EMPAT puluh kali sidang ternyata tidak cukup untuk mengegolkan Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas (RUU Migas). Itu berarti dalam sebulan ini Menteri Pertambangan dan Energi Kuntoro Mangkusubroto sudah 40 kali beradu bicara dengan anggota Panitia Khusus RUU Migas DPR, yang jelas kelihatan mengambil posisi di seberang pendapat Kuntoro. Sampai Jumat pekan lalu, ada satu soal penting yang masih macet: siapa yang akan menjadi kuasa pertambangan. Urusan ini sungguh alot, bahkan diduga bisa menggagalkan jadwal RUU ini. Seharusnya, akhir Juli ini RUU Migas diharapkan sudah bisa menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Pertamina.
Kalau RUU Migas tak dapat diundangkan, boleh jadi pemerintah Indonesia harus kembali bicara dengan IMF. Audit terhadap Pertamina oleh Pricewaterhouse—yang menemukan kebocoran Rp 43 triliun—memang memenuhi permintaan IMF. Itu merupakan satu tahap penting menuju liberalisasi sektor migas dari hulu hingga hilir—mulai dari pengeboran sampai migas sampai ke rumah penduduk. Dengan liberalisasi, persaingan akan lebih terbuka dan adil, dan Pertamina dengan pengalaman puluhan tahun dan program efisiensi di sana-sini dianggap pemerintah akan mampu bertahan hidup.
Namun, tahap penting, pembahasan RUU Migas, ternyata sangat alot. Perbedaan makin ramai setelah berembus isu fulus berjuta-juta rupiah bertebar di antara kursi DPR. Dikabarkan, ada petugas keamanan DPR yang memergoki seorang pejabat Pertamina sedang membagi-bagikan uang ke sejumlah anggota Panitia Khusus Migas. Sudah lama jadi berita bahwa Panitia Khusus Migas memang "miring" ke sisi Pertamina—BUMN yang sangat berkepentingan dengan RUU Migas. Direktur Utama Pertamina, Martiono Hadianto, dan Ketua Komisi V DPR, Erie Soekardja, membantah rumor uang suap berjuta-juta itu. "Kami tak menyediakan dana sepeser pun untuk RUU itu," kata Martiono. "Tolong, buktikan kalau suap itu memang ada," kata Erie menimpali. Seperti biasa, soal begini biasanya sulit dibuktikan seandainya pun ada.
Dan perbedaan makin sengit, terutama soal kuasa pertambangan. Jika kelak RUU itu gol, Pertamina tidak akan lagi menentukan ongkos produksi (cost recovery) yang selama ini ditanggung pemerintah—sumber pendapatan yang disebut-sebut sebagai "lubang besar" yang memungkinkan banyak korupsi. Apa sebabnya? Di pos ini Pertamina berperan ganda, yaitu sebagai pihak yang menentukan kontrak production sharing (KPS) dan sekaligus mengawasi pengeluaran perusahaan pemegang KPS—ibaratnya menjadi pemain dan wasit sekaligus.
Sebagian anggota Panitia Khusus Migas—terutama Fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Karya Pembangunan—berkeyakinan bahwa kondisi sekarang ini adalah yang terbaik untuk Pertamina, karena itu tidak perlu diutak-atik lagi.
Artinya, Pertamina tetap menjadi pelaksana kuasa pertambangan mewakili pemerintah Indonesia. Kalaupun mau surut sedikit, mereka minta agar pemerintah membentuk BUMN baru sebagai pelaksananya, dan menolak usul Kuntoro agar kuasa pertambangan itu dipindahkan ke tangan pemerintah. "Kami tak mau mundur. Kalau tak selesai, biar diselesaikan nanti oleh DPR periode mendatang," kata Priyo Budi Santoso, anggota Panita Khusus dari FKP.
Derajat Zack Zahar, Ketua Badan Pembinaan dan Pengusahaan Kontraktor Asing, yang berada di bawah Pertamina, tentu saja sepakat dengan DPR. Pemerintah tak mungkin meneken perjanjian kerja sama dengan kontraktor swasta karena itu akan menurunkan (down-grade) posisinya. Lagipula, kalau terjadi kasus perdata, pertanggungjawabannya tidak terbatas. "Mana mungkin pemerintah dibangkrutkan. Sebaliknya, kalau Pertamina yang memegang, pertanggungjawabannya sebatas aset Pertamina," katanya. Pendapat senada dikemukakan pengamat perminyakan Ramses Hutapea. "Pengelolaan itu akan jauh lebih efektif jika dilakukan BUMN," katanya.
Menteri Kuntoro sama kukuhnya bertahan. Menurut Kuntoro, ruwetnya Pertamina sekarang ini disebabkan banyak tumpang tindih. Karena itu, Pertamina tak bisa lagi menjalankan wewenang yang seharusnya memang porsi milik pemerintah. Perusahaan harus berfungsi sebagai perusahaan, pemerintah harus menjalankan fungsinya sebagai pemerintah. "Tak bisa digabung seperti sekarang," katanya. Akibatnya, Pertamina lebih banyak menjadi pengawas ketimbang perusahaan pencari minyak dan gas. Lihat saja produksinya. Pada tahun 1970-an, Pertamina mampu menambang 110 ribu barel sehari. Sekarang ini cuma 60 ribu barel sehari. Itu pun separuhnya berasal dari proyek patungan. Jadi, menurut Kuntoro, dalam soal kuasa pertambangan ini pemerintah tak akan kompromi. "Kami juga tak akan surut setapak pun. Kalau memang buntu, ya, biar diteruskan nanti," kata Kuntoro enteng.
Ada dua hal lagi yang sebelumnya macet: soal sistem kontrak dan soal liberalisasi sektor migas. Dalam soal kontrak produksi, Kuntoro ingin agar aturan dibuat lebih terbuka sehingga semua bentuk kerja sama yang menguntungkan bisa dilakukan, tidak lagi hanya satu bentuk kerja sama tunggal seperti saat ini, yaitu kontrak production sharing. Argumen Kuntoro, "Masa berlaku kontrak dalam undang-undang itu 30 tahun. Mengapa harus dibuat begitu kaku?"
Prinsipnya, Kuntoro menginginkan sistem kontrak yang fleksibel agar banyak pemain yang bisa ikut. Lulusan Institut Teknologi Bandung ini mencontohkan koperasi yang sekarang boleh berbisnis di sektor migas. "Bayangkan, apakah mungkin koperasi bisa menyediakan dana yang sangat besar untuk kegiatan eksplorasi, yang risikonya juga sangat besar, kalau sistemnya KPS," katanya. Dia juga memberi contoh sumur tua yang sudah tidak efisien lagi. "Kalau dipaksakan dengan sistem KPS, tidak ada yang mau mengelolanya."
Dalam kasus yang khusus, pemerintah lebih cenderung pada sistem service contract (SC) karena jauh lebih menguntungkan. Kuntoro menjelaskan, dengan sistem ini, pemerintah hanya membayar ongkos ke kontraktor minyak swasta, sedangkan minyaknya sepenuhnya menjadi hak pemerintah. Yang lebih menarik, pajak dibayar kontraktor secara terpisah. Dalam sistem KPS, pajak dibayar pemerintah. "Dengan sistem SC ini juga bisa diberlakukan tender ke perusahaan yang bisa menawarkan ongkos paling rendah. Ini tidak mungkin dilakukan jika sistemnya KPS," kata Kuntoro.
Walau Kuntoro sempat dituduh membawa konsep sistem kontrak karya yang berlaku di pertambangan umum ke sektor migas, DPR akhirnya mencapai kata sepakat soal kontrak ini. DPR dan Departemen Pertambangan setuju sistem kontrak kerja sama yang fleksibel, tapi tetap memberikan tekanan bahwa sistem KPS yang akan menjadi pilihan utama dalam menjalin kerja sama dengan swasta. Sebuah rumusan yang lagi-lagi mengakomodasi kepentingan Pertamina.
Soal liberalisasi sektor migas juga mencapai kata sepakat. Semula, perdebatan berkisar pada soal jadwalnya, karena ada kekhawatiran Pertamina akan terpontang-panting jika aturan itu segera diberlakukan. Ditakutkan, rakyat juga akan berteriak-teriak karena harga migas akan naik tajam jika liberalisasi itu diberlakukan tanpa persiapan yang matang. Apalagi, dengan kurs rupiah yang jatuh dan juga dipangkasnya subsidi, harga BBM juga akan semakin mahal. Dengan harga premium Rp 1.000 per liter saja, sudah banyak yang berteriak kemahalan.
Padahal, menurut Kuntoro, liberalisasi itu ada tahapnya, sampai BBM sama sekali bebas dari subsidi dan mengikuti harga pasar. Pencabutan subsidi juga bertahap. Berbarengan dengan itu, pemerintah akan menerapkan sistem band (rentang tarif) untuk menjaga agar harga BBM tidak melewati batas bawah dan merusak sistem kompetisi pasar. Rentang tarif itu perlahan-lahan akan dipendekkan sampai akhirnya hilang sama sekali. Pemerintah juga akan menanggung biaya transportasi untuk wilayah-wilayah yang sulit dijangkau. DPR sepakat soal liberalisasi bertahap ini.
Adakah liberalisasi itu membuat harga minyak naik dan beban rakyat bertambah karena subsidi dicabut? Bisa jadi harga BBM memang akan naik kelak. Tapi, jika pemerintahan baru nanti bersih, subsidi BBM bisa dialihkan untuk kepentingan rakyat yang lain—katakanlah membebaskan biaya sekolah dan kuliah. Dalam sistem yang terbuka, kita jelas lebih rela membeli BBM lebih mahal, ketimbang membiarkan subsidi pemerintah dikorupsi oleh baron-baron minyak, yang karpet di rumahnya begitu mulus sampai membuat sepatu Anda yang disemir selicin apa pun akan tetap kelihatan kusam. Itu lebih menyakitkan.
M. Taufiqurohman, Ali Nur Yasin, Dewi Rina Cahyani, I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini