Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU beberapa pekan Kejaksaan Agung menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan untuknya, nama Adrian Herling Waworuntu sudah kembali dikaitkan dengan kejahatan perbankan. Pada 1995, bersama Endang Utari Mokodompit, anak Ibnu Sutowo, ia diduga kuat terlibat pembobolan Bank Pacific. Kini, delapan tahun berselang, Adrian dituding telah mengotaki pembobolan Bank BNI.
Toh, pembawaan kalem lelaki kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, 53 tahun lalu itu, seperti tak terusik. Ditemui Thomas Hadiwinata dan Nezar Patria, Rabu pekan lalu di Hotel Gran Melia, Jakarta, anak pendeta yang telah dinyatakan buron oleh polisi itu dengan dingin menjawab setiap pertanyaan di seputar keterlibatannya. Berikut ini petikan wawancara TEMPO dengan pria penggemar motor besar itu.
Anda selalu menyatakan tak terlibat penerbitan L/C fiktif, tapi kenapa sekarang justru Anda yang banyak berperan dalam upaya penyelesaiannya?
Saya memang sama sekali tidak tahu. Tapi, sewaktu masalah ini diberitakan, nama saya kok ikut muncul. Maka saya datang ke BNI meminta penjelasan. Saya sama sekali tidak ada hubungan dengan Gramarindo. Saya hanya diminta Ibu Erry (Maria Pauliene Lumowa), untuk mencarikan proyek. Jadi, dengan mudah saya bisa cuci tangan.
Bukankah Anda "otak" sesungguhnya di balik permainan L/C itu?
Setelah ribut-ribut ini, saya justru menyesalkan kenapa Ibu Erry tidak kasih tahu saya tentang L/C itu. Terus terang, ya, Ibu Erry merasa tidak ada yang salah dengan fasilitas kredit dari BNI. Setelah saya jelaskan, baru dia tahu. Mereka yang kenal saya pasti bilang, ini bukan mainan kelas saya. Modus ini kan tak ubahnya cashier kiting. Gali lubang tutup lubang. Cepat atau lambat pasti ketahuan.
Tapi kenapa ada tujuh perusahaan yang terkait dengan Anda dan rekening Anda pribadi ikut menerima kucuran dana?
Kalau soal itu, Anda harus melihat hubungan kami dengan mereka (perusahaan Erry) itu apa. Mereka kan hanya membeli barang dari kami.
Nilainya sampai puluhan juta dolar?
Mereka (maksudnya Sagared Team, perusahaan Erry) membeli PT Sarana Sumber Bintang Jaya dari kami. Saat diambil alih, perusahaan itu masih bermasalah. Ibu Erry minta saya membereskannya. Mereka juga membeli tanah saya di Cakung-Cilincing.
Pembelian PT Sarana kan hanya US$ 500 ribu?
Tidak. Nilai keseluruhannya US$ 6,5 juta. Selain itu, mereka menyewa kantor kami (Grup Aditarina) di Jalan Bangka 33, Jakarta, dan Menara Imperium (sekarang dipakai Brocolin, perusahaan milik Adrian—Red.).
Transaksi lain?
Ibu Erry juga mau ikut serta dalam usaha pemasok kami, PT Sukses Besar. Pernah juga dia membeli dolar dari kami. Pokoknya, semua transaksi itu ada underlying business-nya (ada jaminan proyeknya—Red.).
Tapi masa sih sampai puluhan juta dolar?
Begini.... Ada juga sebagian dari dana Ibu Erry yang sekadar kami tampung sementara. Ini untuk keperluan bukti ketersediaan dana, saat Brocolin hendak membeli aset BPPN. Tapi, setelah Brocolin gagal mendapatkan aset, uang itu ditransfer lagi ke Ibu Erry.
Menurut data kami, dana itu ditransfer ke BNI.
Belakangan hari, baru saya tahu kalau uang yang ditransfer BPPN itu kemudian ditransfer balik ke BNI.
CEO Brocolin, Dicky Iskandar, menyatakan uang yang masuk Brocolin hanya Rp 74 miliar, sementara laporan audit BNI menyebut Rp 170 miliar. Ke mana selisihnya?
Saya tidak tahu. Data di rekening koran memang hanya sebegitu. Angka yang diterima Adithya Finance juga cuma itu.
Anda pernah bertemu direksi BNI?
Saya diundang untuk datang oleh pihak BNI. Kebetulan pengacara BNI, Pak Soehandjono (mantan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara—Red.), sudah saya kenal lama. Beliau yang menelepon saya. Saya datang dan menjelaskan kepada dia. Setelah saya tahu uang ini berasal dari BNI, saya berkewajiban memberitahukan uang ini jadi apa.
Anda selalu bilang tak tahu-menahu patgulipat ini, tapi kenapa Anda bersedia meneken pengakuan utang dan menyerahkan jaminan pribadi?
Mungkin ini aneh. Tapi, bagi yang mengenal dekat saya, mereka akan paham ini karena situasi, saya diminta, lalu mengiyakannya saja. Sejujurnya, saat itu saya tidak tahu ini bisa jadi masalah. Saya meneken atas dasar percaya saja. Ibu Erry ini baik sama saya. Awalnya saya tidak merasa ada hal yang bisa menjebak atau membahayakan. Setelahnya, baru saya pikir tindakan itu terlalu gegabah.
Konsekuensinya buat Anda?
Soal ini sudah saya diskusikan dengan pengacara. Saya ditanya, apa punya saham di perusahaan-perusahaan penerima dana L/C itu. Saya bilang tidak. Kedua, itu ditandatangani akhir Agustus, setelah transaksi terjadi. Jadi, kalau saya mau... itu tidak akan efektif.
Maksudnya, Anda bisa lepas tanggung jawab?
Iya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo