ANDAI Alfred Russel Wallace tak tertarik oleh kupu, mungkin Sulawesi tidak bakal jadi unik dalam peta geografi dunia. Syukurlah, Wallace malah terpesona. Sewaktu berjalan bersama Badrun, Ali, dan Baco di pedalaman Makassar, ilmuwan penjelajah itu melihat sekumpulan kupu-kupu beterbangan di keteduhan - sebentar ke kebun, sebentar kesemak, menggeletarkan sayap perlahan. Wallace terpaku - dan segera mengenali jenisnya: kebanyakan masuk kelompok Euplaea dan Danais. Seekor, yang hitam-biru pucat, Eronia tritaea, melayang menyusur tanah antara semak-semak, lalu hinggap di bunga. Tangkai bunga bergoyang lembut, menahan beban baru. Seekor lagi kaya dengan warna oranye bergaris-garis pada sayap yang berdasar hitam. Ini Tachyris ihtome. Keduanya anggota kelompok Pieridae, umumnya diketahui hanya beranggotakan kupu-kupu putih. "Kedua jenis ini masih baru bagi para naturalis Eropa," tulis Wallace dalam buku The Malay Archipelago. (TEMPO, 6 April, 1985). Itu kisah lama, memang - tahun 1856, ketika Wallace pertama kali mengunjungi Makassar. Lebih dari sebulan kemudian ia berangkat ke Aru, dan kembali lagi setahun berikutnya. Pada persinggahan kedua ia telah menetapkan kupu sebagai obyek pengamatan utamanya, kendati ia juga mengamati burung, kumbang, capung, dan tetumbuhan. Pengamatannya, termasuk terhadap kupu, membuahkan hasil. Wallace merumuskan teori dengan membuat garis pembagian jenis fauna pada peta Selat Makassar - dan garis itu mereka namai garis Wallace. Dengan garis itu dimaksudkan: sejak dulu Sulawesi memang terpisah dari daratan Asia - tidak seperti Jawa, Kalimantan, dan Sumatera, yang baru menjadi pulau pada Zaman Es. * * * Tentu Wallace juga ke Bantimurung - 42 km di arah timur laut Ujungpandang. Di situ sawah luas terhampar berhiaskan pohon lontar, berbataskan tebing batu terjal bergunduk-gunduk meruncing, diselimuti semak dan pohon yang hijau melebat. Di situ bintik embun membasahi daun, yang baru kering ketika sinar matahari menerobos kerimbunan - nanti, menjelang siang. Titik-titik air menetes dari dinding-dinding batu, membuat beberapa lekukan celah yang kemudian menjadi sumber air jernih, berkelok membentuk selokan. Satu yang besar membentuk sungai, diapit batu cadas yang tegak, bergerojok tanpa henti pada riam. Alam semacam itu, bertengger di ketinggian sekitar 40 meter di atas muka air laut, ternyata menyimpan ribuan kupu. Bukan tak sengaja Wallace menemukannya ketika ia menyusur pantai, mengikuti alur sungai hingga ke air terjun ini. Di lembah yang sepertinya terkurung, di antara ribuan pohon sekitar air terjun, ilmuwan itu kemudian menyempatkan tinggal selama empat hari. Selama itu Wallace dengan cermat mengamati tingkah para kupu, dan memilih-milih jenisnya. Bukan hanya Wallace yang datang ke sana. Orang kian hari kian banyak mengunjungi Bantimurung menapak jejak penyelidik itu. Bila tiba hari Minggu atau hari libur lain, kini tercatat sekitar tiga ribu karcis terjual - kawasan ini memang jadi daerah rekreasi. "Menjelang Puasa malah bisa empat kali lipat," ucap Amiruddin, pegawai honorer PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) yang bertugas di situ. Mereka - pelancong dan sedikit turis - berbasah-basah kaki atau mandi di sungai, bepercik-percik air merasakan tempias jeram, atau berpacaran di gerumbul semak bagai kupu. Untuk kesenangan pelancong yang berkunjung, areal 18 ha disisihkan bagi taman wisata. Tapi pada prakteknya pagar taman tak menahan pengunjung: orang tetap bisa menyusup lebih jauh, dengan mendaki pinggiran air terjun dan menyusuri sungai di atasnya. Tak berapa jauh, dekat gua purbakala, sungai menggenang tenang bagai telaga, yang di seputarnya juga banyak kupu bercengkerama. Sampai di situ sajalah, tak usah lebih - karena di belakangnya kawasan akan menjadi kian sulit dijamah: selain lantaran dilindungi, dihalangi pula oleh bongkah-bongkah cadas dan tumbuhan yang liar. Inilah Cagar Alam Bantimurung seluas 1.000 ha. Dalam cagar alam, kupu mendapat kebebasan hampir tanpa usik. Lebih-lebih Cagar Alam Bantimurung bertaut dengan dua kawasan cagar alam lain yang terletak di lereng yang lebih tinggi: Karaenta, seluas 1.000 ha juga, dan Bulusaraung, 5.090 ha. Dalam hutan-hutan yang bercadas itu massa kupu-kupu Bantimurung membentuk kerajaannya. Entah mengapa para pengunjung justru tak tampak tertarik pada pesona kupu-kupu. Selain para penjaja kupu, tampaknya hanya ayam yang berkeliaran di taman wisata yang peduli pada kehadiran binatang itu. Ayam-ayam berlarian, mencotok ulat-ulat bakal kupu yang jatuh dari pohon, atau yang menggelantung dengan seutas benang halusnya hingga dekat tanah. Sementara itu bagi para pelancong, taman wisata sibuk menyediakan lapangan tenis, penginapan, kamar ganti pakaian, deretan warung, dan tempat parkir. * * * Apakah peragaan para kupu tak lagi punya pesona? Ternyata, masih - seperti yang disaksikan Wallace. Setidaknya bagi H. Beddu Rewa yang kini berusia 59 tahun. "Saya tinggal di sini sejak kecil," ujarnya, seolah ingin menunjukkan betapa akrabnya ia dengan para kupu. Pengenalannya pada kupu dimulai sejak tahun 1930-an, ketika seorang Belanda - ia lupa namanya - memintanya memandu perjalanan pemburuan kupu di Bantimurung. Kini keluarga Beddu Rewa adalah satu-satunya keluarga yang bermukim di kawasan taman wisata. Ada satu kamar di rumah keluarga itu - tidak terlalu besar - digunakan untuk menyimpan koleksi kupu. Sebuah tempat kecil yang layak disebut museum kupu. Koleksi kupu Haji Beddu sangat beraneka dan memiliki kekayaan tersendiri. Koleksi itu bisa dikatakan meliputi semua kupu-kupu yang berkeliaran di seputar rumahnya. Beddu menyebut - tak jelas bagaimana cara menghitungnya - ragam kupu di Bantimurung mencapai 270 jenis. Jangan kaget bila ia masih mengalikan angka itu dengan empat. "Biasanya setiap jenis ada empat macam," tuturnya, dan keempatnya punya penampilan yang berbeda. Inilah hal yang memang tak sempat dikerjakan Wallace: menghitung ragam kupu di Bantimurung. Sayang, memang, karena bila ia sempat, tentu ada angka pembanding bagi jumlah Pak Beddu. Dari sekian jenis kupu yang bermukim di situ, ternyata Beddu dan Wallace sependapat tentang jenis mana yang terbesar ukurannya. Yakni kelompok Ornithoptera, yang memiliki bentangan sayap lebar 18cm-20cm. Wallace dulu melihatnya ketika berjalan tengah hari, dan mengaku sangat beruntung bisa menangkap tiga kupu dari jenis yang disebutnya "kupu terbesar, terbaik, dan terindah di dunia" ini. "Saya bergetar karena gembira ketika melihat kupu itu dalam keadaan baik, di dalam jaring," tulisnya. Dengan warna dasar hitam keperakan, sayap belakang kupu gigantik itu bertabur bintik putih dengan bercak besar berwarna kuning cemerlang. Ornithoptera remus ini menyita perhatian utama Wallace. Badannya legam - polos di bagian dada dan kepala - didandani bintik putih, kuning, dan oranye cerah sekujur tubuh. Sedangkan bagian dalam sayap belakang ditandai sebuah lingkaran, separuh hitam dan separuh kuning. Jenis yang lebih kecil memang banyak. Begitu kecil malah, hingga ada yang bentangan sayapnya hanya 2,5 cm. Salah satunya - walau bukan yang terkecil - adalah Apias nero. Dalam keadaan diam, jenis ini akan memperagakan keindahan bagian dalam sayapnya yang berbulu putih lembut. Di sebaliknya, yang terlihat sewaktu terbang adalah warna-warna tak kalah memikat: paduan cokelat, kuning, oranye, dalam nuansa. Kerabatnya, bersayap kuning pucat polos serta tipis, sering terbang mengawaninya, berpindah-pindah pendek pada pasir atau batu basah di pinggir kali. Di tepian kali itu, pada cadas yang basah kena percikan air, berbagai kupu hitam dengan aneka hiasan berkumpul. Ada yang berdekorasi garis biru cerah terpenggal-penggal menyilang dari ujung sayap depan hingga pangkal sayap belakang, ada pula yang diwarnai tiga bercak kuning cerah di antara rangka sayap belakang. Agaknya kawanan kupu itu mencari kehangatan pancaran sinar kecadas yang menerawang lewat sela-sela daun. Sebentar mereka terbang, sebentar hinggap, menyentuhkan kaki bagai mencuci tangan. Lalu membubung lagi. Lihat itu, seekor di antaranya tak terlalu besar, sayapnya tipis putih kekuningan. Warna hiasan hanya ada pada separuh ujung sayap depan: merah oranye menyala berpinggir hitam. Hebomia glaucippe itu hampir tak pernah diam, melintas cepat ke seberang sungai dan meliuk-liuk dalam perjalanan antarpohon. Dalam gerak cepat, kupu ini tampaknya nasionalis tulen: membawa merah putih. Sebentar ia hinggap, lalu bergerak cekatan setinggi orang tegak, mengibarkan warna merah putih. Kupu-kupu besar lebih banyak yang terbang tinggi, di dekat tajuk pohon-pohon. Umumnya melayang lamban, tak secepat kupu kecil yang biasanya menyusur tanah. Seekor Hestia sp - putih dengan garis-garis rangka cokelat - dari jauh tampak kotor, melayang lambat dari satu pohon ke pohon lain, mengesankan kemalasan. Agak di bawah, si jelita ekor panjang Papilio androcles sesekali memintas dengan gesit. "Salah satu jenis kupu berekor walet yang terbesar dan terjarang," tulis Wallace perihal Papilio androcles. Ia menyebut kupu itu menakjubkan setelah mengamati sayapnya yang putih satin dengan belang-belang cokelat bagai zebra. Sayap belakangnya berlekuk-lekuk. salah satunya menonjol panjang bagai ekor. Selain itu kelindapan Bantimurung masih menyimpan aneka tata warna lain. Di antaranya, yang dikagumi Wallace, adalah perincian jenis-jenis Ornithoptera dan Papilio sendiri. Begitu gembiranya ahli serangga itu hingga menyebut: "Saya sukses menangkap satu seri spesies yang baik." Kupu besar, dengan bentang sayap tujuh sampai delapan inci yang memesonakan Wallace ini ditandai noktah kuning satin dan hitam berkilau. Ia pelayang kuat yang biasa melintasi semak 4 perdu. Tapi di keteduhan juga berkumpul si pita biru Papilio miletus dan Papilio telephus, si hijau emas Papilio macedon, dan - yang lebih langka - kupu kecil berekor walet, Papilio reshus, yang semuanya bergerak sangat dinamis. Di lekukan batu cadas yang berair, Wallace juga menemukan Tachyris zarinda. Kupu ini menggeletarkan sayapnya yang oranye dan merah bata, terbang sepanjang saluran air, meningkahi warna-warna biru sekeliling. Ia bahkan sempat pula mencumbu kupu besar dengan sayapnya yang semi transparan, Idea tondana, yang terbang perlahan, gerombol demi gerombol. Wallace menyesal tak sempat menjumpai jenis kupu Papilio blumei. "Inilah yang paling cantik," sebut Haji Beddu - menunjuk salah satu koleksinya. Seekor kupu dengan warna dasar hitam berkilau, menyandang warna hijau lumut bagai beledu di dekat pangkal sayapnya. Di sebelah yang hijau, warna biru menyala menyelempang di sayap bagian depan. Sedang di belakang, warna biru itu berlekuk-lekuk bagai renda, dan menonjol pada bagian ekornya yang membulat di ujung. Warna itu persis cat air yang meleleh, yang birunya menguat di bagian ekor. Selain kecemerlangan warna, ada cerita tersendiri yang membuat Haji Beddu menyimpulkan, pada akhirnya jenis kupu ini yang terindah. Pagi tanggal 17 Mei 1965, katanya mengenang, dia melipir sisi hutan Bantimurung. "Saya melihat kupu yang belum pernah saya pandang sejak kecil," ujarnya bersemangat. Dengan antusias ia mengejarnya - dan berhasil menangkap kupu aneh itu. Kabar baik menyebar ke berbagai penjuru. Haji Beddu menyurati seorang kawan asingnya, seorang Amerika yang dulu pernah bersama menerabas Bantimurung, menyebut detail ciri-cirinya. Beberapa waktu berikutnya ia mendapat jawaban dari Jerman - kawan Amerikanya berkorespondensi dengan ahli di Jerman - yang menyebut kupu itu bernama Papilio blumei. Begitu gembira Haji Beddu menerima jawaban. Dan semakin gembira tatkala si Jerman memberi tahu bahwa nama blumei itu diambil dari nama penemunya. "Seharusnya nama kupu itu bedumei, karena saya yang menemukannya di bulan Mei. Tapi mereka salah mengucapkan, sehingga berubah menjadi blumei," ucapnya dengan senyum. Haji Beddu mulanya memang yakin bahwa ia penemunya, dan menyangka jenis itu langka benar. Tapi belakangan ia tahu bahwa di Palopo dan Malino - juga Sulawesi Selatan - jenis itu juga ada. Bahwa di Bantimurung jenis itu jarang ditemukan, ia menyebut alasan: makanan langka. Ragam warna kupu akan dua kali lipat banyaknya bila yang jantan dan yang betina dipisahkan. Keduanya memang mempunyai penampilan yang berbeda. Haji Beddu bisa menyebutkannya. "Di sini ceweknya cantik-cantik." Maksudnya, kupu betina itu mempunyai warna lebih cemerlang dibanding yang jantan. Tidak seperti kupu Irian, yang jenis jantannya berukuran lebih kecil dibanding si betina dan punya warna yang jauh lebih memesonakan. * * * Kupu memang memesonakan. Merekalah serangga yang selalu memamerkan keindahan sayap, juga kelincahan gerak. Bersama ngengat, kupu masuk dalam ordo Lepidoptera - sayap berbulu halus, yang juga merupakan hewan berkaki enam - hexa-poda. Sepasang antena mempercantik bentuk sangkupu, sementara sebuah belalai halus tergulung rapi - pada saatnya dipentang untuk mengisap sari bunga. Benar, Bantimurung banyak menyimpan jenis kupu. Tapi tak jelas mengapa ngengat di situ jarang tampak. Mereka sama-sama meletakkan telur di pohon, menetas jadi ulat, lalu kepompong, dan berubah lagi menjadi bentuk dewasa yang bersayap. Mereka memang sulit dibedakan. Walau tak pasti benar, pembedaan terletak pada bentuk sayap, yang pada ngengat menutupi tubuhnya yang besar, sedang kupu, bila diam, membiarkan sayapnya terbentang atau menangkup rapi ke atas, sedang badannya yang ramping dipertontonkan. Bentuk kupu Bantimurung sungguh sangat beragam. Bila dibentang, sayap kupu jenis Apias dan Hebomia berpinggir halus rata dan berbentuk mendekati lingkaran. Pada kupu kecil, sayap yang seperti itu akan membangun bentuk semanggi. Jenis lainnya bervariasi: ada yang sayap depannya melengkung ke depan, ada yang melengkung ke belakang hingga kepala merupakan bagian terdepan - bukan ujung sayapnya. Ada pula yang pipih, mengesankan kepanjangan. Jenis Papilio - walau tidak semuanya - banyak yang sayapnya berlekuk-lekuk, terutama sayap belakang. Umumnya sayap itu berlekuk delapan, dan pada beberapa kupu lekukan keempat dari arah badan menonjol seperti membentuk ekor. Di antara yang berekor ada yang ujungnya meruncing bagai jarum, ada juga yang tumpul membulat. Aneka ragam kupu itulah yang setiap hari bercengkerama mengisi udara Bantimurung. Tapi yang paling mencengangkan bagi para pengunjung yang sengaja datang melihatnya adalah, pada saat-saat tertentu kupu-kupu berbondong bergelombang keluar dari kerimbunan pohon, beterbangan di sekitar air terjun, seperti sengaja. "Akhir April hingga Mei adalah saat paling banyak kupu di Bantimurung," kata H.M. Anwar Patte, kepala Subseksi PHPA Kabupaten Maros. Hari-hari menjelang kemarau begitu merupakan saat yang paling disukai kupu untuk keluar. Tapi bila musim penghujan tiba, kupu pun menarik selimut daun, tidur, atau mati setelah meninggalkan telur yang bakal mewarisi cuaca alam berikutnya. Keriaan makin seru bila hari tak mendung. Saat matahari menyinar hangat setelah hujan reda, kupu-kupu - kendati bergerak sendiri-sendiri - tampak menjadi kolosal. Lewat tengah hari beragam jenis kupu berkumpul di cadas basah, di bawah jeram suatu hal yang dulu juga disaksikan Wallace. "Ketika surya bersinar terik-teriknya dan lingsir menjelang sore, pesisir kolam di bawah air terjun yang lembab itu mempertontonkan pemandangan yang memukau, berbintik ribuan kupu - oranye, kuning, putih, biru, hijau - mengusik kembang ros, lalu membubung ke angkasa, menggumpal bagai warna-warni awan," tulis Wallace. Sekarang pun masih ada ribuan kupu bersimpang-siur seputar lembah, dan beberapa jenis memang masih berkelompok. Hestia, misalnya, menurut Haji Beddu, suka berkerumun di sekitar mata air. "Jenis ini harus dilindungi," ujarnya. Lantaran kesukaannya akan mata air, jenis ini dinilainya menguntungkan alam: menyerbukkan pohon-pohon seputar mata air, yang berarti menjamin tersedianya air pula. Kupu yang biasa menyusur tanah mempunyai tabiat khusus pula. Jenis kecil atau sedang ini beterbangan pendek dari satu cadas ke kawasan pasir di dekatnya. Agak sedikit ke atas, kupu bergerak cepat hampir tanpa henti. Sedang di tajuk-tajuk pohon, kupu melayang perlahan bernikmat-nikmat dalam keriapan pucuk pepohonan. Di kerimbunan tajuk pohon yang tinggi, dua ekor kupu hitam berbintik-bintik cokelat tidak terlalu besar - tampak bercumbu. Keduanya melayang membiarkan diri di embus angin, luruh bersama-sama daun kering. Tapi mendadak mereka bergerak cepat berkejaran kembali, lalu menghilang. Dua jenis kupu lain juga tampak bercumbu. Kusam cokelat bagai warna cadas dan pasir (sungguh suatu penyamaran yang baik) keduanya berkejaran menyusur tanah di pinggir sungai. "Yang kecil, di belakang, itu yang jantan," kata Amiruddin. Yang besar, betina, hinggap lebih dulu, diam tak bergerak. Sang jantan tak berhenti, tapi bergerak cepat mengitari kekasihnya berulang kali, sebelum hinggap di belakangnya. Semenit kemudian, yang jantan terbang mengitari lagi, hinggap lagi, lalu keduanya terbang berkejaran, menjauh. Semua kupu memang penganut seks bebas. Dua kupu sejenis, di tempat lain, juga berkejaran dan berpusing-pusing. Saat sang jantan berputar bagai gasing mencumbu kekasihnya ada betina lain yang terbang memintas di dekatnya. Agaknya terpikat pada betina lewat yang lebih indah itu, si don juan meninggalkan kekasihnya, mengejar yang baru, yang ternyata memang hinggap tak jauh dari tempat itu. Percumbuan baru pun dimulai. Seperti lazimnya, sang jantan hidung belang berputar-putar lagi, merayu, lalu hinggap, lalu berkejaran. Sedang betina yang pertama masih setia menunggu, sampai kebetulan - ada jantan lain yang lewat, yang bersedia membuat lingkaran-lingkaran cinta. Sementara itu pinggiran kali semakin ramai dengan kupu kecil, seiring dengan makin tingginya hari. Di antaranya kupu kecil berlekuk-lekuk bergaris-garis biru laut pada dasar cokelat dan berekor, yang tampaknya masuk anggota Papilio. Kupu itu gesit menghindar menjauh setiap didekati dan biasanya terbang secara soliter. Tapi kali ini mereka tampak menciptakan pemandangan lain. Sekitar sepuluh kupu sejenis terbang menuju satu titik, berkerumun pada pasir basah: di sana dua kupu jenis lain, yang warnanya mirip jenis mereka, tergeletak mati. Kumpulan kupu itu bagai berduka. Barangkali rasa kekupuan - mungkin juga karena terkecoh oleh keserupaan warna - mendorong jenis itu berkerumun mengungkapkan rasa solidaritas. "Setiap ada kupu mati, temannya selalu mengerumuni," ucap Amiruddin mengungkapkan hal yang sering dilihatnya. Bahkan kehadiran orang, yang biasanya membuyarkan mereka, pada saat seperti itu mereka abaikan. Kebiasaan seperti itu dimanfaatkan para pencari kupu: meletakkan kupu mati pada pasir sungai untuk menjebak agar kupu-kupu lain berkumpul. Cara lain yang juga ditempuh: mengoleskan terasi pada batu basah. Entah mengapa kupu, yang biasa merasakan semerbaknya bunga, bisa tertarik pada bau terasi. Bila biasanya kerumunan itu tertangguk jaring pemburu, kali ini Amiruddin, petugas PHPA, yang membuyarkannya - dengan menghanyutkan kupu yang mati itu ke sungai. Kawan-kawannya, yang pada melayat, lalu pergi, terbang berpencaran. Kerumunan lain juga tampak di pucuk pohon. Aneka ragam kupu, besar-kecil, menikmati tandan bunga pohon duajeng yang putih kecil bersusun-susun. Beragam kupu menyatu dengan ratusan kumbang, mencecap sari bunga dan menyerbukkannya hingga menjadi buah yang sangat disukai burung. Begitu banyak ragam kupu yang saat itu menggantungkan hidup pada duajeng yang memang sedang berbunga. Pohon-pohon kecil seperti kembang sepatu dan bunga Lolongbulan, serta banyak semak, juga berbunga. Sesekali tampak kupu hitam besar, seperti Papilio helena, terbang menghampiri bunga demi bunga kembang sepatu. Tapi tidak lama - hanya mencicipi, melongok, masih adakah sari yang bisa direguk - lalu terbang lagi. Bunga Lolongbulan, menurut Haji Beddu, biasanya juga digemari berbagai kupu besar. Mahkota bunga yang kuning kecil itu hampir selalu dikerumuni kupu. Haji Beddu mendapati tumbuhan itu di hutan, dan, setelah melihat banyak kupu datang ke bunga itu, dia menanamnya di pekarangan. "Manusia saja suka bunga ini, apalagi kupu," ucapnya. Wanita Bugis-Makassar memang biasa menumbuk daun muda bunga itu, yang masih berwarna putih, untuk pupur penahan panas. Kupu ternyata juga pemilih makanan. Mereka tak akan hinggap pada sembarang bunga. "Setiap kupu akan memilih bunga tertentu," kata Haji Beddu. Kalaupun bervariasi, variasi itu hanya menyangkut bunga yang baunya mirip dengan bunga kesayangan. Misalnya ngengat kubis. Ternyata, kupu mau juga mengisap sari bunga nasturtium, yang tak ada hubungannya dengan kubis tapi memiliki aroma minyak bunga yang hampir sama. Kupu lebih selektif memilih tempat bertelur. Seakan masih ingat tanaman apa yang menghidupi mereka selagi remaja, ketika masih berbentuk ulat. Karena itu Haji Beddu menanam aneka tumbuhan yang biasa dipilih kupu untuk tempat berbiak, khususnya kupu yang dianggapnya bernilai tinggi dan jarang. Misalnya sebatang pohon merambat yang berdaun mirip sirih untuk tempat bertelur Papilio blumei. Pada tanaman itu ulat akan tumbuh hingga menjadi kupu. Selektifnya kupu memilih tempat bertelur juga menguntungkan penduduk sekitar taman wisata dan cagar alam. Pada musimnya, ulat tidak menyerbu habis pepohonan milik penduduk hingga pada meranggas mati seperti pohon-pohor jambu di pinggiran Jakarta beberapa tahun lalu. "Di sini makanan cukup," kata Anwar Patte, menjamin Alam masih seimbang . * * * Sulit dimengerti mengapa berbagai jenis kupu berkumpul di Bantimurung dan mencipta taman kupu terlengkap di dunia. Haji Beddu juga tak tahu mengapa. Ada legenda yang menyebar di kalangan rakyat setempat, misalnya bahwa dewa dahulu sengaja mencipta taman kupu-kupu di situ sebagai tempat para bidadari bermain. Tapi yang pasti, alam tentu sangat berperan. Dinding batu yang terjal puluhan meter membelukarnya perdu, kerimbunan pohon, dan berseraknya pelepah-pelepah palem mendekap erat fauna penghuninya. Manusia purba pun memilih tempat sekitar itu - di sebuah gua dekat telaga di atas, dan di taman purbakala leang-leang yang di dinding guanya tertera telapak tangan dan gambar babi. "Tak ada tempat lain yang jenis kupunya sebanyak ini," ujar Haji Beddu memastikan keistimewaan Bantimurung. Beberapa tempat lain, kantung-kantung hutan, juga menyimpan banyak kupu, tapi tak sebanyak di Bantimurung. Di Sulawesi Utara, Taman Nasional Dumoga-Bone salah satunya. Kadang murid-murid SMA menangkap kupu di situ dan mengawetkannya, sebagai bagian praktikum mata ajaran Biologi. Dan kini, sepanjang 1985, lebih dari seratus ahli serangga dunia berkumpul di taman nasional itu mengadakan serangkaian penelitian, untuk memperingati 150 tahun lembaga serangga yang paling berwibawa di dunia, Royal Entomological Society of London, dalam kegiatan yang dinamai Project Wallace. Bagian lain Sulawesi, hutan-hutan,daerah Palopo dan Malino, menurut Beddu, juga banyak mengandung kupu-kupu. Pusat kupu begitu biasanya ditandai dengan adanya alam yang masih perawan, agak tersembunyi, belum banyak dijamah orang, dan kadang diyakini penduduk sebagai tempat yang angker. "Saya senang ke daerah yang katanya angker. Biasanya banyak kupu-kupu bagus," kata Haji Beddu. Lebih-lebih bila tempat itu berada di dataran tinggi. Di pulau-pulau lain selalu ada saja pusat kupu, dalam skala yang lebih kecil. Irian, Maluku, hutan-hutan Kalimantan juga memiliki kupu mahal. Sungai-sungai berbatu dan berair jernih, di dataran tinggi Sumatera, sering menjadi tempat kupu bercengkerama. Juga di pulau-pulau mini seputar Sulawesi. "Di pulau-pulau kecil banyak kupu-kupu langka," kata Haji Beddu - walaupun dari segi jumlah dan ragam jenis bukan tandingan Bantimurung. Bantimurung, jadinya, memang kerajaan kupu-kupu. Tapi kalau harus menyebut nama Kupu Raja, atau nama kerennya Danaus plexippus, kita harus menunjuk belahan bumi lain: Meksiko - atau tepatnya hutan di pegunungan sebelah barat Kota Meksiko. Di situ kabut menyelubungi lereng yang hampir mencapai ketinggian 3.000 meter. Di situ pohon-pohon pinus tegak, memamerkan daundaun jarumnya yang silindris ramping. Di situ pula terdapat salah satu pusat fenomena alam yang paling memukau, seperti yang ditulis Jean George dalam National Wildlife. Pada musim dingin, ratusan juta Kupu Raja berkumpul di sana. Batang-batang pinus menampakkan warna aneh, begitu dikerubungi kupu-kupu, bermantel hitam-cokelat cerah memenuhi pandangan, tampak bagai beledu dari kejauhan. Setiap musim gugur tiba, gerombolan kupu beterbangan ke situ, bergayut berkelompok pada pangkal, cabang, dan ranting pohon. Kerumunan itu meliputi kawasan seluas 20 akre dan mengubah dataran tinggi Meksiko bila diterpa matahari seolah menjadi sekumpulan lampu kristal memantulkan warna-warni kaca jendela gereja yang berdenyut-denyut. Kekolosalan itu menggetarkan. Jumlah Kupu Raja yang berbondong datang, lalu berbondong pergi sewaktu musim semi, terlalu banyak untuk tidak menarik perhatian. Jumlah yang begitu banyak itu juga memukau saat terbang menyusuri sungai, lima kaki di atas air. Gerombolan kupu seolah sepakat berhenti terbang, lalu serentak hinggap di pohon. Ketika itu temperatur udara tiba-tiba anjlok ke 10 Celsius - suhu yang terlalu dingin bagi kupu untuk terus melayang. Angin yang tajam menerpa, bukan saja menggigilkan tubuh tapi bahkan membuat beku. Tak ada pilihan lain bagi kupu Meksiko selain berdesak-desak menghangatkan badan sambil menyerap kehangatan pinus. Adegan kolosal itu memang tak dipunyai Bantimurung. Tapi Bantimurung punya ragam kupu yang lebih banyak, dan barangkali lebih indah. Di situ Meksiko menyerah. * * * Daya tarik kupu-kupu tak bisa lain mendatangkan malapetaka bagi mereka sendiri. Manusia yang serakah tak akan cukup puas hanya dengan mengamatinya di tengah alam, membiarkan mereka terbang bebas. Kegiatan menangkap kupu - apa pun dalihnya - telah dilakukan sejak masa Wallace. Ia, untuk kepentingan ilmu, telah menangkapi serial kupu terbaik, tercantik, dan terbesar di Bantimurung. Baco dan Badrun kebagian tugas membawa kotak-kotak hasil tangkapan. Ketika kapal Belanda mencabut jangkar di pelabuhan Makassar akhir tahun 1857, dan bertolak menuju Eropa, Wallace memaketkan seluruh koleksi barunya ke negerinya. Sejak itu para ahli serangga silih berganti datang ke Bantimurung. Salah satunya adalah orang Belanda yang datang pada 1930-an, yang bertemu si Beddu kecil dan memintanya mengawani masuk ke lembah-lembah Bantimurung. Masih banyak lagi orang asing yang tiba. Amerika, Jerman, Prancis, dan beberapa bangsa Eropa lain. Dari Asia pun banyak - dari Jepang. Melihat orang asing menjarah kawasan itu, dan memperkirakan bahwa kupu bernilai ekonomis tinggi, penduduk setempat lalu mulai ikut menangkap. Tahun 1960-an, Beddu, misalnya, mulai mengejar kupu untuk kepentingan sendiri - tak lagi untuk kepentingan ahli asing yang dikawaninya. Koleksinya kian hari kian banyak - dan baru dijualnya bila ada pesanan. Pesanan memang selalu datang. Sepulang dari Bantimurung, kawan asingnya sering menyuratinya, meminta dikirim jenis tertentu untuk kelengkapan. "Kalau tak ada dalam simpanan, baru saya tangkapkan," ujarnya mengenai responsnya kepada surat jenis itu. Tak hanya Bantimurung yang dilacaknya untuk mendapatkan jenis yang tak ada itu. Setiap pergi ke daerah lain, ia juga berusaha mendapatkan kupu terbaik di situ. Sementara itu Haji Beddu menyiapkan bejana yang berisi alkohol 100 persen. Kupu kemudian dicelupkan ke alkohol itu. "Ini cara terbaik mengawetkannya," katanya. Dengan dibantu kaca mata, penglihatannya yang tua mengamati baik-baik keadaan sayap binatang itu: layak atau tidak kupu itu disimpan. Dalam keadaan sayap tertangkup, kupu diletakkan pada kertas tipis bujur sangkar yang dilipat diagonal menyilang. Bungkusan kupu lalu ditumpuk-tumpuk dalam kotak yang rapat, yang di dalamnya ditaburi gerusan kamper. Terkadang sampai 1-2 tahun kotak itu dibiarkan tanpa dibuka. "Dengan cara ini, kalau sudah dibuka nanti, kupu bisa bertahan sampai 10 tahun tanpa berubah warna." Bila kelak akan dibuka, Haji Beddu hanya perlu menyiapkan air panas dalam mangkuk. Dengan pinset, kupu dicelupkan ke air. Kaki yang telah kusut dan kaku ditarik-tarik hingga lentur, dan dibuat posisi yang serupa dengan ketika ia masih hidup. Pangkal sayap ditarik perlahan, hingga persendian lemas kembali. Setelah ditiup-tiup, agar tak lagi rekat, sayap bisa dibuka. Siaplah kini kupu dipajang dalam pigura. Ada cara lain yang biasa dilakukan. Yakni menggunakan formalin, bahan yang memang biasa dipakai untuk mengawetkan hewan. Cara menggunakannya sama dengan penggunaan alkohol. Tapi Haji Beddu tak merekomendasikan cara ini. Hasilnya, katanya, kurang baik. Benar kupu akan bisa awet, tahan lama. Tapi akan kaku: kaki tak akan bisa dikembalikan pada posisi semula, seperti pada yang menggunakan alkohol. "Kalau akan dibentangkan lagi, sayapnya sering patah." Para penjaja kupu di Bantimurung umumnya menggunakan cara yang lebih praktis. Kupu dibentangkan pada karton manila, ditaburi bubuk kamper, lalu dibungkus dengan plastik. Bungkusan kupu lalu dimasukkan dalam kotak karton manila yang mirip dengan tempat penganan. Lalu dijual. Cukup banyak kupu yang dijual semacam itu. Seorang pemuda berkaus biru tampak membawa jaring memasuki areal terlarang. Sepanjang parit, dekat gerombolan pohon palem di cagar alam, dia mengibaskan jaringnya berulang kali. Sial: belum lama dia berburu seorang petugas mendatanginya. Melihat si petugas menghentikan mobil, dalam jarak yang tak terlalu jauh, penangkap kupu itu langsung merat menjauhi cagar alam, menuju arah perkampungan. Dua anak pemburu kupu lainnya tampak mengendap-endap sepanjang pinggiran sungai, memasuki kawasan cagar. Mereka telah mendapatkan seekor kupu, dan kini merencanakan satu jebakan besar. Kupu yang mati itu mereka letakkan di pasir basah, dan lima menit kemudian kupu-kupu sejenis berkerumun di situ. Tinggal huuup - jaring ditangkupkan, dan terjeratlah semua "pelayat" yang lagi berkerumun. Tapi tidak: mereka belum sempat mengayunkan jaringnya ketika Amiruddin datang. Keduanya pun kabur. "Yang besar itu namanya Sampe," kata Amiruddin. Setahun bertugas disitu setelah tamat SMA, Amiruddin segera mngenali siapa-siapa yang biasa mengusik kupu di kawasan itu. Mereka bukan hanya menangkap, tapi menjual pula secara sembunyi-sembunyi kalau para pelancong datang. Menurut Amiruddin, ada sekitar 10 anak belasan tahun - seperti halnya Sampe - berprofesi pencuri kupu-kupu. "Biasanya sehari laku dua karton," kata seorang penjaja yang enggan diketahui namanya. Setiap karton berisi 20 kupu, yang dijual seharga Rp-2.500. Pada hari-hari libur, ada lima sampai tujuh anak berjualan kupu di Bantimurung. Tak pasti berapa jumlah kupu yang terkuras demi uang saku. "Saya menangkap di luar - bukan di sini," kilah mereka. Yang pasti, dari mereka kupu menyebar ke rumah-rumah, ke Ujungpandang, ke Jawa, bahkan ke mancanegara, dibawa oleh para turis asing yang tertarik meskipun awam. Beberapa art & souvenir shop di Jalan Somba Opu, Ujungpandang, memilah-milah kupu yang cantik untuk dipasang di pigura kaca setiap enam kupu satu pigura. Bagi Haji Beddu, bukan penjualan model begini yang diharapkannya. "Saya hanya mengharapkan pesanan," kata Haji Beddu. Dulu selalu saja ia dapat pesanan dari Amerika atau Eropa, dari beberapa museum, juga pengumpul pribadi. Kupu dikirimkan sesuai dengan jenis yang diminta, pasang demi pasang. Penjualan begini menghasilkan uang yang lebih baik dibanding penjualan eceran. Bayangkan: kupu Bantimurung ada yang pernah dijualnya dengan harga US$ 25 sepasang. Bahkanada yang mencapai US$ 150, yaitu Papilio paradisiaca yang berwarna hitam-hijau cerah. Kawan Haji Beddu malah pernah menjual Papilio alexandria, kupu Irian, US$ 500 sepasang. Tapi kini pasaran kupu dunia, menurut Beddu, ambruk total. Kupu terbaik pun hanya laku US$ 10 sepasang. "Sudah dua tahun ini tak ada yang memesan." * * * Sebelum 1970, Haji Beddu bisa dengan sedikit bebas menangkap kupu di Bantimurung. Tapi tidak setelah itu. Memang. "Setelah ada PPA, kami memberi tahu, kalau menangkap kupu harus ada izin," kata Anwar Patte, pimpinan PHPA setempat. Sejak itu Haji Beddu mengantungi izin koleksi kupu yang didapat dari Ditjen PHPA, yang harus diperbaruinya setiap tiga bulan. Selain melarang, agaknya pemerintah juga menempuh cara merangkul. Haji Beddu tetap dibiarkan menempati rumah yang sejak dulu telah dihuninya di dalam kawasan. Memang dia yang paling tahu kondisi alam di kawasan itu secara menyeluruh. Tanda nyata usahanya: menanam beberapa tumbuhan yang diperlukan kupu untuk tempat bertelur, di pekarangan rumahnya. Perjalanan Haji Beddu ke berbagai daerah lain juga menguntungkan Bantimurung. Setiap menemukan telur kupu dari jenis yang tak ada di Bantimurung, dia membawanya pulang. Ada yang menetas, ada yang tidak, tapi secara tidak langsung langkahnya telah memperbanyak ragam kupu di kawasan ini. Di belakang pekarangan rumah, sebuah sangkar kasa besar, berukuran tinggi 3 meter, berdiri di sela kerimbunan. Beberapa pohon ditanam di dalamnya, dimaksudkan sebagai tempat berbiak kupu. "Ini bantuan dari Pak Emil Salim," katanya. Tapi ukurannya yang tanggung, dan kini sudah keropos digerogoti waktu, menjadikan sangkar itu tak banyak berfungsi. Kabarnya dia telah mengusulkan pada Pemda agar membangun yang lebih besar. Bagaimanapun, kepercayaan yang diberikan kepada Haji Beddu cukup besar. Malah anaknya, Baharuddin, diangkat pula sebagai pegawai PHPA yang mengawasi Bantimurung. "Ini sengaja. Agar keluarga itu merasa lebih memiliki Bantimurung," kata Patte. Untuk keperluan pengawasan itu, kini PHPA Subseksi Maros mempekerjakan delapan orang - pegawai negeri dan honorer - dengan wilayah kerja Cagar Alam dan Taman Wisata Bantimurung. Akankah Bantimurung bertahan? Hanya generasi 100 tahun mendatang yang bisa membuktikannya. Bahwa kini orang belajar mengenal kupu, bahwa kini orang mempersoalkannya, tentu bagus sekali. Siapa tahu Bantimurung bisa melahirkan lagi teori yang lebih penting dari teori Wallace.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini