Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Informasi polisi soal sejumlah orang yang diduga sebagai dalang aksi penolakan omnibus law diduga dipasok Badan Intelijen Negara.
Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan, dan sejumlah pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ditangkap dengan dalih mengantisipasi kerusuhan besar.
Massa aksi yang melemparkan batu ke arah polisi kebanyakan pemuda berseragam putih-abu-abu, yang disebut polisi merupakan bagian dari kelompok “Anarko”.
SENIN, 12 Oktober lalu, menjelang tengah malam, polisi sibuk memasang gulungan kawat berduri di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Barikade lain juga disiapkan untuk menghadang massa ke arah Istana Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat bersamaan, sejumlah pria tak berseragam memasang spanduk di jembatan penyeberangan orang depan kantor Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Berlatar merah menyala, spanduk itu bertulisan “Anarkis sama dengan PKI”, lengkap dengan gambar palu-arit yang dicoret warna hitam. Informasi ini dipastikan sejumlah saksi mata yang ditemui Tempo, Jumat, 16 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kawat berduri dan spanduk anti-Partai Komunis Indonesia itu memang tampaknya disiapkan untuk mengantisipasi unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja yang bakal berlangsung keesokan harinya. Aparat keamanan tak mau lagi kecolongan seperti lima hari sebelumnya. Pada Kamis, 8 Oktober, unjuk rasa mahasiswa dan buruh memprotes omnibus law berujung ricuh. Beberapa halte bus Transjakarta di sepanjang Jalan Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat, ludes dibakar massa.
Selasa, 13 Oktober, menjelang siang, ribuan orang yang menamakan diri Aliansi Nasional Anti Komunis NKRI mulai menyemut di area sekitar Patung Kuda. Selain menolak aturan sapu jagat Undang-Undang Cipta Kerja, mereka menyuarakan sederet tuntutan lain, seperti penolakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi dan Pancasila serta pembubaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
Tersangka Petinggi Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jumhur Hidayat tiba untuk menjalani pemeriksaan di gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat, 16 Oktober 2020. Tempo/Hilman Fathurrahman W.
Salah satu juru bicara aksi, Novel Bamukmin, mengatakan massa hari itu adalah gabungan sejumlah organisasi seperti Front Pembela Islam, Presidium Alumni 212, dan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa. Novel, yang juga Ketua Media Center Persatuan Alumni 212, memastikan pengunjuk rasa adalah kelompok yang sama dengan peserta demo 212 empat tahun lalu.
Tengah hari, massa aksi yang sebagian besar berpakaian putih-putih dan mengenakan kopiah makin bersemangat. Bergantian, para pemimpin unjuk rasa berpidato mengecam pemerintah Presiden Joko Widodo. Setelah tiga jam berorasi, koordinator lapangan memerintahkan massa untuk balik kanan. Aksi dibubarkan meski tak ada wakil pemerintah yang menanggapi demonstrasi mereka.
Surutnya demonstrasi sore itu tak bisa dilepaskan dari rentetan peristiwa sebelumnya. Pagi sebelum aksi itu, polisi memang bergerak diam-diam menangkapi beberapa pentolan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Total ada delapan orang yang dicokok di Jakarta dan Medan. Sekretaris Komite Eksekutif KAMI Syahganda Nainggolan ditangkap di rumahnya di Depok, Jawa Barat, pada Selasa subuh, 13 Oktober lalu. Dua jam kemudian, deklarator KAMI, Jumhur Hidayat, dijemput di rumahnya.
Polisi menuding mereka menebarkan hoaks dan ujaran kebencian terkait dengan keputusan pengesahan omnibus law di Dewan Perwakilan Rakyat sepekan sebelumnya. “Patut diduga mereka memberikan informasi yang menyesatkan. Kalau rekan-rekan membaca WhatsApp-nya, ngeri,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian RI Brigadir Jenderal Awi Setiyono dalam konferensi pers soal penangkapan Jumhur dan Syahganda.
Sedikit-banyak, aksi polisi membuat motor unjuk rasa penolakan Undang-Undang Cipta Kerja pada Selasa itu berpikir ulang. “Orasi kami memang hanya dua-tiga jam. Kami paham ada pihak yang ingin mengambinghitamkan kami,” ujar Novel Bamukmin.
Para buruh, mahasiswa, dan gerakan masyarakat sipil yang juga getol menyuarakan penolakan atas omnibus law memang tak turun ke jalan pada hari itu.
•••
DUA hari sebelum Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan ditangkap, Badan Intelijen Negara mengutus Direktur Deteksi Dini Deputi Bidang Intelijen Siber BIN Brigjen Dwiyono ke kantor Badan Reserse Kriminal Polri di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, pada Ahad, 11 Oktober lalu.
Di sana, pejabat dari Pejaten—lokasi kantor BIN di kawasan Jakarta Selatan—itu menemui Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang didampingi Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Brigadir Jenderal Ferdy Sambo dan Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Brigadir Jenderal Slamet Uliandi.
Persamuhan hari itu khusus membahas temuan intelijen soal sejumlah tokoh yang diduga berperan menggerakkan demonstrasi penolakan omnibus law. Dua nama yang disebut BIN adalah Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat. Badan intelijen meminta polisi bertindak agar kerusuhan tak sampai meletus.
Ketika dimintai konfirmasi soal pertemuan itu, juru bicara BIN, Wawan Purwanto, tak memberikan jawaban terang. Dia hanya mengatakan bahwa BIN bekerja sama dengan berbagai instansi. “BIN bekerja sama dengan TNI/Polri, kementerian dan lembaga, serta pemda untuk menangani aksi demo serta meminimalisasi jumlah korban,” ucap Wawan.
Syahganda Nainggolan. Tempo/Tony Hartawan
Dia juga memastikan koordinasi antara BIN dan aparat keamanan merupakan bagian dari kewenangan lembaga itu sebagai Ketua Komite Intelijen Pusat yang membawahkan komunitas intelijen di semua kementerian/lembaga. “Yang jelas, aksi anarkis itu dilarang,” kata Wawan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono memberikan penjelasan senada. Ditanyai soal ada-tidaknya peran BIN menyuplai informasi soal dalang kerusuhan, Awi mengatakan penyidikan polisi dilakukan berbasis metode ilmiah. “Polisi bekerja secara profesional,” tuturnya.
•••
KEMBALI ke jalan, Selasa, 13 Oktober. Sore sekitar pukul 15.30, ketika massa berpakaian putih-putih dan mobil komando beranjak meninggalkan area Patung Kuda, sejumlah remaja mulai melemparkan batu ke arah polisi.
Sejak awal demonstrasi, mereka memang sudah terlihat di antara massa berpakaian gamis. Sebagian berpakaian seragam putih-abu-abu, sisanya berbaju bebas tapi masih menggunakan celana abu-abu. Selama unjuk rasa, mereka berada paling depan, dekat barikade yang berhadapan dengan polisi.
Lemparan batu para remaja ini disambut polisi dengan tembakan gas air mata. Suasana menjadi ricuh ketika massa berlarian ke berbagai arah. Sambil mundur, mereka terus melemparkan batu ke arah polisi.
Sampai malam, suasana di sekitar Monumen Nasional dan sekitarnya penuh ketegangan. Polisi terus memburu para remaja, sampai masuk ke gang-gang kecil di sekitar kawasan Kwitang, Jakarta Pusat. Ratusan pemuda tanggung itu belakangan ditangkap dan diangkut ke kantor polisi. Menurut polisi, para perusuh muda itu adalah bagian dari kelompok “Anarko”.
Gatot Nurmantyo dari Presidium KAMI menyesalkan pendekatan polisi yang menurut dia represif. Penangkapan para pentolan KAMI, kata Gatot, dirancang polisi untuk menggiring opini publik agar percaya bahwa KAMI mendalangi kerusuhan. Dia juga memprotes aksi polisi meretas telepon seluler pengurus koalisi itu. “Saya meminta Polri membebaskan para tokoh KAMI dari tuduhan yang banyak mengandung pasal-pasal karet,” ujar Gatot.
DEVY ERNIS, WAYAN AGUS PURNOMO, RAYMUNDUS RIKANG, SHINTA MAHARANI, ADE RIDWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo