Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Si Tua Itu Masih Diperlukan

Oplet sebagai angkutan warga kota jakarta masih di perlukan dan belum ada kebijaksanaan tertentu oleh pemda dki, sebagai alat angkutan umum. para pemiliknya tetap bertahan. (kt)

4 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKALI lagi ini persoalan oplet di Jakarta. Rupanya masa depan si tua yang setia mengangkut warga kota sejak dahulu itu belum jelas benar. Sebab di satu pihak menghendaki agar jenis angkutan umum ini dihapuskan dengan membiarkanya punah pelan-pelan. Tapi di pihak lain, terutama Para pemilik dan pengemudi oplet, bertahan. Bahkan pihak terakhir ini secara setia mengundurkan diri ke pinggiran-pinggiran Jakarta sesuai dengan ketentuan yang makin mendesak daerah operasinya ke tepi kota. Tapi dengan diam-diam dan susah payah pula sebagian mereka memperbaharui kendaraannya. Dalam rencana induk DKI sendiri tak secara jelas dicantumkan gagasan menghapuskan oplet ini. Menurut ir. Budihardjo Sukmadi. Kepala Sub Bidang Prasarana dan Perhubungan Bappeda DKI, dalam rencana induk hanya disebut bahwa jenis angkutan kereta api, taksi dan alat angkutan ke IV merupakan alat-alat angkutan yang dibina dan dikembangkan di Jakarta. Tapi, tambah Budihardjo, terhadap oplet sebagai jenis alat angkutan yang secara realistis hidup dalam masyarakat dapat diambil kebijaksanaan tertentu oleh Pemda DKI. Karena itu, apakah oplet hendak dipertahankan atau tidak "hal itu merupakan detail yang tak perlu secara tegas disebutkan dalam rencana induk." Tapi Budihardjo mengakui bahwa rencana induk DKI yang berlaku sejak 1965 dan berjangka waktu sampai 1985, realisasi dan perkembangannya terus menerus dimonitor. Untuk itu dalam waktu 10 tahun sekali akan dilakukan evaluasi dan revisi. hingga, tutur Budihardjo lagi, kalau misalnya kereta api, bis dan lainnya karena sebab-sebab tertenu mengalami perkembangan tak seperti diharapkan, pola angkutan itu bisa saja diperbaiki sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat. Tak Menguntungkan Meskipun belum pernah terdengar apakah Pemda DKl sudah pernah melakukan evaluasi dan revisi terhadap rencana induk untuk 10 tahun pertama ini, namun rupanya pihak Pemda DKI tetap menghendaki penghapusan oplet. Sebab. kata B. Harahap, juru bicara Balaikota DKI, pola angkutan oplet dipandang kurang menguntungkan, baik bagi Pemda DKI maupun pengusaha sendiri. Menurut Harahap, biaya mengusahakan oplet secara teknis cukup mahal ketimbang jumlah penumpang yang dapat diangkutnya lagi pula usaha oplet tak bisa berkembang sesuai dengan perkembangan kota yang memerlukan angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar untuk jarak jauh. Tambah Harahap: menghapuskan oplet juga dimaksudkan untuk sedapat mungkin mengurangi jumlah kendaraan yang berlalu lalang dan memadati lalu lintas. Untuk yang terakhir itu Harahap mengambil alasan bahwa ukuran tubuh oplet relatif sama di jalan raya jika dibanding badan bis kota. Padahal daya angkut bis kota sedikitnya 6 kali lebih banyak dibanding oplet. Tapi juru bicara Pemda DKI itu juga cepat-cepat mengakui bahwa sampai sekarang jumlah bis kita belum memadai. "Karena itu oplet tidak dihapus secara drastis tapi secara alamiah" tutur Harahap. Cerita Amir Dibunuh secara alamiah atau tidak, tapi menurut Amir (45 tahun) supir dan sekaligus pemilik oplet jurusan Kota-Senen. "tak ada alat angkutan yang paling ekonomis dan tetap mempertahankan harkat manusia sebagai manusia selain oplet. Amir menuturkan, dengan Rp 75 warga ibukota ini nlasih bisa naik oplet dengaan enak dan aman. Ia membandingkan jika naik bis paling kurang harus merogoh kantong dengan Rp 100. "Dan kita diperlakukan sebagai kambing naik dibetot turun didorong-dorong." Menurut Amir bekas pegawai Kas Negara dan membawa uplet sejak 3 tahun lalu, "usaha menghapuskan oplet cuma permainan politik pejabat-pejabat DKI." Amir menuduh, "kegiatan mengganti oplet dengan merebut rute-rutenya melalui sogokan uang." Dan tentang usaha oplet menguntungkan atau tidak, bekas pegawai Kas Negara itu menghitung begini. Ia membeli opletnya dengan harga Rp 125.000. Dengan 2 liter bensin, ia mampu menempuh jarak Kota Senen pulang pergi dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam. Sekali bulak-balik ia mampu mengumpulkan uang paling sedikit Rp 1000. Setiap hari rata-rata ia menempuh rute itu 10 kali. Karena itu ketika ia sudah berkumpul lagi dengan keluarganya di waktu malam, di kantong Amir terselip lembaran-lembaran uang sekitar Rp 7.000 bersih. Akan halnya suku cadang alias onderdil, heherapa supir oplet mengakui "tak sulit dicari." Banyak di pasaran. Mereka tak tahu bagaimana alat-alat itu diimpor. Tapi kabarnya dimasukkan dari Singapura sebagai barang bekas dengan harga murah . BN Marbun Sikap para pemilik dan pengemudi oplet untuk tetap bertahan rupanya mendapat dukungan dari BN Marbun SH, seorang anggota DPRD-DKI yang besar perhatiannya terhadap alat angkutan kaum ekonomi lemah itu. Menurutnya, pendapat bahwa oplet cuma mengganggu lalu lintas adalah salah tafsir. "oplet tak banyak mogok, tak memerlukan tempat parkir luas," kata Marbun "berarti oplet tak perlu ditakuti sebagai pengganggu lalu lintas." Ia yakin bagaimanapun perkembangan Jakarta, sampai 50 tahun mendatang jenis kendaraan ini masih tetap dibutuhkan warga DKI. Apalagi, tambahnya, secara ekonomis usaha oplet bersifat padat karya dan tak pernah mengeluh soal kredit, apalagi tak pernah mengganggu devisa negara. Tapi Marbun menambahkan, untuk mempersoalkan masa depan oplet ini harus ada input dari masyarakat agar sekurang-kurangnya DPRD-DKI bergerak untuk membahasnya. Dorongan itu rupanya menjadi kenyataan tatkala sebuah delegasi Organda DKI (yang juga mencakup oplet) pirnpinan Andi Sose awal Pebruari lalu menghadap pimpinan DPRD-DKI . BS Manihuruk Ketua Organda Unit Oplet dan Angkutan IV turut dalam delegasi itu dan menyampaikan keresahan kalangan peropletan. Bahkan ia mengungkapkan bahwa masalah pola angkutan di DKM masih perlu dipersoalkan. Karena dalam pelaksanaannya tak pernah mendapat persetujuan DPRD-DKI. Oleh sebab itu kepada TEMPO Manihuruk bertutur, bahwa gagasan untuk menghilangkan oplet dengan membiarkannya mati secara alamiah, "itu cuma omongan Humas DKI." Nyatanya, masyarakat masih membutuhkan oplet, tambah Manihuruk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus