Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN orang memadati Stasiun Darlington di timur laut Inggris pada 27 September 1825. Mereka menyambut kereta pertama yang ditarik dengan lokomotif bermesin uap berbahan bakar batu bara yang dilepas dari Stasiun Stockton sejauh 48 kilometer.
Kereta itu tiba seperti yang diharapkan. Membawa seribu penumpang, kereta buatan ahli mesin George Stephenson tersebut melaju rata-rata 39 kilometer per jam. Maka waktu tempuh dari Stockton itu selama satu setengah jam. "Percobaan ini sangat menarik, hasilnya luar biasa memuaskan," tulis surat kabar Inggris, Cambridge Chronicle and Journal, yang terbit 7 Oktober 1825.
Suksesnya pemakaian mesin uap untuk kereta di Inggris mengilhami banyak negara mengadopsi teknologi itu, termasuk Belanda pada 1839. Dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia yang disusun Asosiasi Perkeretaapian Indonesia, pemerintah Kerajaan Belanda mengembangkan kereta mesin uap yang pembangunan relnya berkembang dari keuntungan tanam paksa di Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda pun mengusulkan pengadaan kereta uap ke Kerajaan. Kolonel Van der Wijk pada 15 Agustus 1840 mengajukan proposal tentang pengiriman gerbong dan pembangunan rel yang menghubungkan Surabaya ke Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan berakhir di Jakarta.
Proposal Van der Wijk masuk akal. Waktu itu hasil perkebunan dan perhutanan banyak yang membusuk dan rusak akibat lambatnya angkutan dari kebun ke pabrik. "Selain jauh, hewan penarik gerobak banyak yang mati atau dicuri di tengah jalan," ujar Artanto Rizky Cahyono, pengamat kereta api.
Tahun 1840, misalnya, dilaporkan banyak sapi penarik gerobak mati karena dipaksa menarik beban berat terlalu jauh. Harga sapi juga mahal karena pengembangbiakannya lama. Waktu itu satu ekor sapi yang biasanya dijual 30 gulden menjadi 50 gulden.
Dengan alasan yang masuk akal dan merugikan pemerintah Hindia Belanda itu, Kerajaan mengabulkan permintaan Van der Wijk. Melalui Keputusan Kerajaan Nomor 270 pada 28 Mei 1842, pemerintah Hindia Belanda diizinkan membangun jalur rel dari Semarang menuju Kedu, Yogyakarta, dan Solo.
Masalahnya, membangun rel panjang itu membutuhkan biaya tak sedikit. Muncul perdebatan soal siapa yang harus membangun karena pemerintah Kerajaan Belanda menarik persetujuannya mengeluarkan gulden untuk pembangunan. Para aktivis partai liberal menyarankan agar perusahaan swasta yang membangunnya, lalu menjual untuk keuntungan.
Setelah perdebatan hingga akhir 1840, Kerajaan setuju menyerahkan hak konsesinya kepada swasta melalui surat keputusan Raja Belanda tahun 1852. Perusahaan perkebunan berlomba mengajukan diri karena ingin komoditasnya lebih mudah diangkut. Namun, karena perencanaan belum matang dan belum ada contoh biaya membangun rel, pembangunan terus diundur.
Baru pada 1864, investasi pertama dilakukan oleh Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau lebih dikenal sebagai NIS atau NISM. Rel perdana yang dibangun membentang dari Kemijen atau Pelabuhan Semarang hingga Tanggung, daerah perkebunan, sepanjang 25 kilometer. Rutenya melewati Alastuwa dan Brumbung, yang diresmikan pada 1867. Sukses di Semarang, NISM membangun rel rute Jakarta-Bogor dan Yogyakarta-Semarang.
Hanya NISM perusahaan swasta yang membangun rel. Perusahaan lain mengkeret begitu melihat kalang-kabutnya NISM memodali pembangunan rel. Tak seperti yang dibayangkan semula, NISM lebih banyak rugi. Perusahaan lain pun menolak berinvestasi membangun rel di rute lain.
Akhirnya pemerintah Kerajaan jualah yang turun tangan. Pemerintah membentuk Staatspoorwegen (SS). Rel pertama yang dibangun SS sepanjang 112 kilometer dari Surabaya, Malang, hingga Pasuruan.
Setelah beroperasi, jalur kereta yang dibangun NISM dan SS ini ternyata sangat menguntungkan. Perusahaan perkebunan membayar konsensi setelah rel terhubung dari satu kota ke kota lain. Pada 1901, ada 18 perusahaan swasta yang mengajukan dan diberi konsesi membuka rel baru. Panjang rel pun melonjak dari 25 kilometer pada 1867 menjadi 3.338 kilometer.
Menurut Artanto, di awal operasi, kereta api Jawa tak terlalu berdampak pada banyaknya arus transportasi di Jalan Pos. Penyebabnya: pola pembangunan rute kereta api dari utara ke selatan Jawa. Rute-rute ini sepi dan belum sepenuhnya terhubung.
Dalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia disebutkan baru pada dua dekade terakhir abad ke-19 pemerintah membangun jaringan rel dari barat ke timur, terutama di daerah pesisir utara. Jadilah Pasuruan dan Panarukan terhubung rel, juga Panarukan ke Banyuwangi di Jawa Timur. "Pada 1920, hampir semua kota dan desa strategis di Jawa telah terhubung dengan jalur kereta api," kata Ella Ubaidi, Execu-tive Vice President Unit Conservation, Maintenance, and Architecture Design PT Kereta Api Indonesia.
Cakupan transportasi rel pun menjadi lebih luas ketimbang Jalan Raya Pos, yang dibangun Herman Willem Daendels. Menurut Ella, jalur kereta menyatukan jalur darat dan rel sehingga perdagangan Hindia Belanda makin bergairah. "Pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda meraup untung besar," ucapnya.
Mengangkut barang dengan kereta segera populer ketimbang memakai ternak. Selain lebih banyak dan cepat, kereta sekaligus difungsikan sebagai kereta penumpang. Rel juga menyambungkan daerah-daerah penghasil palawija, seperti Yogyakarta dan Solo, ke pelabuhan Semarang. "Karena itu, dampak yang langsung terasa bagi Jalan Pos adalah dalam hal pengangkutan barang," ujar Bambang Eryudhawan, Ketua Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jakarta.
Pada 1873, NISM tercatat membawa 85 ribu ton barang, termasuk barang dagangan, alat berat, hewan ternak, hingga kereta kuda. Teknologinya juga cukup mutakhir. Menurut Bambang, lokomotif penarik gerbong sama dengan kereta yang ada di Jerman, Inggris, dan Belanda, dengan kecepatan rata-rata 90 kilometer per jam.
Kereta juga difungsikan sebagai angkutan penumpang. Ongkosnya terbagi dalam tiga kelas dengan harga 0,12-0,03 gulden per kilometer. Dalam empat bulan pertama pengoperasian kereta, lebih dari 129 ribu penumpang menaikinya. Sebagian besar adalah orang pribumi, yang duduk di kelas tiga.
Sebelum 1936, kereta hanya beroperasi pada siang. Karena itu, Jakarta-Surabaya ditempuh dalam dua hari. Setelah tahun itu, kereta beroperasi 24 jam. Ditambah dengan pembangunan rel di Cirebon, jarak dua kota itu pun terjangkau dalam 13 jam. Waktu itu di dalam kereta sudah ada layanan restoran dan kereta khusus tidur.
Di zaman revolusi, kereta juga menjadi sarana bergerak para pejuang. Kereta api memudar setelah nasionalisasi pada 1950 hingga Orde Baru. Manajemen yang kacau membuat banyak rel dan stasiun mati. Pemerintah lebih mengutamakan jalan darat beraspal. "Pertimbangannya karena penduduk Jawa masih jarang dan jalanan lengang," kata Ella.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo