SEKARANG ini Bali dari satu segi yang belum pernah terjadi
sebelumnya: perang musik pop.
Dari Bali Sea Side Cottage muncullah "The C" yang dipimpin oleh
Wedhasmara. Peralatannya hebat dan tekadnya muluk, khusus hendak
membawakan nyanyi-nyanyi Bali. Kaset pertamanya berisi 16 buah
lagu ciptaan Wedhasmara dengan judul Selikur Galungan, direkam
di studio Bali Stereo. Seakan-akan hendak meyakinkan bahwa
penciptanya benar-benar seorang Bali asli, Wedhasmara merasa
perlu mencantumkan nama lengkap dalam kaset itu: I Gusti Putu
Gede Wedhasmara asal Grenceng, Denpasar.
Ia berpendapat bahwa lagu "pop Bali" adalah lagu yang
menggunakan irama nasional (dan internasional) yang telah
disesuaikan dengan gerak kehidupan masyarakat pulau Bali. Dengan
lain kata, lagu pop Bali adalah lagu pop biasa saja dengan tema
dan bahasa Bali sebagai pemolesnya.
Celakanya orang banyak menganggap garapan "The C" kurang berciri
khas Bali. Misalnya dikatakan bahwa Wedhasmara menggunakan
tangga nada diatonis, bukan pentatonis seperti umumnya musik
Bali. Sehingga lagunya tak lebih dari pop biasa yang
diterjemahkan ke bahasa Bali. Beberapa orang lain menambahkan
bahwa mendengar namanya saja orang sudah langsung mendapat kesan
bukan Bali.
Lontaran ini tentu saja menyakitkan Wedhamara. "Itu kan cuma
nama bandsoalnya itu dari inisial Bali Sea Side Cottage",
katanya membela diri. Dia mendapat dukungan dari Sugeng dari
"Pelangi Group", yang memujikan bahwa lagu-lagu model "The C"
justru akan lebih memungkinkan pelemparannya ke arena nasional.
Sementara Putu Joni, seorang sutradara drama anggota DPRD yang
menjadi anggota band "Permata" di Tabanan, menyatakan bahwa
bagaimana pun juga pop Bali tidak boleh lari sama sekali dari
tembang Bali -- maksudnya "macapat". Ia menginginkan pop Bali
memiliki karakter yang kuat di samping kreatif. Yang dimaksud
dengan kreatif di sini adalah keterbukaannya untuk mengesahkan
pengaruh musik-musik lain. "Band kami yang bernama Permata
memasukkan unsur soul, dang-dut dan irama Mandarin dalam volume
pertamanya", ujarnya sambil dengan bangga menyodorkan kaset
berjudul Langsing Lanjar.
Bahasa
Persoalan lain yang menghangat sekitar pop Bali kemudian adalah
ikhwal "bahasa". Antara sesama musisi, grup, orang banyak serta
juga ahli-ahli bahasa timbul perbincangan. Bahkan pada sebuah
seminar akhir September yang lalu di Denpasar yang membicarakan
Bahasa Bali, para tokoh Bahasa Bali sudah menyayangkan lagu-lagu
pop Bali yang menurut mereka terlalu kacau bahasanya. "Tidak
jelas, bahasa kasar, halus atau menengah", kata Nyoman Arcana.
"Yang tak dapat dimaafkan tentu saja masalah ejaan misalnya: -
kaden saje - artinya disangka benar. Seharusnya ditulis - kaden
saja - dengan huruf a di belakang".
Sementara itu I Wayan Surpha, Sekjen Parisadha, langsung
mengecam busana para pemain musik, yang memakai celana dan
kemeja sembari melilitkan selendang di pinggang. "Kalau mau
berpakaian Bali yang lengkap Bali, kalau mau pakaian nasional
jangan pakai lilitan selendang", ujarnya. Cakra, tukang cukur,
yang jadi tokoh pop, merasa terkena selentingan soal pakaian
ini. Ia langsung merasa dirinya serba salah. "Lalu bagaimana?
Lilitan selendang dianggap menghina. Apalagi pakaian lengkap,
orang protes. Katanya tidak pantas berkain Bali pegang gitar,
pegang mikropon, pegang biola! Mestinya bagaimana?
Semua Brengsek
Sampai Oktober yang lalu sudah tercatat 5 buah band yang telah
merekam lagu-lagunya. Termasuk band "Bali Irama" pimpinan I Gde
Rai Susrama dengan 14 buah lagunya yang diberi judul Kereteg
Situbanda. Band "Pelangi Group" pimpinan Sugeng H.A dengan
judul Kaden Saja -- dua-duanya di Denpasar. Ditambah dengan band
"Permata" pimpinan I Gde Wismaya yang juga Komandan Resort
Kepolisian Tabanan.
Barusan terdengar pula nama Rakadanu anggota korps musik Komdak
XV Nusra, yang mencoba mendirikan band yang bernama "Samgita
Dewata". Dua buah lagunya Margarana dan Mayadanawa sudah sempat
populer lewat panggung tetapi belum berhasil masuk ke dalam
kaset. "Lihat kaset pop Bali yangada semua rekamannya brengsek,
saya mau rekam di studio yang terbaik", ungkap Rakadanu. Tetapi
mungkin juga karena belum ada studio terbaik yang ber kenan
menawarkan kesempatan buatnya.
Buru-buru ia disusul oleh Ngurah Arjana yang berusaha mendirikan
"Bina Vokalia Denpasar" dengan anggota beberapa orang gedongan
plus beberapa dosen UNUD. Tetapi orang cepat-cepat pula mencium
bau yang agak mengganggu karena ada kesan "intelek".
Dari Singaraja, yang sejak lama sudah punya band bernama
"Murindo" belum ada kabar. Tapi band ini rupa-rupanya bertekad
untuk tidak ikut latah. Namun seorang bernama Gde Dharma penyair
dramawan dan akhir-akhir ini banyak mencipta lagu mulai
menghimpun kawan-kawannya. Dalam HUT BKKBN di Tingarsari yang
telah mengumandangkan 5 buah ciptaannya dalam suara koor.
Adakah ini juga akan menjalar ke kota-kota lain, sebagaimana
halnya dahulu tatkala terjangkit wabah janger, drama gong dan
sebagainya yang mengguyur sekujur tubuh Bali? Putu Setia,
koresponden TEMPO di Denpasar mencoba menjawab: "Memang pop Bali
bisa menjadi mode seperti drama gong dahulu, tapi yang satu ini
praktis berbau kota. Artinya orang kampung cuma mendengar,
melihat saja, untuk ikut memegang mikropon, berjingkrakjingkrak
di panggung, agaknya mereka terlalu malu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini