UPAYA Walikota Siddik Susanto mempersolek Banjarmasin, belum
juga berhasil. Tapi tampaknya ia agak sulit mencari dalih
Misalnya keadaan Banjarmasin sebagai kota tua yang pada 24
September lalu berusia 450 tahun ---- dihitung sejak Patih Masih
mendirikannya seusai perang tanding Pangeran Tumenggung lawan
Pangeran Samudera --hingga sulit menghapus keriputnya, sukar
dijadikan alasan. Sebab sebagai ibukota Propinsi kaya kayu dan
hasil hutan, kurang layak dibiarkan semrawut. Walaupun
rumah-rumah tua Banjar yang berbubungan tinggi cuma tinggal satu
dua di Kuin atau tepi Sungai Mesa, tapi Pasar Sudimampir, Pasar
Klenteng dan Blok Minseng bikinan di zaman Belanda itu, membikin
mata pedih melihatnya. Bahkan kantor Walikota yang
berdesak-desakan dengan gedung DPRD, tentu saja membikin setiap
warga kota tersenyum kecut. Untung juga setelah kantor bekas
Mako Daeral V, di jalan RE Martadinata dijadikan Balaikota,
nafas walikota sedikit lega.
Pernah Blok Minseng akan diremajakan. Tapi karena ada gugatan
Aduma Niaga (yang memenangkan perkara), kini dibiarkan termangu.
Sedang kawasan belakang Sudimampir, bukan saja belum tersentuh
peremajaan, tapi juga makin jorok dan padat bangunan liar yang
makin membiak. Sungainya makin sempit dan dangkal oleh larutan
sampah. Untung pasar ayam sudah disingkirkan dari sana Kalau
tidak, bau darah ayam sembelihan menambah sesak hidung.
Sementara jembatan Antasari, di sisinya tetap mesum sebagai
sarang gelandangan dan kaum penganggur yang berdwi fungsi
sebagai pelacur (yang wanita) atau pencopet .
Kembali Bopeng
Pernah pula sehubungan dengan MAKSI (Musyawarah Antar Kota
Seluruh Indonesia) ke-VII 13 -16 Oktober lalu, Siddik Susanto
sibuk meupuri kotanya. Kolong-kolong jembatan Coen dan Antasari
dibersihkan. Motor-motor yang biasanya memadati muka bioskop
Ria-Mawar dan jalan Niaga yang sumpeg, diusiri. Sementara Kamtib
Kamra, repot mengayunkan gada mengusiri pedagang kaki-lima dan
rombengan. Juga truk-truk sampah yang biasa ogah-ogahan itu
menambah tenaga kerjanya. Pendeknya, buat beberapa hari, para
walikota se Indonesia, tersenyum maklum memandangi Banjarmasin
yang klimis. Hingga Siddik Susanto sementara waktu terhindar
dari kritik Gubernur DKI Ali Sadikin dan Walikota Ujung Pandang
Daeng Patompo, jagoan-jagoan ketertiban dan kebersihan kota itu.
Kucuran uang Kotamadya Banjarmasin Rp 16 juta ludes buat merias
Balaikota, menambah mercury, neon dan lampu warna-warni serta
memperlancar PAM memuncratkan airnya yang biasa tersendat-sendat
-- selama musyawarah itu.
Kesemuanya kini sudah berlalu. Dan Banjarmasin kembali
memperlihatkan borok dan bopengnya. Apalagi hujan yang mulai
mengguyur bumi pertengahan Oktober lalu, membawa genangan air,
karena riol mampet. Atau kota ini perlu dijadikan tempat
musyawarah tingkat nasional lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini