun saya tidak bisa. Bekalnya cuma alamat saudara di Beijing.
Saya berangkat tanggal 28 Agustus 1998. Eh, belum turun dari pesawat, ketika melihat aksara Cina di mana-mana, saya langsung menangis sejadi-jadinya. "Wah, gua sih, nggak bakalan betah," batin saya waktu itu. Rencananya, cuma setahun saya mengungsi. Agustus lalu saya minta pulang. Papa melarang. Katanya, situasi belum aman. Waktu itu Gus Dur dan Mega, kan, belum terpilih. Terus tinggal di Cina? Ih, amit-amit. Saya nggak betah. Februari nanti saya mau pulang.
Karaniya D.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini