Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBOBOLAN bagi sebuah bank jelas bukan prestasi yang patut dibanggakan, karena itu mestinya tidak perlu berulang. Namun, entah mengapa, di PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BNI), peristiwa memalukan itu justru kerap terjadi.
Empat tahun lalu, BNI pernah goyah karena memberikan fasilitas kredit pra-pengapalan kepada Grup Texmaco berturut-turut sebesar US$ 276 juta, US$ 240 juta, dan Rp 240 miliar.
Cerita itu kemudian meledak di media massa lantaran terungkapnya surat-menyurat petinggi Texmaco kepada Presiden dan Gubernur Bank Indonesia, yang meminta agar fasilitas itu bisa "dimanfaatkan" untuk melunasi utang luar negeri Texmaco yang telah jatuh tempo.
Setelah kasus Texmaco, kesehatan BNI tampaknya belum bisa pulih sepenuhnya. Injeksi dana rekapitalisasi yang mepet, kredit macet yang masih relatif besar, dan bertumpuknya masalah internal, membuat BNI tertatih-tatih.
Tidak cuma itu, sistem teknologi informasi yang semula menjadi kebanggaan BNI sekarang cenderung stagnan. Namun, lantaran tak adanya terpaan angin dari luar, BNI relatif masih bisa berdiri tegak.
Sayangnya, masa tanpa gejolak itu tidak berlangsung lama. Setahun belakangan, perahu BNI kembali didera gelombang dan badai. Kali ini modusnya berupa pembobolan di cabang-cabang. Pembobolan pertama terjadi di cabang Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, pada April 2002.
Berbekal negotiable certificate deposit (NCD/sertifikat deposito yang dapat diperjualbelikan) dari Bank Swansarindo, seorang pengusaha berinisial DS meminjam duit Rp 50 miliar. Uang itu, katanya, akan dipakai untuk mengembangkan usaha di bidang impor buah-buahan.
Belakangan terkuak, sertifikat deposito berjumlah lima lembar itu—masing-masing bernilai Rp 10 miliar—ternyata palsu. Dengan demikian Bank Swansarindo, yang kemudian beralih rupa menjadi Bank Persyarikatan, menolak membayar ke BNI. DS sendiri menghilang tak jelas ujung rimbanya.
Anehnya, sebulan kemudian aksi serupa terulang. Kali ini menimpa cabang pembantu Radio Dalam, Jakarta Selatan. Pemainnya juga sama, DS. Kali ini DS dan seorang rekannya menyimpan duit milik Bank Pembangunan Daerah Bali di BNI dalam bentuk deposito yang bisa ditarik sewaktu-waktu (deposit on call) sebesar Rp 195 miliar.
Atas kerja sama dengan pimpinan cabang setempat, deposito itu kemudian disalurkan ke sejumlah peminjam tanpa jaminan sama sekali. Tapi si peminjam mesti bersedia dipotong bunga 30 persen setahun di muka. Bisa ditebak, duit yang digelontorkan DS ke para mitranya itu tak ada yang kembali ke BNI Radio Dalam. Tinggallah BNI yang harus mempertanggungjawabkan dana itu kepada BPD Bali.
Belum tuntas pengusutan kasus itu, giliran BNI cabang Pondok Indah, Jakarta Selatan, yang kebobolan. Modusnya berupa penyaluran kredit Rp 65 miliar dengan agunan fiktif. Kredit ini, kabarnya, digaruk oleh 19 perusahaan dari kelompok usaha yang sama.
Kasus dengan modus NCD kembali terulang dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Pada 12 Juni 2002 organisasi para pengusaha hutan itu membeli 31 lembar NCD milik BNI senilai Rp 30 miliar. Dua pekan kemudian APHI kembali membeli Sertiplus BNI sebanyak 25 lembar senilai Rp 49,19 miliar.
Menurut APHI, surat berharga itu dititipkan ke BNI cabang Tebet, Jakarta Selatan. Tujuh bulan kemudian APHI bermaksud meminjam sertifikat deposito tersebut lantaran ada proses pemeriksaan keuangan di lembaganya.
Tapi pengurus APHI terkejut karena pejabat BNI menyatakan sertifikat deposito telah dikembalikan kepada APHI dan dijadikan jaminan kredit oleh Yulianus Indrayana sebesar Rp 39,42 miliar.
Posisi bank pelat merah itu menjadi agak terjepit. Sebab, Yulianus, yang mestinya merupakan saksi mahkota dalam urusan ini, ditemukan tewas di Hotel Ibis, Slipi, Jakarat Barat.
Kasus yang paling gres, BNI berpotensi kebobolan Rp 1,7 triliun karena terjadinya skandal letter of credit (L/C) untuk ekspor fiktif di kantor cabang Kebayoran Baru.
Pembobolan yang berulang-ulang itu tak urung membuat Mirza Adityaswara terkesima. Sebagai analis yang biasa mengutak-atik kinerja perbankan, ia menilai skandal yang terjadi di bank tersebut sangat aneh.
Bagaimana mungkin kasusnya baru terdeteksi berbulan-bulan setelah berlangsungnya kejadian? Soalnya, setiap kali ada pinjaman atau penggunaan fasilitas bank, transaksi itu akan dimasukkan ke pembukuan, yang bisa diketahui orang kantor pusat setiap saat. "Itu aturan perbankan yang standar," ujarnya.
Jadi, di mata Mirza, tak ada kamusnya petinggi BNI di kantor pusat tidak mengetahui adanya pengucuran dana dalam jumlah besar di cabang. "Kalau sistem kantor pusat tidak bisa menangkap hal itu," kata Mirza, "berarti sistem di BNI memang sudah sedemikian parah."
Agaknya rongrongan pembobolan itu pula yang membuat kinerja BNI setahun terakhir tidak terlampau mengkilap. Per Juni tahun ini BNI cuma menghasilkan keuntungan Rp 1,5 triliun. Berarti tidak ada kenaikan ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya.
Penggangsiran di cabang Kebayoran Baru bahkan membuat keuntungan BNI makin tipis. Soalnya, untuk mengantisipasi kerugian, BNI terpaksa menyisihkan pencadangan baru sebesar Rp 941 miliar. Dengan demikian laba bersih per September tahun ini turun drastis menjadi Rp 1,17 triliun. Padahal laba pada peiode yang sama tahun lalu mencapai Rp 2,1 triliun.
Sumber TEMPO di BNI menyebut, bukan mustahil akan ada pencadangan baru lagi Rp 300 miliar pada akhir tahun untuk menutupi kredit macet yang membengkak. "Kami ingin seluruh pencadangan dilakukan tahun ini," tuturnya.
Sementara itu, kredit macet kategori 3, 4, dan 5 mencapai Rp 2,3 triliun. Jumlah itu belum termasuk kredit macet Texmaco US$ 100 juta yang dijamin BPPN. "Dan sampai sekarang tak bisa dibayar perusahaan tekstil tersebut," ujar Mirza.
Namun mestinya BNI tidak cuma bersolek di bidang keuangan. Bank pemerintah terbesar kedua itu sudah waktunya membenahi sistem dan prosedur agar kejadian serupa tak terulang di masa depan. Kehendak setidaknya sudah terucap dari Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi. "Kami sudah minta komisaris melakukan penelitian dan perbaikan di BNI," tuturnya.
Mari kita tunggu hasilnya. Jangan sampai BNI terjerembap di lubang yang sama.
Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo