SEKALI lagi ini persoalan oplet di Jakarta. Rupanya masa depan
si tua yang setia mengangkut warga kota sejak dahulu itu belum
jelas benar. Sebab di satu pihak menghendaki agar jenis angkutan
umum ini dihapuskan dengan membiarkanya punah pelan-pelan. Tapi
di pihak lain, terutama Para pemilik dan pengemudi oplet,
bertahan. Bahkan pihak terakhir ini secara setia mengundurkan
diri ke pinggiran-pinggiran Jakarta sesuai dengan ketentuan yang
makin mendesak daerah operasinya ke tepi kota. Tapi dengan
diam-diam dan susah payah pula sebagian mereka
memperbaharui kendaraannya.
Dalam rencana induk DKI sendiri tak secara jelas dicantumkan
gagasan menghapuskan oplet ini. Menurut ir. Budihardjo Sukmadi.
Kepala Sub Bidang Prasarana dan Perhubungan Bappeda DKI, dalam
rencana induk hanya disebut bahwa jenis angkutan kereta api,
taksi dan alat angkutan ke IV merupakan alat-alat angkutan yang
dibina dan dikembangkan di Jakarta. Tapi, tambah Budihardjo,
terhadap oplet sebagai jenis alat angkutan yang secara realistis
hidup dalam masyarakat dapat diambil kebijaksanaan tertentu oleh
Pemda DKI.
Karena itu, apakah oplet hendak dipertahankan atau tidak "hal
itu merupakan detail yang tak perlu secara tegas disebutkan
dalam rencana induk." Tapi Budihardjo mengakui bahwa rencana
induk DKI yang berlaku sejak 1965 dan berjangka waktu sampai
1985, realisasi dan perkembangannya terus menerus dimonitor.
Untuk itu dalam waktu 10 tahun sekali akan dilakukan evaluasi
dan revisi. hingga, tutur Budihardjo lagi, kalau misalnya kereta
api, bis dan lainnya karena sebab-sebab tertenu mengalami
perkembangan tak seperti diharapkan, pola angkutan itu bisa saja
diperbaiki sesuai dengan kenyataan yang ada di masyarakat.
Tak Menguntungkan
Meskipun belum pernah terdengar apakah Pemda DKl sudah pernah
melakukan evaluasi dan revisi terhadap rencana induk untuk 10
tahun pertama ini, namun rupanya pihak Pemda DKI tetap
menghendaki penghapusan oplet.
Sebab. kata B. Harahap, juru bicara Balaikota DKI, pola
angkutan oplet dipandang kurang menguntungkan, baik bagi Pemda
DKI maupun pengusaha sendiri. Menurut Harahap, biaya
mengusahakan oplet secara teknis cukup mahal ketimbang jumlah
penumpang yang dapat diangkutnya lagi pula usaha oplet tak bisa
berkembang sesuai dengan perkembangan kota yang memerlukan
angkutan yang mampu mengangkut penumpang dalam jumlah besar
untuk jarak jauh. Tambah Harahap: menghapuskan oplet juga
dimaksudkan untuk sedapat mungkin mengurangi jumlah kendaraan
yang berlalu lalang dan memadati lalu lintas.
Untuk yang terakhir itu Harahap mengambil alasan bahwa ukuran
tubuh oplet relatif sama di jalan raya jika dibanding badan bis
kota. Padahal daya angkut bis kota sedikitnya 6 kali lebih
banyak dibanding oplet. Tapi juru bicara Pemda DKI itu juga
cepat-cepat mengakui bahwa sampai sekarang jumlah bis kita
belum memadai. "Karena itu oplet tidak dihapus secara drastis
tapi secara alamiah" tutur Harahap.
Cerita Amir
Dibunuh secara alamiah atau tidak, tapi menurut Amir (45 tahun)
supir dan sekaligus pemilik oplet jurusan Kota-Senen. "tak ada
alat angkutan yang paling ekonomis dan tetap mempertahankan
harkat manusia sebagai manusia selain oplet. Amir menuturkan,
dengan Rp 75 warga ibukota ini nlasih bisa naik oplet dengaan
enak dan aman. Ia membandingkan jika naik bis paling kurang
harus merogoh kantong dengan Rp 100. "Dan kita diperlakukan
sebagai kambing naik dibetot turun didorong-dorong."
Menurut Amir bekas pegawai Kas Negara dan membawa uplet sejak 3
tahun lalu, "usaha menghapuskan oplet cuma permainan politik
pejabat-pejabat DKI." Amir menuduh, "kegiatan mengganti oplet
dengan merebut rute-rutenya melalui sogokan uang." Dan tentang
usaha oplet menguntungkan atau tidak, bekas pegawai Kas Negara
itu menghitung begini. Ia membeli opletnya dengan harga Rp
125.000. Dengan 2 liter bensin, ia mampu menempuh jarak Kota
Senen pulang pergi dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam. Sekali
bulak-balik ia mampu mengumpulkan uang paling sedikit Rp 1000.
Setiap hari rata-rata ia menempuh rute itu 10 kali. Karena itu
ketika ia sudah berkumpul lagi dengan keluarganya di waktu
malam, di kantong Amir terselip lembaran-lembaran uang sekitar
Rp 7.000 bersih.
Akan halnya suku cadang alias onderdil, heherapa supir oplet
mengakui "tak sulit dicari." Banyak di pasaran. Mereka tak tahu
bagaimana alat-alat itu diimpor. Tapi kabarnya dimasukkan dari
Singapura sebagai barang bekas dengan harga murah .
BN Marbun
Sikap para pemilik dan pengemudi oplet untuk tetap bertahan
rupanya mendapat dukungan dari BN Marbun SH, seorang anggota
DPRD-DKI yang besar perhatiannya terhadap alat angkutan kaum
ekonomi lemah itu. Menurutnya, pendapat bahwa oplet cuma
mengganggu lalu lintas adalah salah tafsir. "oplet tak banyak
mogok, tak memerlukan tempat parkir luas," kata Marbun "berarti
oplet tak perlu ditakuti sebagai pengganggu lalu lintas." Ia
yakin bagaimanapun perkembangan Jakarta, sampai 50 tahun
mendatang jenis kendaraan ini masih tetap dibutuhkan warga DKI.
Apalagi, tambahnya, secara ekonomis usaha oplet bersifat padat
karya dan tak pernah mengeluh soal kredit, apalagi tak pernah
mengganggu devisa negara. Tapi Marbun menambahkan, untuk
mempersoalkan masa depan oplet ini harus ada input dari
masyarakat agar sekurang-kurangnya DPRD-DKI bergerak untuk
membahasnya.
Dorongan itu rupanya menjadi kenyataan tatkala sebuah delegasi
Organda DKI (yang juga mencakup oplet) pirnpinan Andi Sose awal
Pebruari lalu menghadap pimpinan DPRD-DKI . BS Manihuruk Ketua
Organda Unit Oplet dan Angkutan IV turut dalam delegasi itu dan
menyampaikan keresahan kalangan peropletan. Bahkan ia
mengungkapkan bahwa masalah pola angkutan di DKM masih perlu
dipersoalkan. Karena dalam pelaksanaannya tak pernah mendapat
persetujuan DPRD-DKI. Oleh sebab itu kepada TEMPO Manihuruk
bertutur, bahwa gagasan untuk menghilangkan oplet dengan
membiarkannya mati secara alamiah, "itu cuma omongan Humas DKI."
Nyatanya, masyarakat masih membutuhkan oplet, tambah Manihuruk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini