Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sambil Menyelam Menyelamatkan Terumbu Karang

Sejumlah komunitas dan seniman menyelamatkan ekosistem laut melalui selam. Membangun kesadaran lingkungan sejak usia dini.

7 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Berbagai komunitas dan seniman berupaya menyelamatkan ekosistem laut melalui kegiatan selam.

  • Kegiatan transplantasi karang yang tidak terencana berpotensi menjadi sampah laut.

  • Teknologi biorock digunakan untuk mempercepat pertumbuhan karang.

KELESTARIAN terumbu karang mengusik perhatian Patta Saleh. Pendiri komunitas Selayar Dive & Adventure itu prihatin karena pengeboman ikan oleh nelayan masih terjadi di perairan Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama anggota komunitasnya, Patta berupaya menyelamatkan terumbu karang dari kerusakan akibat ulah nelayan nakal. Salah satu langkah konservasi yang mereka tempuh adalah transplantasi karang. Patta mengatakan langkah ini efektif memulihkan terumbu karang yang rusak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk membangun kesadaran melestarikan ekosistem bawah laut, Patta menggandeng remaja desa pesisir di Selayar untuk terlibat dalam konservasi. “Sejak 2018 kami telah melibatkan sekitar 25 remaja putus sekolah ketika melakukan transplantasi karang," ujar Patta kepada Irsyan Hasyim dari Tempo, Jumat, 6 Mei lalu.

Menurut Patta, membangun kesadaran lingkungan hidup sejak usia dini menjadi benteng utama dalam menjaga ekosistem laut. Ia mencontohkan peristiwa pengeboman ikan oleh nelayan di Dusun Bonelohe, Desa Bungaiya, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar, pada 6 Mei 2021. Nelayan setempat bersama remaja yang rutin mendapat pelatihan dari komunitasnya saat itu mengusir tiga kapal nelayan yang mengebom ikan di sana.

Kegiatan menyelam komunitas Selayar Dive & Adventure di Pantai Timur Selayar, Selayar, Sulawesi Selatan, November 2021. Komunitas Selayar Dive & Adenture/Patta Saleh

Penanaman kesadaran akan pentingnya konservasi sejak dini, kata dia, juga menghindarkan remaja dari perilaku merusak laut di masa depan. Ia mendorong remaja tersebut mengambil lisensi selam sehingga bisa menjadi pemandu wisata. "Kalau mereka tidak punya pekerjaan, bisa jadi mereka nantinya yang jadi pelaku perusak laut,” tutur Patta.

Patta bekerja sama dengan pemerintah dan swasta dalam transplantasi karang. Lokasinya tersebar di Desa Patilereng, Kecamatan Bontosikuyu; Desa Bungaiya, Pamatata, dan Menara Indah, Kecamatan Bontomatene; serta Desa Bontoborusu, Kecamatan Bontoharu. Selain ikut melakukan transplantasi, remaja setempat memantau pertumbuhannya.

Kelestarian ekosistem laut juga menjadi perhatian Marine Science Diving Club Universitas Hasanuddin (MSDC-UH), Makassar. Organisasi selam mahasiswa ilmu kelautan itu memadukan hobi menyelam dengan basis keilmuan. Ketua klub, M. Rizky Shaleh, mengatakan hobi menyelam dilakukan dengan pendekatan saintifik. “Ketika menyelam, kami sekalian belajar tentang ekosistem laut, ikan, terumbu karang, oseanografi," ucap Rizky, Jumat, 6 Mei lalu.

Rizky mengatakan organisasinya tergabung dalam Jaringan Kerja Reef Check Indonesia. Komunitas ini bertugas melakukan riset untuk memantau kondisi terumbu karang. MDSC-UH memantau di Kepulauan Spermonde, Makassar. Sejak 2009, organisasi ini memantau kondisi terumbu karang di tiga lokasi, yakni Pulau Barangcaddi, Samalona, dan Baranglompo. "Ketiga lokasi itu dijadikan sampel untuk menganalisis kondisi terumbu karang di perairan Makassar," katanya.

Hasil penelitiannya rutin dipresentasikan kepada pemerintah sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan. Luas tutupan terumbu karang menjadi parameter dalam menentukan kualitas ekosistem laut. "Kalau dilihat rata-ratanya, untuk perairan Makassar tidak terlalu bagus. Kami mengklasifikasikannya dalam kondisi sedang," ucap Rizky.

Kegiatan menyelam komunitas Selayar Dive & Adventure di Pantai Timur Selayar, Selayar, Sulawesi Selatan, November 2021. Komunitas Selayar Dive & Adenture/Patta Saleh

Rizky mengkritik kegiatan transplantasi yang tidak terencana. Maraknya transplantasi oleh pemerintah dan swasta itu berpotensi menjadi sampah laut. "Itu bakal terjadi kalau sekadar seremoni tanpa perawatan, karena menumbuhkan ekosistem laut harus punya planning yang matang," ujarnya.

Keresahan terhadap kondisi bawah laut Indonesia juga dirasakan seniman Teguh Ostenrik. Kegelisahan itu bermula saat ia mengunjungi Pantai Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, pada 2014. Teguh rusuh hati ketika melihat kondisi bawah laut di daerah itu yang banyak berubah sejak kunjungan pertamanya pada 1984. Kala itu, kata Teguh, kondisi terumbu karang yang sehat menjadikan Senggigi rumah bagi cumi-cumi dan lobster. "Sementara pada 2014 sudah kayak Gurun Sahara. Di bawah laut sudah pasir semua," ujarnya, Kamis, 5 Mei lalu.

Kegelisahan itu mendorongnya mendirikan Yayasan Terumbu Rupa. Ia membuat instalasi terumbu karang sebagai apresiasi terhadap cumi-cumi yang ekosistemnya sudah hancur. Proyek instalasi itu ia beri nama Domus Sepiae, yang secara harfiah berarti rumah cumi-cumi. "Karya ini sebagai penghormatan terhadap cumi-cumi yang pernah terkenal dari Pantai Senggigi," ucap pria kelahiran Jakarta pada 1950 tersebut.

Teguh tak berhenti di situ. Setahun kemudian ia membuat instalasi kedua, Domus Longus, di Pantai Waha, Pulau Wangi-Wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Berkonsep “rumah ikan raksasa”, karya seni itu terbuat dari besi berukuran 6 x 8 meter. Teknologi yang digunakan adalah biorock dengan listrik yang diperoleh dari panel surya. Menurut dia, listrik berfungsi membuat pertumbuhan karang delapan kali lebih cepat.

Instalasi 'Domus Sepiae' karya Teguh Ostenrik di 100 meter dari bibir Pantai Senggigi, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Mei 2014. Dok Tempo/Ananda Badudu

Instalasi ketiga, keempat, dan kelima berlokasi di Pulau Sepa, Jakarta Utara. Instalasi ketiga diberi nama Domus Musculi atau rumah kerang, sementara dua lainnya Domus Piramidis Antennarius dan Domus Piramidis Selaroides. “Semua saya namakan ‘domus’ yang berarti rumah sehingga nama lainnya mengikuti lokasi pemasangannya dan bentuk atau nama hewan khasnya, seperti Domus Piramidis Dugong di Pulau Bangka yang berbentuk piramid,” katanya.

Pada akhir Mei nanti, Teguh akan memasang instalasi kesebelas di Bali utara. Ia menamainya Domus Apalea. "Itu konsepnya belut laut,” tuturnya.

Teguh menyebutkan tujuannya membuat instalasi terumbu karang adalah menjadikannya lokasi selam di industri pariwisata. Ia berharap terumbu karang alami tidak lagi menjadi tujuan wisata. "Kami membuat atraksi bawah laut ini biar koral alami punya waktu untuk tumbuh dan bernapas," ucapnya.

Bukan cuma Teguh yang menggunakan teknologi biorock untuk menyelamatkan terumbu karang. Teknologi itu juga digunakan di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, sejak 2010. Di kawasan pantai itu, sekelompok orang memulai proyek penumbuhan terumbu karang dengan bantuan tenaga listrik.

Prinsip kerja biorock ialah mengalirkan listrik bervoltase rendah, 2-4 volt, ke struktur besi yang ditenggelamkan di dasar laut. Listrik akan memecah kandungan air laut menjadi hidrogen dan oksigen sehingga permukaan besi membentuk karang solid yang tersusun dari kalsium karbonat dan magnesium hidroksida. Kedua zat tersebut akan mendorong pertumbuhan terumbu karang dua-sepuluh kali lebih cepat.

Biorock awalnya dikembangkan oleh ilmuwan kelautan asal Jerman, Wolf Hilberts dan Thomas J. Goreau, pada 2000. Mereka dibantu pengusaha Yos Amerta dan Agung Prana mencoba menerapkan teknologi yang dapat memicu pertumbuhan terumbu karang di Pemuteran hingga akhirnya dinamai biorock.

Manajer program biorock Pemuteran, Komang Astika, mengatakan hingga saat ini sudah seratusan struktur atau tempat menanam terumbu karang yang ditempatkan di sepanjang Pantai Pemuteran. Struktur terumbu karang ini dibuat dari rangka besi sehingga memudahkan proses penghantaran listrik. Bentuk strukturnya beragam. Komang menyebutkan mereka mengadopsi seni budaya Bali. “Ada yang bentuknya seperti barong, rangda, kubah, gua, hingga gajah mina,” katanya kepada Made Argawa dari Tempo pada Ahad, 1 Mei lalu.

Jarak dari bibir pantai hingga lokasi penempatan struktur terumbu karang sekitar 150 meter dengan kedalaman maksimal 10 meter. Struktur terbaru dipasang pada tahun lalu.

Komang mengatakan, dengan adanya proyek biorock, sampai sebelum masa pandemi Covid-19, ada sekitar sepuluh tempat usaha menyelam yang menjadikan Pantai Pemuteran sebagai lokasi diving atau snorkeling. “Instruktur selam dan pemandu wisata hampir semuanya warga lokal, sekitar 70 orang yang terlibat,” ujar co-founder dan anggota Dewan Pakar Biorock Indonesia itu. Menurut Prawita Tasya Karissa, co-founder dan Direktur Eksekutif Biorock Indonesia, mereka biasanya mengajak Perkumpulan Penyelam Profesional Bali dan Masyarakat Penyelam Indonesia menyelam di sana.

Di kawasan Pantai Pemuteran, Komang menyebutkan ada semacam kesepakatan untuk mengutamakan tenaga kerja lokal. Jika ada tenaga kerja asing, menurut dia, mereka lebih disarankan menjadi penyelia. “Dulu ada beberapa, terutama tempat usaha menyelam yang besar,” kata pria 41 tahun itu.

Penyelam dari Biorock Indonesia menyelam sekaligus memantau dan menempatkan objek untuk tempat hidup terumbu karang. Dok Biorock Indonesia

Sebelum pandemi Covid-19 menerjang, ia memperkirakan seratusan wisatawan, kebanyakan berasal dari Eropa, datang ke Pantai Pemuteran setiap hari untuk menyelam atau berenang melihat terumbu karang. Meski belum pulih seperti sebelum masa pandemi, pariwisata di kawasan itu sudah mulai menggeliat. Menurut Komang, jumlah pengunjung mencapai 30 persen dari jumlah total sebelum pandemi Covid-19 merebak di Tanah Air.

Meski penerbangan internasional di Bandar Udara Ngurah Rai sudah dibuka, kunjungan wisatawan asing ke Bali belum seramai dulu. Saat ini justru wisatawan lokal Bali yang kerap berkunjung. “Mungkin sejalan dengan wisata spiritual. Mereka pergi ke pura di kawasan Bali barat, selanjutnya berlibur di Pemuteran, menginap semalam atau dua malam,” ujarnya.

Biorock Indonesia juga menerapkan teknologi biorock dan mencegah abrasi pantai di beberapa kawasan Indonesia lain, seperti DKI Jakarta, khususnya di Kepulauan Seribu, seperti di Pulau Pramuka, Pulau Kotok, dan Pulau Sepa. Di Bali, lokasinya di Desa Pejarakan dan Pemuteran, Buleleng; serta Pantai Samuh, Nusa Dua.

Di daerah lain, teknologi biorock terumbu karang diterapkan di Gili Matra dan Pulau Lombok (NTB); Pulau Gangga dan Pulau Bangka (Sulawesi Utara); Desa Waha, Wakatobi (Sulawesi Tenggara); Mentawai (Sumatera Barat); Desa Tarahan, Kecamatan Katibung, Lampung Selatan (Lampung); serta Negeri Halong, Ambon (Maluku). “Bentuk perhatian pemerintah, Desa Dive Festival masuk kalender event nasional,” tutur Komang Astika.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus