HAKIM Siti Muayanah Mufti, dari Pengadilan Negeri Yogyakarta, sempat tercengang melihat Tukiyem. Wanita tua yang mengaku berusia 66 tahun itu dihadapkan kepadanya dua pekan lalu untuk diadili, dengan tuduhan melanggar Perda: menjadi kupu-kupu malam alias pelacur. Berada di antara 24 rekannya yang sama-sama kena razia, Tukiyem memang tampak lain. Ia tak ubahnya ibu, atau nenek, bagi teman-temannya seprofesi yang umumnya masih berusia belasan. Rambutnya kelabu, dan keriput di wajahnya jelas tak bisa disembunyikan. Tapi ia masih kelihatan cukup genit dalam memamerkan sisa-sisa kemontokannya. Tukiyem, yang selalu berkebaya dan bersanggul, tak menyangkal sedang menjajakan diri saat kena razia. "Saya terpaksa, Bu. Tapi saya sekarang kapok, tidak akan berbuat lagi," ujarnya sambil tersipu-sipu. Hakim Siti Muayanah geleng-geleng kepala. "Aduh, Bu . . . ," katanya. "Sudah setua ini kok masih mau berbuat begituan. Apa masih ada yang mau mendekat?" Dengan berat hati, Bu Hakim akhirnya menjatuhkan vonis 1 minggu kurungan untuk Tukiyem, di samping keharusan membayar ongkos perkara, Rp 500. Merasa bersalah, Tukiyem menerima hukuman itu tanpa protes. Menurut seorang petugas kejaksaan yang membawa Nenek Tukiyem ke sidang, wanita itu berasal dari Desa Ngawu, Gunung Kidul. Beberapa waktu lalu ia, ibu seorang anak, bercerai dari suaminya. Karena kesulitan ekonomi, agaknya, ia dengan amat terpaksa mengadu nasib sebagai WTS, bersaing dengan wanita-wanita lain yang masih segar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini