SEORANG pengemudi mengeluh. Jalan yang sudah lebar di Jakarta, ternyata masih selalu macet saja. "Gara-gara banyak mobil kreditan, begini nih jadinya," keluhnya. Pemikiran yang cukup masuk akal. Ia tentu sering membaca iklan dan spanduk yang menawarkan mobil dengan cara pembayaran angsuran. Orang pun sering mencibir ke arah garasi rumah mewah yang memuat lima-enam mobil dan menuduhkan ledakan populasi mobil yang belum mengenal pengendalian kelahiran ini sebagai biang keladi kemacetan lalu lintas di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Ledakan populasi kendaraan bermotor memang baru berdampak pada keadaan lalu lintas jalan raya. Bagi para industriwan mobil sendiri, apa yang sekarang telah terjadi temyata masih jauh di bawah harapan. Industri perakitan mobil belum mencapai volume minimum untuk dapat beroperasi secara menguntungkan bila harus melakukan seluruh tahap produksi (full manufacturing). Astra membuat 70.000 mobil segala tipe tiap tahun. Honda membuat 8.000 unit dan Garmak (Chevrolet dan Opel) hanya 7.000 unit. Untuk pengoperasian full manufacturing agar mencapai titik impas, kata beberapa orang industriwan mobil, sedikitnya harus dibuat 30.000 mobil untuk setiap tipe. Full manufacturing agaknya merupakan obsesi yang menghantui industri mobil Indonesia pada saat ini. Situasinya memang berbeda dengan Malaysia yang tahun ini mulai melaksanakan pembuatan "mobil nasional" ber merek Proton Saga yang sepenuhnya dibuat di Malaysia. Sekalipun banyak "lawan" PM Mahathir menyebutnya bukan "mobil Malaysia" melainkan " mobil Jepang" karena seluruh desainnya dari Mitsubishi, Mahathir toh lebih kongkret mewujudkan gagasannya. Dengan investasi 500 juta ringgit, produksi pertama Proton Saga hanya mencapai 7.500 unit. "Itu berarti tiap mobil disubsidi Pemerintah Malaysia sekitar delapan juta rupiah," kata seorang sumber. Sedangkan di Indonesia, gagasan full manufacturing ini sepenuhnya harus dilakukan swasta. PM Lee Kuan Yew di Singapura bahkan menutup industri perakitan mobil mengingat kecilnya volume yang dapat diserap republik pulau yang berpenduduk 2,7 juta orang. Lebih baik mengimpor kendaraan built-up. Indonesia yang sudah membuat pesawat terbang sendiri, ternyata masih mengalami cukup banyak hambatan di sektor industri mobil. Penggunaan mesin buatan dalam negeri yang menurut jadwal full manufacturing sudah harus dilakukan pada awal 1985 hingga kini belum terlaksana. Padahal kita semua tahu bahwa industri mobil merupakan industri yang paling strategis bagi suatu negara. Itu pula sebabnya Pemerintah Amerika Serikat mati-matian mempertahankan industri mobilnya dari gempuran Jepang. Soalnya, industri mobil adalah jenis industri yang paling mudah di konversikan menjadi industri kesenjataan. Pada Perang Dunia ll semua industri mobil di dunia berubah menjadi pabrik mesin perang. Fiat di Italia bahkan membuat pesawat terbang tempur. H. Syarnubi Said, presiden direktur Krama Yudha Group yang memproduksi mobil Mitsubishi, mengatakan bahwa secara keseluruhan keadaan pasar mobil di Indonesia dalam keadaan yang cukup kritis. Pernyataannya itu didasarkan pada kenyataan bahwa sejak tahun 1982 penjualan mobil di Indonesia (total market) mengalami penurunan. Syarnubi menduga bahwa penjualan mobil tahun 1985 ini akan mengalami penurunan lagi sebesar 10%. Ia memperkirakan keadaannya baru akan membaik pada 1987 karena adanya perbaikan kondisi sektor pertanian serta pembelian yang dilakukan Pemerintah untuk kendaraan sarana Pemilu. Keadaan suram ini memang membuat para perakit mobil harus menghitung lebih teliti agar langkah-langkah usahanya dapat sejalan dengan langkah kebijaksanaan Pemerintah dan tetap menghasilkan untung. Pada dasarnya setiap usaha memang mempunyai tujuan laba. "Sampai pertengahan 1985, angka penjualan kami masih sama dengan angka penjualan semester pertama tahun lalu," kata Alam Wiyono, direktur pemasaran Toyota Astra Motor. "Tetapi, semester kedua 1985 ini bakal berat sekali. Kalau kita bisa sama dengan 1984 saja, saya rasa industri mobil boleh mengadakan kenduri besar." Alam tak sependapat bahwa Pemilu akan mengatrol penjualan mobil. "Pemilu yang lalu Pemerintah hanya membeli 6.000 mobil," katanya. Toyota sendiri memang mengalami pengempisan. Kalau pada tahun 1981 mereka berhasil menjual lebih dari 57.000 unit mobil Toyota segala jenis, tahun 1984 yang lalu mereka hanya mampu menjual 29.670 unit. ltu berarti, hanya sedikit lebih baik daripada pencapaian mereka pada tahun 1979. "Kalau keadaan ekonomi kita membaik, kata alam, pastilah pasar mobil akan membaik pula. Ini tergantung pula pada kebijakan Pemerintah. Pemasaran mobil yang malkin seret sekarang ini memang merupakan perintang utama untuk mencapai cita-cita full manufacturing Volume penjualan terus menurun. Penjualan tahun 1984 saja bahkan 12% di bawah penjualan tahun 1980. Lonjakan yang terjadi pada tiga bulan pertama 1985 pada dasarnya hanya untuk memanfaatkan kesempatan membeli sebelum diberlakukannya peraturan perpajakan baru yang mulai berlaku 1 April 1985. Kalau ditinjau dari kapasitas produksi perakitan, baru 40,9% saja yang dipakai untuk memproduksi. Dari ketidakseimbangan investasi dan produksi perakitan ini saja sudah dapat dibayangkan betapa sulitnya keadaan industri mobil saat ini. Tetapi, keputusan Menteri Perindustrian yang dituangkan dalam SK 371 tahun 1983 yang lalu telah menjadwalkan penggunaan komponen dalam negeri untuk kendaraan niaga sebagai berikut: Dari delapan komponen itu hingga saat ini baru tiga komponen yang telah diproduksi di dalam negeri: velg, cabin/chasis frame, dan axle. Mesin, yang mestinya sudah jatuh tempo, baru mencapai tahap perakitan. Soebronto Laras, Ketua Umum GAAKINDO (Gabungan Agen Tunggal dan Asembler Kendaraan Bermotor Indonesia), mengatakan bahwa memang sebenarnya sulit untuk menyanggupi permintaan Pemerintah itu. "Tetapi, jika satu perusahaan menyatakan sanggup, akan sulit nanti bagi mereka yang benar-benar tidak sanggup," katanya. Namun, sebagai Ketua Umum GAAKINDO, Soebronto tetap mendukung kebijakan Pemerintah tersebut. Karena rencana ini diperuntukkan bagi kendaraan niaga, maka sejak 1976 Menteri Perindustrian M. Yusuf telah mempersiapkannya dengan SK 976 yang membebaskan Bea Masuk dan PPn (Impor maupun Lokal) bagi kendaraan niaga termasuk jip. Sebaliknya Bea Masuk untuk sedan dinaikkan dari 50% menjadi 10%, sedangkan PPn dinaikkan menjadi 20%. Tetapi, ketentuan tentang bea masuk ini ternyata berubah lagi. Soebronto Laras juga "menyesalkan" kebijakan Departemen Keuangan yang tak sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian. Keputusan ini terutama karena makin banyak orang membeli mobil jenis jip. Mungkin juga sebagai upaya mengurangi konsumsi bahan bakar minyak. Mulai 1982 jip bensin dikenai bea masuk sebesar 20% dan PPn 10%. Jip disel bahkan dikenai PPn 40%. Peraturan Perpajakan yang baru telah menempatkan mobil sebagai barang mewah. Berarti, tambahan pajak lagi. Dan jip, yang dikenai PPn Barang Mewah 20%, makin merosot pasarannya. "Perubahan kebijakan itu memang tak diperhitungkan ketika semula rencana full manufacturing ini digarap," kata Soebroto. "Padahal, 80% pasar mobil adalah jenis kendaraan niaga. Terutama jenis minitruk yang diubah menjadi minibus." Investasi yang harus ditanamkan belum mendapat jalan keluar, begitulah kira-kira kesimpulan Soebronto. Ia memberi contoh tentang mesin kempa (press) untuk satu jenis mobil yang harganya antara 7-8 milyar rupiah. "Di Jepang harganya juga sama. Tetapi, di sana kan volumenya besar," kata Soebronto. Di Jepang mesin kempa hanya dipakai dua tahun. "Di Indonesia, untuk mencapai volume minimum, harus dipakai selama sepuluh tahun. Sedangkan Pemerintah hanya mengizinkan pemakaiannya selama lima tahun. Jelas rugi," tambah Soebronto yang juga presiden direktur PT Indohero, perakit Suzuki. Soebronto juga mengatakan bahwa untuk menekan harga jual sudah tak ada kemungkinan lagi. Dari lima unsur biaya, hanya dua unsur saja yang tidak sepenuhnya tergantung pada luar negeri, yaitu unsur biaya karyawan dan biaya perakitan/pengelasan. Tetapi dua hal itu sangat kecil artinya bagi keseluruhan biaya. Soebronto menyayangkan keadaan ini, apalagi karena harga sepeda motor sekarang sudah mendekati harga kendaraan niaga. "Kalau harga kendaraan niaga ditekan lagi, pasti orang pilih membeli mobil kecil," kata Soebronto. Pada mulanya mobil diimpor ke Indonesia dalam keadaan jadi (built-up). Untuk lebih menghemat devisa dan meningkatkan lapangan pekerjaan, mobil tidak lagi diimpor dalam keadaan jadi, melainkan harus dalam keadaan terurai (CKD = completely knocked down). Langkah berikutnya, sesuai dengan logika, adalah bahwa Pemerintah menginginkan agar mobil dapat diproduksi secara penuh di Indonesia. Dikeluarkannya SK 976 memang membuat harga mobil sedan melambung tinggi. Volume penjualan mobil tahun 1976 itu langsung merosot. Ada dampak lain yang cukup positif, yaitu munculnya kreativitas. Karena kendaraan niaga menjadi lebih murah, orang pun membeli kendaraan niaga dan meningkatkan penampilan serta bentuknya. Perusahaan karoseri pun bermunculan di mana-mana. Mobil-mobil station wagon banyak yang muncul dengan bentuk sedan setelah "diotaki" di bengkel karoseri. Tidak heran bila bengkel karoseri lalu menjadi bisnis yang laris dan menguntungkan. Pada tingkat perkembangannya kini, perusahaan karoseri tidak lagi mengetok pelat baja untuk memperoleh bentuk yang diingini, tetapi telah meningkat ke teknologi kempa (stamping). Akan halnya industri karoseri Indonesia, seorang pejabat General Motors di Indonesia pernah mengatakan: "Indonesia pada saat sekarang belum memerlukan sebuah prototipe 'mobil nasional'. Proton Saga yang disebut sebagai 'mobil nasional Malaysia' pun sebenarnya adalah Mitsubishi. Tetapi, lihat industri karoseri Indonesia yang telah menghasilkan begitu banyak bentukan baru, itu kreativitas dan hasil teknologi yang tidak boleh dianggap remeh." Tingginya, harga mobil dan seretnya peredaran uang memang kemudian menciptakan cara baru: pembelian mobil dengan pembayaran angsuran. Angky Camaro, direktur PT Indohero, mengatakan bahwa cara angsuran ini hanyalah upaya untuk menembus segmen pasar saja. Inipun kebanyakan terjadi untuk kendaraan niaga jenis minibus. Harganya rendah, sehingga mereka yang berpenghasilan tetap dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mengangsur. "Uang untuk pembayaran pertama pun biasanya tak sulit dicari," kata Edie Santoso, general manager pemasaran divisi kendaraan bermotor PT Astra International, Inc. "Mereka itu biasanya sudah punya sepeda motor atau mobil kecil yang lalu di jual untuk membayar down payment." Daihatsu HiJet yang terjual sebanyak 38.734 unit pada tahun 1984 hampir 70% dijual oleh para dealer secara kredit. Jenis sedan memang tak banyak terjual cara pembayaran angsuran. Kebutuhan akan kredit memang tak terasa di sektor ini. "Pembeli sedan baru itu kan orang yang itu-itu juga," kata Himawan Surya, direktur PT Astra International, Inc. Hampir setiap mobil model baru langsung dibeli oleh orang-orang kaya yang kemudian menjualnya lagi bila ada mobil model yang lebih baru. Begitulah, antara lain, pasar mobil bekas tercipta. "Untuk penjualan kredit mobil sedan justru sering mengalami kesulitan," kata Angky Camaro." Yang mengambil biasanya adalah pengusaha hit and run. Kalau ada uang, mereka bayar. Kalau tidak, mereka diam saja. Terpaksa kendaraan kami sita. Tetapi, menyita kendaraan bukanlah urusan gampang. Angky pernah ketemu batunya karena pemilik mobil kredit yang disita justru mengajukan tuntutan bahwa kendaraannya dicuri. Soalnya, ia sudah memegang STNK. "Law enforcement-nya memang belum ada," kata Angky. Dan selama dasar hukumnya belum lebih kuat, penjualan secara kredit tetap saja akan menemui banyak kesulitan. Ada seorang pembeli, misalnya, yang begitu membayar uang muka Rp. 1 juta lalu membawa mobil barunya ke Sumatra, keliling-keliling. Sesudah itu mobil dikembalikan dengan alasan tak mampu membayar cicilan. Padahal, kalau diperhitungkan secara sewa nilainya paling kurang Rp 2 juta. Karena itulah seleksi untuk dapat membeli mobil secara kredit sangat ketat. Menurut Angky, dari 50 permintaan hanya sepuluh saja yang akan memperoleh. "Lemahnya pasar mobil sekarang ini bukanlah karena kejenuhan pasar," kata Angky, "melainkan karena masyarakat memang tak punya uang sebanyak itu. "Dulu fasilitas KIK dapat dipakai untuk kredit mobil," kata Angky. "Sekarang dihapus." "Padahal sebenarya mobil itu dipakai sebagai sarana mobilitas pekerjaannya." Sekarang memang ada kredit profesi bagi mereka yang punya gelar kesarjanaan untuk mendapatkan kredit mobil sebagai sarana mobilitas. Fasilitas kredit bagi umum memang tidak diberikan oleh agen mobil yang bersangkutan, melainkan oleh para dealer yang didukung oleh lembaga-lembaga keuangan. "Kami tetap menerima pembayaran antara 30-45 hari dari dealer," kata Edie Santoso. Tidak seluruh merek mobil teryata yang mengalami pengempisan pasar. Daihatsu, misalnya, dari penjualan sebanyak 21.246 unit pada 1980, tahun lalu hampir mencapai 39.000 ribu unit. Dari jumlah itu, 82% adalah penjualan minibus Daihatsu HiJet. Apakah dengan demikian Daihatsu HiJet merupakan best seller? Ya, begitulah," kata Himawan Surya dari Astra malu-malu. "Itu memang tak lepas dari beberapa faktor yang menguntungkan dari kendaraan yang kita pasarkan itu," kata Himawan. Faktor pertama adalah karena bahan bakarnya yang irit. "Ketika harga BBM terus naik, mobil kami pun makin laku," katanya. Faktor kedua adalah karena harga HiJet berada pada kelas yang paling murah. Faktor ketiga adalah karena pihak Daihatsu di Jepang cepat tanggap untuk melakukan perubahan sesuai dengan keinginan konsumen. "Dulu Daihatsu hanya 350cc. Lalu dinaikkan menjadi 500 cc. Sekarang sudah 1000 cc. Dengan kekuatan mesin seperti ini jelaslah bahwa HiJet dapat lebih memuaskan kebutuhan konsumennya," kata Edie Santoso menambahkan. Tidak heran kalau HiJet selama 1984 terjual sebanyak dua kali lipat dari angka penjualan 1983. Juli 1985 yang lalu Daihatsu HiJet memproduksi mobil yang ke-130.000. Jip Daihatsu Taft, sebaliknya, pada tahun 1984 mengalami penurunan volume penjualan. "Tetapi itu adalah hal biasa, karena terjadinya penggantian model," tambah Himawan. "Setiap penggantian model mobil selalu mengakibatkan masa vakum. Model lama sudah tak diingini orang, sedang model baru belum selesai diproduksi." Secara keseluruhan, lima besar 1984 adalah Daihatsu, Mitsubishi, Toyota, Suzuki dan Honda. Untuk pertama kali Daihatsu menggeser kedudukan Mitsubishi yang sudah bertahun-tahun menduduki posisi puncak itu. Untuk kendaraan niaga, Mitsubishi hanya 1500 unit di bawah Daihatsu. Mitsubishi Colt agaknya mulai tergeser oleh HiJet. Tetapi, jip Daihatsu Taft direbut tempatnya oleh Suzuki Jimny yang makin melaju. Tahun lalu Jimny diproduksi sebanyak lebih dari 5000 unit, sedang Taft hanya sepertiganya. Jip Toyota Land Cruiser yang dulu populer, tahun lalu hanya diproduksi sebanyak 872 unit. Pada masa jayanya, jip Toyota bisa terjual 3.000 unit dalam setahun. Alam Wiyono mengatakan, Toyota memang dulunya selalu mengembangkan sedan, sesuai dengan arah sasaran principalnya di Jepang sana. Pasaran sedan mulai terpukul di Indonesia sejak Mitsubishi, Colt dipasarkan dan teryata merebut pasaran. Itu terjadi pada sekitar tahun 1972-1973," katanya. Kemudian kebijakan, yang dituangkan dalam SK 1976 makin mempersulit pasaran sedan. Di hampir seluruh negara di dunia, perbandingan antara mobil sedan dan mobil penumpang biasanya berbanding 80:20. Tetapi, di Indonesia keadaan itu terbalik. "Sekarang memang terasa lagi adanya gerakan untuk kembali ke fungsi semula. Apalagi sejak jip diesel dikenai pajak tinggi yang membuat harga jip tak jauh berbeda dengan sedan," kata Alam. Seorang direktur Toyota Astra Motor lainnya, Soemitro Soerachmad, mengatakan bahwa memang sebenarnya jip tak sesuai lagi untuk dipakai sebagai kendaraan penumpang. Cita-cita mengembangkan KBNS (Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana) pun tidak sepenuhnya berhasil dibina. Selain Toyota yang mengembangkan Kijang, VW pun mengembangkan Mitra. Datsun punya Sena, juga ada Corina, Sekarang hanya Kijang saja yang bertahan. Kijang sendiri bukanlah desain asli Indonesia karena Toyota juga mengembangkan di Filipina dengan nama Tamarauw (artinya: kerbau) yang dipergunakan sebagai oplet (jeepney). Untuk jenis sedan, tempat utama masih diduduki Honda yang memang hanya memproduksi jenis sedan. Ang Kang Hoo, Direktur PT Imora motor yang mengageni mobil Honda, mengatakan bahwa lemahnya pasar yang disebabkan oleh sulitnya uang justru membuat orang akan mencari barang yang mutunya baik. "Itu sebabnya kami sangat menjaga mutu. Dan terbukti, jumlah produksi mobil Honda tak berkurang. Sehari kami rata-rata membuat 38 mobil," kata Kang Hoo. Dengan produksi yang tidak seberapa besar itu, menurut Kang Hoo, membuatnya dapat lebih teliti memeriksa kualitas produknya. Warna cat mobil Honda biasanya menjadi standar bagi mobil merek lain. Di pasaran mobil memang ada pemeo: kalau mau lihat wama yang laku di pasaran, lihat saja wama mobil Honda yang baru keluar. Kang Hoo juga mengatakan, cat untuk mobil Honda dipesan secara khusus. Setelah disemprotkan cat itu dikeringkan melalui oven 160 derajat. "Sama dengan cat panci," katanya. "Tahan api." Orang awam mungkin "ngeri bila melihat pelataran yang penuh dengan mobil baru yang diparkir dan telah menjadi kotor oleh debu. "Pasti mobil itu tidak laku," pikir mereka. Teryata hal itu merupakan keadaan biasa dalam industri mobil. "Itu kan persediaan kita," kata Himawan Surya dari Astra. "Persediaan satu sampai dua bulan adalah hal yang biasa. Bayangkan, kalau kami harus menjual rata-rata 3000 unit mobil sebulan, maka kami sedikitnya harus punya stok 3000 unit mobil pula. Dan, jangankan sebulan, baru seminggu saja mobil yang dibiarkan di tempat terbuka sudah akan ditutupi debu tebal." Berlainan dengan Mercedes Benz yang pembeli sedannya konon harus mengantri hingga tiga bulan untuk mendapatkan mobil yang diingininya. Daya beli konsumen Mercedes Benz di Indonesia ternyata cukup tinggi. Selama 1984 terjual 2.700 produk Mercedes Benz mendominasi pasar untuk jenis bus besar. Tetapi, menurut W.F.B. Ekel, manajer promosi penjualan PT Star Motors Indonesia, volumenya sudah turun 30% dibanding hasil 1981. Untuk jarak jauh, bus Mercedes Benz memang dapat dirasakan kenyamanannya. Tetapi, ditambahkan oleh Ekel, masyarakat kita tampaknya belum terbiasa dengan bus yang mesinnya di belakang. Padahal justru itu yang membuatnya terasa lebih nyaman dan stabil. Penurunan penjualan bus Mercedes bukan karena jumlah penumpang bus juga berkurang, tetapi karena makin banyaknya bus kecil yang kini melayani rute pendek. Lia Hendrata, manajer pemasaran kendaraan niaga PT Star Motors Indonesia, mengatakan bahwa dalam menghadapi keadaan pasar yang lesu ini PT Star Motors Indonesia bersama dealer-nya lebih mengintensifkan kontak langsung dengan para pemilik armada. Kontak langsung ini sekaligus memberi kesempatan untuk menawarkan bantuan teknis untuk merawat armada bus. Sepinya pasar mobil saat ini digambarkan oleh Iman Loebis, direktur PT Java Motors, sebagai : ada waktunya mengail, dan ada waktunya mengangkat kail itu. "Saya tak bisa meramalkan bagaimana keadaannya nanti. Saya hanya yakin bahwa kebutuhan orang untuk membeli mobil selalu ada," kata Iman Loebis. Java Motors, sekalipun kecil, mempunyai pelanggan tetap yang mantap. Jip Land Rovernya banyak dipakai oleh Hankam, perkebunan dan perusahaan minyak. Bus bertingkat Leyland dibeli oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. "Tentang titik impas, jangan dibicarakan dari berapa banyak kendaraan yang kami jual," kata Iman. "Kami memang kecil, karena itu biaya overhead-nya juga tak seberapa besar." Tentang Morris Mini yang dulu banyak didatangkan, Iman juga menilai bahwa mobil itu sudah tak sesuai dengan keinginan pembeli. "Dari pertama keluar hingga sekarang Morris hampir tak berubah modelnya. Apalagi modelnya tidak empat pintu. Morris juga tidak bisa dipasangi aircondihoning. Terutama kaum wanita, mereka akan berpikir dua kali. Mobil kecil panas. Kalau kaca dibuka, debu masuk, dan jadi sasaran penjahat di tempat macet," katanya. Perakitan mobil di Indonesia sebenarnya - memang bukan hal baru. Pada 1927 di Tanjung priok Jakarta diresmikan berdirinya sebuah pabrik General Motors Java. Selama sepuluh tahun pertama pabrik ini merakit 47.000 buah mobil. Pengertian "merakit" pada saat itu temyata memasang roda. Selebih nya sudah terpasang lengkap pada mobil yang didatangkan dari Amerika dan diwadahi dalam peti kayu besar. Pabrik General Motors Java ini kemudian dijual kepada Gaya Motor yang kini antara lain merakit Daihatsu, Peugeot dan Renault. General Motors di Indonesia kini bekerjasama dengan Prosutedjo dalam PT Garmak yan mengageni mobil-mobil Chevrolet dan Opel. Ketika Datsu mengalami kesulitan di Indonesia gara-gara pertikaian antara Marubeni dan PT Indokaya, Chevrolet Luv mulai mengambil pasaran. Belakangan ini jip Chevrolet Trooper pun tampak semakin banyak di jalanan. Enam bulan pertama sejak diluncurkan ke pasar, pemesan Trooper bahkan harus menunggu satu bulan. Semula Luv merupakan 60% bisnis Gammak. Tetapi sekarang Trooper menyumbang jumlah yang sama dengan Luv. Sebagian kecil diisi oleh Opel Kadett yang dipasarkan sebagai altematif mobil 1300 cc non-Jepang. "Kami memang memasarkan Trooper sebagai mobil kedua bagi sebuah keluarga," kata Icub Supriyadi dari Garmak. Konsep mobil kedua memang sudah mulai populer pada banyak keluarga di Indonesia. Kalau bapak pergi ke kantor dengan sedan, masih ada jip atau minibus di rumah untuk mengantar anak ke sekolah atau ibu berbelanja. Gammak yang mempunyai kemampuan merakit 50 mobil sehari, Dalam kondisi lesu in bahkan hanya mencapai setengah kapasitas penuhnya, "Memang ini permainan mahal," kata Icub. "Kami lakukan investasi karena disuruh Pemerintah untuk mendukung program full manu facturing, tapi kami rugi terus." Seorang sumber lain di Garmak mengatakan bahwa di mana-mana di dunia, industri mobil selalu berdampak langsung pada negara. "Di Amerika Serikat, kalau industri mobil flu negara batuk. Jepang kini pun terancam high cost sehingga mencoba berdamai dengan Korea yang industri mobilnya bisa membahayakan Jepang," katanya. Bagaimana kalau Indonesia juga mengekspor mobil yang dirakitnya ? Mungkin delegasi Kadin ke RRC dapat membuka pasar. Toyota Kijang tentu cocok di sana. Atau kendaraan serba guna lainnya. Juga Afrika bisa diperhitungkan. Khusus untuk sedan, Singapura yang mengimpor mobil built up mungkin bisa dirayu. Tetapi, apa ya bisa ? "Kami bukannya tak pemah memikir ke arah sana," kata Himawan Surya dari Astra. "Tetapi, kami juga berpikir bahwa principal (pemilik merek) pun tentunya sudah lebih dulu berpikir ke arah pasar-pasar besar itu. Kami sekarang baru melakukan studi bersama untuk kemungkinan ekspor ke ASEAN dan Australia. Tampaknya principal akan setuju. Bagi kami, ekspor punya tiga arti. Pertama, menunjang program Pemerintah. Kedua, dengan ekspor kita tak bisa main-main lagi dengan mutu. Ketiga, karena pada dasarya pasar dapat dikembangkan ke mana pun. Cuma, saat ini memang belum waktu nya untuk bicara ekspor." "Ekspor ke Malaysia saja tampaknya akan sulit," kata Soemitro Soerachmad dari Astra. "Selain mereka merakit dan membuat sendiri, juga terutama karena struktur pasarya berbeda. Di sana lebih banyak diperlukan mobil sedan." Soemitro juga mengatakan, ekspor adalah satu-satunya prospek untuk industri mobil Indonesia, karena itu harus dipikirkan secara serius. Kesulitan pemasaran yang tengah diderita bisnis mobil ini agaknya akan mengubah arah kebijakan Pemerintah dalam rencana full manufacturing. Pemerintah sendiri memang telah melakukan dialog langsung dengan para investor untuk mencari pemecahan yang terbaik. "Industri mobil memang tak bisa disamakan dengan cottage industy yang secara luwes bisa melibatkan unsur lokal," kata seorang sumber. Contohnya, industri rokok kretek yang pembungkusnya bisa dibuat dengan mengerahkan ibu-ibu rumah tangga di sekitar pabrik. "Ini adalah soal downstream. Jadi, bagaimana caranya agar bisa terus ditekan ke bawah. Dalam hal ini Pemerintah harus ikut serta, tak bisa sepenuhnya diserahkan kepada swasta," kata sumber itu. "Harus diingat pula bahwa masalahnya bukan sekedar alih teknologi, tetapi justru industrialisasi dalam arti sepenuhnya. ditulis oleh Bondan Winarno laporan oleh Harso Widodo dan Canisyus Maran. Rubrik Pariwara ini dikelola oleh PT Duta Media.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini