Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jalan Panjang Ke Pulau Simeulue

Pengurusan cengkeh hasil p. simeulue tidak beres-beres karena harga beli yang sangat rendah & sasaran perhubungan darat yang parah. selain itu birokrasi menambah lambatnya pembangunan di pulau simeulue. (dh)

4 Maret 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGURUSAN cengkeh hasil Pulau Simeulue, Aceh Barat, belum beres-beres juga. Pembelian secara monopoli oleh PT Pembinaan Puiau Weh memang tak ada lagi. Scbab sudah ada beberapa perusahaan yang memperoleh izin untuk menampung sekitar 2.000 ton cengkeh setiap musim dari pulau itu. Yaitu PT Weh sendiri, Puskopad, Puskud dan PT Same. Letak ketak-beresannya ada pada harga beli di bawah harga lantai yang dilakukan pedagang-pedagang tadi. Menurut A. Rahman, Ketua KUD Sinabang (ibukota Pulau Simeulue), dalam bulan September hingga Nopember tahun lalu ada pedagang yang memaksa membeli dengan harga Rp 2.500 per kg dari petani. Dan sementara itu ijon masih melilit para petani cengkeh juga. Bayangkan saja jika oleh para lintah darat para petani dipaksa menerima harga Rp 1.500 per kg, atau dalam bentuk bahan makanan atau juga berupa pakaian dan kebutuhan lainnya. Untuk para petani cengkeh di sini memang ada KUD/BUUD. "Tapi kita tak punya duit," kata seorang pengurus KUD di Kecamatan Simeulue Timur kepada Darmansyah dari TEMPO. Akibatnya baik KUD maupun BUUD hanya berpangku tangan saja setiap kali panen cengkeh tiba. Paling-paling yang dapat dilakukannya adalah memungut komisi Rp 25 dari setiap kg yang dibeli para pedagang. Tak kalah penting dari itu, adalah sampai hari ini di pulau ini belum sebuah bank yang mau membuka cabang. "Memang ada bank, yaitu Bank Pembangunan Daerah, tapi tidak bonafid," tutur A. Rahman lagi. Soal bank ini memang sudah lama menjadi pembicaraan pihak Pemda Aceh dengan Bank Indonesia. "Segi keamanannya kurang bisa dijamin dengan kondisi hubungan seperti sekarang," begitu alasan Gubernur Aceh, Muzakkir Walad. Padahal setiap musim panen jumlah peredaran uang di pulau ini tak kurang dari Rp 6 milyar. Jalan 11 Km Itu artinya sarana perhubungan masih cukup parah di sini. Memang di sini sudah ada lapangan terbang perintis. Tapi apakah penghasilan petani akan mereka habiskan begitu saja dengan berleha-leha naik pesawat kecil itu? Sedangkan jalan darat nauzubillah keadaannya. Beberapa waktu lalu PT Pembinaan Pulau Weh pernah memperbaiki jalan sepanjang 11 km berikut 11 jembatan dari Sinahang ke Lasikin. Biayanya berasal dari APBD Tingkat I, Cess, Ipeda, APBD Tingkat II dan Inpres Kabupaten sebesar Rp 62 juta. Tanpa tender tanpa apa-apa, belum selesai pekerjaan itu perusahaan tadi menghentikan kerjanya. Sampai sekarang. Yang sudah ia kerjakan sudah rusak binasa, apalagi yang belum dijamah. Menurut pihak perusahaan itu pekerjaan dihentikan karena ternyata kalkulasi harga dan ongkos buruh tak sesuai dengan kenyataan. Ditambah lagi, katanya, jalan di sana labil dan hujan terus menerus. Barangkali karena tanpa tender itulah maka semuanya serba salah. Tapi jika di satu pihak hasil cengkeh Pulau Simeulue makin kencang mengisi kocek Pemerintah Daerah Aceh di pihak lain penduduk pulau ini mengeluh bahwa pembangunan hampir belum berbekas di sini. Beberapa waktu lalu penduduk dan tokoh-tokoh pulau ini pernah mengirim surat langsung kepada Presiden Soeharto untuk menyampaikan keluhan mereka. Alasan penduduk di sini, hasil yang dikeluarkan Pulau Simeulue masih jauh tak seimbang dengan perhatian yang diberikan kepadanya. Mungkin keluhan itu menang beralasan. Lebih-lebih jika diingat bahwa dalam musim cengkeh baru-baru ini saja berhasil dipungut yang hampir Rp 170 juta khusus dari SRC (sumbangan rehabilitasi cengkeh). Dari pihak Pemda Propinsi Aceh sendiri melalui SK Gubernur 10 Maret 1977 pernah mengatur soal pengembalian dana kepada daerah penghasil cengkeh. Yaitu 70% dari hasil itu dikembalikan kepada daerah tingkat di mana cengkeh itu dihasilkan. Sisanya untuk propinsi. Tapi karena Pulau Simeulue bukan daerah tingkat II (di sini hanya Perwakilan Kabupaten Aceh Barat), maka pengaturannya harus melewati DPRD Aceh Barat. Barangkali karena jalur yang cukup panjang inilah, maka Pulau Simeulue masih tetap lambat dijangkau pembangunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus