PENGURUSAN cengkeh hasil Pulau Simeulue, Aceh Barat, belum
beres-beres juga. Pembelian secara monopoli oleh PT Pembinaan
Puiau Weh memang tak ada lagi. Scbab sudah ada beberapa
perusahaan yang memperoleh izin untuk menampung sekitar 2.000
ton cengkeh setiap musim dari pulau itu. Yaitu PT Weh sendiri,
Puskopad, Puskud dan PT Same.
Letak ketak-beresannya ada pada harga beli di bawah harga lantai
yang dilakukan pedagang-pedagang tadi. Menurut A. Rahman, Ketua
KUD Sinabang (ibukota Pulau Simeulue), dalam bulan September
hingga Nopember tahun lalu ada pedagang yang memaksa membeli
dengan harga Rp 2.500 per kg dari petani. Dan sementara itu ijon
masih melilit para petani cengkeh juga. Bayangkan saja jika oleh
para lintah darat para petani dipaksa menerima harga Rp 1.500
per kg, atau dalam bentuk bahan makanan atau juga berupa pakaian
dan kebutuhan lainnya.
Untuk para petani cengkeh di sini memang ada KUD/BUUD. "Tapi
kita tak punya duit," kata seorang pengurus KUD di Kecamatan
Simeulue Timur kepada Darmansyah dari TEMPO. Akibatnya baik KUD
maupun BUUD hanya berpangku tangan saja setiap kali panen
cengkeh tiba. Paling-paling yang dapat dilakukannya adalah
memungut komisi Rp 25 dari setiap kg yang dibeli para pedagang.
Tak kalah penting dari itu, adalah sampai hari ini di pulau ini
belum sebuah bank yang mau membuka cabang. "Memang ada bank,
yaitu Bank Pembangunan Daerah, tapi tidak bonafid," tutur A.
Rahman lagi. Soal bank ini memang sudah lama menjadi pembicaraan
pihak Pemda Aceh dengan Bank Indonesia. "Segi keamanannya kurang
bisa dijamin dengan kondisi hubungan seperti sekarang," begitu
alasan Gubernur Aceh, Muzakkir Walad. Padahal setiap musim panen
jumlah peredaran uang di pulau ini tak kurang dari Rp 6 milyar.
Jalan 11 Km
Itu artinya sarana perhubungan masih cukup parah di sini. Memang
di sini sudah ada lapangan terbang perintis. Tapi apakah
penghasilan petani akan mereka habiskan begitu saja dengan
berleha-leha naik pesawat kecil itu? Sedangkan jalan darat
nauzubillah keadaannya. Beberapa waktu lalu PT Pembinaan Pulau
Weh pernah memperbaiki jalan sepanjang 11 km berikut 11 jembatan
dari Sinahang ke Lasikin. Biayanya berasal dari APBD Tingkat I,
Cess, Ipeda, APBD Tingkat II dan Inpres Kabupaten sebesar Rp 62
juta. Tanpa tender tanpa apa-apa, belum selesai pekerjaan itu
perusahaan tadi menghentikan kerjanya. Sampai sekarang. Yang
sudah ia kerjakan sudah rusak binasa, apalagi yang belum
dijamah. Menurut pihak perusahaan itu pekerjaan dihentikan
karena ternyata kalkulasi harga dan ongkos buruh tak sesuai
dengan kenyataan. Ditambah lagi, katanya, jalan di sana labil
dan hujan terus menerus. Barangkali karena tanpa tender itulah
maka semuanya serba salah.
Tapi jika di satu pihak hasil cengkeh Pulau Simeulue makin
kencang mengisi kocek Pemerintah Daerah Aceh di pihak lain
penduduk pulau ini mengeluh bahwa pembangunan hampir belum
berbekas di sini. Beberapa waktu lalu penduduk dan tokoh-tokoh
pulau ini pernah mengirim surat langsung kepada Presiden
Soeharto untuk menyampaikan keluhan mereka. Alasan penduduk di
sini, hasil yang dikeluarkan Pulau Simeulue masih jauh tak
seimbang dengan perhatian yang diberikan kepadanya.
Mungkin keluhan itu menang beralasan. Lebih-lebih jika diingat
bahwa dalam musim cengkeh baru-baru ini saja berhasil dipungut
yang hampir Rp 170 juta khusus dari SRC (sumbangan rehabilitasi
cengkeh). Dari pihak Pemda Propinsi Aceh sendiri melalui SK
Gubernur 10 Maret 1977 pernah mengatur soal pengembalian dana
kepada daerah penghasil cengkeh. Yaitu 70% dari hasil itu
dikembalikan kepada daerah tingkat di mana cengkeh itu
dihasilkan. Sisanya untuk propinsi. Tapi karena Pulau Simeulue
bukan daerah tingkat II (di sini hanya Perwakilan Kabupaten Aceh
Barat), maka pengaturannya harus melewati DPRD Aceh Barat.
Barangkali karena jalur yang cukup panjang inilah, maka Pulau
Simeulue masih tetap lambat dijangkau pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini