Hujan baru saja reda. Pelataran parkir Depo Pertamina, Plumpang, Jakarta Utara, masih basah tergenang air. Tapi pengisian bahan bakar untuk truk tanki tak juga berhenti. Sore itu, puluhan truk antre satu per satu memasuki pintu-pintu pengisian. Setelah penuh, mereka beringsut menuju gerbang pemeriksaan.
Di tempat ini, seorang petugas akan mengukur apakah isi tanki sesuai dengan surat perintah pengisian. Tegang? Tidak, santai saja. Sebentar saja beres. Dan sepanjang pemeriksaan sore itu, hebatnya, tak satu pun truk yang isinya kelebihan. Semuanya lolos. Tapi, sesaat sebelum truk bergerak ke luar gerbang, sopir tanki menyelipkan selembar puluhan ribu ke petugas. Slep!
Adegan sembunyi-sembunyi ini sudah jadi pemandangan biasa. Papan peringatan "Dilarang Memberi/Menerima Uang Tip; Yang Melanggar Ditindak/Diskorsing", persis di sebelah pos pemeriksaan, sama sekali tak digubris. Sogok-menyogok, asal saling menguntungkan (petugas menerima duit, sopir tanki mendapat minyak ekstra), bukan persoalan yang mesti diributkan. Jangankan yang kelas teri, yang kakap pun dibiarkan. "Di Pertamina," kata seorang pejabat perusahaan negara itu, "uang semir, dari lapisan terbawah sampai langit-langit teratas, mulai dari minyak dibor sampai minyak dikapalkan, sudah bukan rahasia."
Meski bukan rahasia, kebocoran yang ditemukan Pricewaterhouse Coopers tetap saja luar biasa. Laporan yang disampaikan ke Menteri Keuangan pekan lalu itu mencatat angka yang fantastis. Bayangkan, selama dua tahun terakhir (April 1996 sampai Maret 1998), negara dan Pertamina dibobol US$ 6,1 miliar atau setara dengan Rp 43 triliun pada kurs Rp 7.000 per dolar.
Price memang tak menyebut kebocoran ini sebagai korupsi, melainkan inefisiensi. Kebocoran ini bukan semata-mata terjadi lantaran penjarahan dan pencolengan, tapi juga kombinasi dari kesembronoan manajemen, tekanan politis dari yang berkuasa, serta birokrasi yang berbelit dan tak efektif. Price menyebut, kebocoran ini bersumber pada dua hal utama: pengeluaran biaya yang tak perlu dan peluang laba yang terlepas.
Kedua sumber ini telah merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah. Pengeluaran yang tak perlu, misalnya, membuat negara kebobolan US$ 3 miliar (setara dengan Rp 21 triliun atau 10 persen dari APBN). Sementara itu, peluang laba yang terlepas (disebabkan kesembronoan jurus investasi, kesalahan pengelolaan keuangan, dan kekeliruan penjualan aset) telah memangkas habis potensi keuntungan Pertamina. Ujung-ujungnya, pemerintah jugalah yang harus kehilangan sebagian besar dari pajak minyak dan gas (migas). Jadi, "Apa pun penjelasannya," kata seorang konsultan hukum di Jakarta, "siapa pun yang menikmati, kebocoran ini merupakan tindak korupsi."
Seorang pejabat tinggi Pertamina mengakui, wajar saja jika pengusahaan minyak di Indonesia telah melahirkan praktek pejarahan yang begitu dahsyat. Alasannya, selama ini Pertamina tak pernah dipaksa melakukan efisiensi. "Semua biaya diganti. Siapa yang tak keenakan?" katanya.
Dalam industri perminyakan di Indonesia, semua perusahaan minyak cuma seperti petani penggarap. Mereka mengolah ladang milik negara dengan biaya dan tenaga sendiri. Kemudian, jika panen, semua hasil minyak diserahkan ke pemiliknya (negara). Dan setelah dipotong untuk pelbagai biaya yang dikeluarkan, untungnya dibagi dua: 85 persen bagian pemerintah, 15 persen sisanya menjadi hak petani (lihat "Pipa Bocor, Mandor Minyak").
Gampang diduga, kebocoran terjadi karena biaya di semua lini produksi bengkak tak terkendali. Begitu mulai menggelar produksi komersial, perusahaan minyak sudah dihadang "kewajiban" memakai anjungan minyak produksi McDermott Indonesia. Keharusan ini, kata pengamat minyak Ramses Hutapea, memang tak pernah tertulis. "Tapi, tiap kali tender, yang menang pasti dia," katanya. Padahal, "McDermott selalu pasang harga paling tinggi."
Ini semua bisa terjadi lantaran pemerintah ikut campur menentukan pemenang tender. Tak sulit dipahami, McDermott sering dimenangkan karena Mohamad "Bob" Hasan, konco dan patner main golf bekas presiden Soeharto, ikut memiliki saham di perusahaan itu. Tentu saja, aliran uang ke kantong Bob ini membuat biaya produksi minyak jadi menggelembung tak keruan.
Itu di bagian hulu. Di bagian tengah, di sektor pengolahan minyak, pembengkakan biaya terjadi di mana-mana. Price memberi dua contoh paling jelas: pembelian bahan katalis kilang Balongan yang harganya kelewat mahal serta pembelian zat aditif untuk produksi bensin dan solar yang mestinya tak perlu. Menurut hitungan Price, kebocoran karena dua praktek ini hampir US$ 100 juta (Rp 700 miliar).
Pada akhir produksi, di bagian hilir, aksi penggerogotan tak juga berhenti. Dalam pengakutan minyak, misalnya, Pertamina menyewa salah satu tanker dari Samudra Petrindo Asia (anak perusahaan Bimantara) dengan tarif US$ 17.000 per hari. Padahal, tanker itu sebenarnya milik Pertamina yang disewa Samudra dengan tarif cuma US$ 6.750 sehari.
Rente? Mungkin saja. Tapi M. Jusuf, seorang komisaris Bimantara, membantah keras. Tanker Pertamina itu, katanya, disewa dalam keadaan kosong. Bimantara lalu mengisinya dengan peralatan dan awak hingga siap dipakai. "Tentu saja, tarif sewanya jadi lebih mahal," kata Jusuf kepada Leanika Tanjung.
Mana yang benar, entahlah. Yang pasti, dengan beking kekuasaan, penjarahan seperti itu bisa saja dilakukan, baik terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Kalau Bimantara bisa mengelakkan tuduhan, Permindo Oil Trading dan Perta Oil Marketing mungkin tidak. Dua perusahaan milik Bambang Trihatmodjo dan Hutomo Mandala Putra ini memonopoli perdagangan minyak.
Hingga tahun lalu, Pertamina selalu memakai Perta dan Permindo untuk semua aktivitas ekspor maupun impor minyak. Nah, dalam penilaian Price, Pertamina terlalu royal memberi komisi ke kedua perusahaan ini. Jika saja Pertamina mau memakai harga pasar, sekitar US$ 65 juta (Rp 450 miliar) harta negara bisa dihemat setiap tahun.
Itu saja? Tentu saja masih banyak lagi. Biaya produksi minyak juga melonjak lantaran semua kontraktor dipaksa memakai Tugu Pratama (patungan Bob dengan Pertamina) sebagai satu-satunya asuransi yang membeking bisnis minyak di Tanah Air. Akibatnya, premi terdongkrak tinggi. Menurut Price, mahalnya premi dalam empat tahun terakhir (sampai 1998) merugikan pemerintah hingga US$ 116 juta (Rp 800 miliar lebih).
Bahkan, di luar lini produksi pun, parasit-parasit itu tetap mengancam. Seorang sumber TEMPO menceritakan pengalaman yang aneh tapi nyata. Tiga tahun lalu, 1996, Pertamina menyewa konsultan manajemen guna menyusun cetak biru Pertamina di masa depan. Kontrak ini jatuh ke tangan Boston Consulting Group. Tapi, seperti kontrak lainnya, Boston tak bisa langsung berurusan dengan penyewanya, melainkan melalui Patra Dinamika Cendekia, satu perusahaan yang didirikan anak-anak pejabat tinggi Pertamina.
Akhir 1997, ketika Boston mengajukan laporan sementara, perusahaan Amerika ini mengajukan klaim US$ 10 juta. Tapi apa yang dilakukan Patra? "Memompa nilai klaim sampai tiga kali lipat," kata sumber ini. Caranya, gampang. Patra dengan lihainya menambah jam orang kerja di pelbagai pos sehingga nilai klaim membengkak jadi US$ 30 juta. Padahal, "Dalam proyek konsultasi itu," katanya, "Patra tak melakukan apa pun kecuali mengutak-atik jumlah klaim."
Singkat kata, agaknya sulit menemukan satu lini produksi pun di Pertamina yang bersih dari jarahan tukang catut. Memang benar, sebagian kontrak itu sudah mulai digusur. Tapi sulit dibantah, sebagian lagi masih bercokol. Pemakaian asuransi Tugu, misalnya, tetap dipertahankan meskipun—kabarnya—dengan tarif premi 60 persen lebih murah. Penyewaan tanker Samudra Petrindo juga setali tiga uang, hingga kini masih diteruskan. Bahkan McDermott baru saja memenangkan tender pipanisasi gas dari Natuna Barat ke Singapura.
Lalu apa kata Pertamina? Sulaiman Zuhdi Pane, bekas Kepala Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing, lembaga yang menetukan besar-kecilnya anggaran pengusahaan minyak, menolak temuan Price. Ia menyodorkan angka-angka. Katanya, biaya produksi minyak selama tiga dasawarsa terakhir tak sampai 20 persen pendapatan. Ini sudah sebanding dengan biaya operasi produksi minyak di negara lain. "Saya berani digantung," katanya berapi-api, "semua angka biaya produksi ini ada pembenarannya."
Ia bahkan balik menuduh, kalaupun ada korupsi, bukan Pertamina yang harus bertanggung jawab. Justru karena intervensi pemerintah terhadap semua keputusan Pertamina, korupsi bisa merajalela. Campur tangan ini membuat Pertamina tak berkutik. Tender-tender selalu disisipi anak-anak pejabat, dan Pertamina tak kuasa menolak. "Kalau Cendana mau ikut, memangnya berani melawan? Jangan-jangan kita bisa di-kek," katanya sambil melintangkan telapak tangan di leher.
Zuhdi mungkin saja benar. Tapi kemudian siapa yang salah? Jawaban mestinya ada di pengadilan. Kejaksaan, kalaulah kita masih bisa berharap, seharusnya sudah mulai beraksi, tanpa pandang bulu.
Dwi Setyo dan I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini