Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Eulogi kepada Partai

Puisi dan prosa seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat menceritakan hidup masyarakat bawah yang rudin. Sebagian kecil menepi dari slogan revolusi.

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGHIMPUN 14 puisi, antologi Kepada Partai adalah kado 12 seniman Lembaga Kebudayaan Rakyat untuk Partai Komunis Indonesia, yang berulang tahun ke-45, pada 23 Mei 1965. Bagi Lekra, tahun itu juga istimewa karena tepat berusia 15 tahun.

Menurut Amarzan Ismail Hamid, yang menyumbangkan puisi "Memilih Jalan", ketika itu pengurus Lekra meminta para penyair yang aktif di organisasi ini mengumpulkan puisi yang bertema partai atau komunisme. "Jadi puisi itu lebih dulu ada, bukan dibuat khusus untuk menyambut ulang tahun PKI," kata Amarzan, 72 tahun, dua pekan lalu.

Meski begitu, kata "partai" ditemukan di hampir semua puisi. Dalam puisi Amarzan, partai ditulis dengan "P" bergandeng dengan kata revolusioner. Bercerita tentang seorang penyair yang menemukan komunisme, "jalan yang benar", sajak panjang lima babak ini memikat justru karena tak menempatkan partai di teras depan—ciri umum puisi Amarzan. Ideologi dan revolusi sayup sebagai latar belakang. Yang tampil adalah renungan tentang simpang jalan masa depan dengan diksi yang melankolis.

di bus atau oplet
dalam siang dan malam
kadang-kadang datang juga
mimpi lama yang mendarahkan luka

Keith Foulcher, sarjana Australia yang menelaah karya-karya seniman Lekra dalam Social Commitment in Literature and the Arts (1986), menyebut Amarzan sebagai penyair paling menonjol di Lekra karena eksplorasi bentuk dan bahasa syair-syairnya. Puisi bebasnya berupa balada yang tak selalu patuh pada rima di tiap stanza, tapi memainkan bunyi kata pada satu pokok pikiran dalam kalimat—satu corak yang masih dipakai para penyair hingga kini.

Gaya yang mirip terdapat pada sajak-sajak Sutikno W.S. Dalam kumpulan Kepada Partai, penyair Cilacap yang diasingkan ke Pulau Buru ini menyumbangkan satu puisi: "Menjanjikan Partai". Tapi puisi ini terlalu lempang jika dibandingkan dengan banyak puisi yang ia bukukan dalam Nyanyian dalam Kelam (2010).

Dalam antologi itu, peristiwa tak lagi dilaporkan seperti jurnalistik. Sutikno terasa mengendapkan pelbagai peristiwa yang ia alami sehari-hari, renungan-renungannya ketika dibui di penjara Salemba, lalu menuangkannya dalam puisi dengan diksi yang terjaga. Karena itu, seperti Amarzan, sajak Sutikno mengharukan bahkan ketika bercerita tentang "petani hitam di dampar padi menguning".

Barangkali itu karena kumpulan tersebut ditulisnya setelah 1971, jauh setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, yang memberi legitimasi kepada Orde Baru untuk "membabat dan membungkam" seniman yang dianggap kiri. Realitas yang menyesakkan itu kemudian hadir dalam sajak sedih. Renungan personal menyublim menjauh dari kata "Rakyat" yang disanjung dengan slogan dan teriakan revolusi.

Dalam karya-karya sebelum 1964, sajak-sajak seniman Lekra didominasi syair dengan diksi grandeur dan menggelembung, garang, kokoh, tapi tak menyentuh. Kita hanya membaca sederet kata hebat tanpa bisa masuk ke dalamnya untuk menyelami pengalaman penyair ketika menuliskan bait-bait itu.

Puisi-puisi Agam Wispi, misalnya, yang dimuat buku Gugur Merah (2008) dari Harian Rakjat Minggu, banyak memakai judul wah: "Kisah Tukang Obat Kebudayaan" atau "Kongres ke-22", yang ia buat untuk Dipa Nusantara Aidit, Ketua Central Comite PKI, menjelang kongres partai itu.

ayo kawan, mari keluar
ke jalan-jalan
komunisme berkibar
selamat datang zaman

ayo kawan, mari keluar
hati kita lebih keras dari lapar
genggamlah salam kata bergetar
solidaritas! kuat – tegar – benar

Jenis puisi seperti ini banyak sekali dibuat seniman Lekra. Bahkan Putu Oka Sukanta, yang menulis sajak liris, tak urung membuat puisi sanjungan kepada partai. Dalam "Kepada Adik", yang menjadi subjudul sajak panjang "Surat-surat", kalimat penutupnya berbunyi: hati dan pikiran dipadukan/ untuk mencapai satu tujuan/ jalannya hanya satu, adikku/ marilah berlomba menjadi komunis maksimum!

Pelopor sajak poster seperti ini tentu saja Aidit dan Njoto, dua pentolan PKI yang mendirikan Lembaga Kebudayaan Rakyat. Selama kurun 1946-1965, Aidit banyak menulis puisi seperti pentolan PKI lainnya, semacam M.H Lukman, Sudisman, dan Alimin. Puisi-puisi Aidit, yang kadang memakai nama samaran Amat, adalah komentar atas peristiwa besar atau anjuran revolusi.

Dalam sajak "Untukmu Pahlawan Tani" yang ditulis Aidit pada Desember 1964, alinea pertama berbunyi: di kala senja, mencari cerah, petani menggarap sawah, mencari seuli padi, sisa pembagi, dari tuan-tanah keji. Juga stanza penutup sajak "Sepeda Butut": ku-yakin sepenuh hati, Rakyat pekerja bebas pasti, PKI pemimpin sejati, sepeda bututku turut berbakti.

Njoto agak mending karena ia mencoba mengeksplorasi bentuk puisi yang umum dipakai waktu itu. Dalam "Variasi Cak", Wakil Ketua II Central Comite PKI ini menjadikan "cak" sebagai bunyi sehingga sajaknya ritmis—satu dekade kemudian, puisi mantra seperti ini dipopulerkan Sutardji Calzoum Bachri lewat kumpulan O, Amuk, Kapak.

Namun, ketika puisi tak membicarakan partai atau hal-hal besar lain menyangkut ideologi, sajak-sajak seniman Lekra bisa menyentuh juga. "Matinya Seorang Petani" dari Agam Wispi adalah puisi panjang mencekam tentang penembakan seorang petani yang mempertahankan hak atas tanahnya di depan kantor bupati. Dalam puisi itu, Agam mengulang beberapa kata horor secara ritmis: tanah, darah, hitam, kelam….

Puisi menjadi karya sastra yang paling banyak dihasilkan seniman Lekra dan mendapat tempat. Dalam rapat-rapat akbar selalu ada pembacaan puisi. Lomba yang diadakan Harian Rakjat juga lebih banyak menyoroti kategori puisi. Agaknya, ini karena waktu itu puisi alat paling ampuh untuk menyampaikan gagasan partai atau ideologi Lekra lantaran corak dan bentuknya paling sederhana serta mudah dicerna masyarakat bawah.

Padahal prosa tak kurang gemilang. Novel dan cerita pendek Pramoedya Ananta Toer adalah rekaman sejarah yang kuat, baik struktur maupun alur ceritanya. Prosa panjang Ira Iramanto atau Oey Hay Djoen memikat karena kisah yang ajek ditopang oleh diksi yang kuat: sublim, tak sekadar tentang rakyat jelata yang hidup dan masa depannya perlu ditolong komunisme dan dewa revolusi.

Barangkali itu karena prosa jauh lebih praktis menyampaikan gagasan yang diperoleh dari "turun ke bawah". Turba adalah metode seniman Lekra untuk menyerap denyut hidup rakyat yang menjadi tema besar mereka. Menurut Putu Oka, seusai turba, para seniman menuliskan pengalaman tinggal di desa-desa selama sebulan atau lebih ke dalam karya apa saja. "Banyak yang membuat cerita pendek atau novel atau reportase perjalanan," kata Putu Oka.

Dan prosa seniman Lekra bisa lucu juga. Cerita pendek Komunis Pertama karya T. Iskandar A.S., yang dimuat Harian Rakjat edisi 1 Desember 1963, mengisahkan seorang pemuda komunis mudik ke Aceh setelah lama merantau di Jakarta. Ia kecewa melihat orang-orang kampungnya masih berkutat dengan adat dan agama yang menghambat gerak revolusi. Paman dan ibunya lebih kecewa atas pilihan si pemuda. Di akhir cerita, ibunya berpesan: "Komunis pun kau, Ismet, jangan tinggalkan sembahyangmu."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus