BISA dimcngerti bila di saat seperti sekarang, orang No. 1 dari
penerbangan Boeing yang datang sendiri ke Indonesia mengantarkan
pesawat yang dibeli PT Garuda Indonesia Airways. E.H.,
Boullioun, presiden dari perusah.an pesawat terbang komersial
Boeing, bersama Nyonva, ikut dalam rombongan penerbangan
perdana Boeing 747 Garuda dari Seattle, AS.
Dibuka dengan alunan gamelan dari Gurian Group, menurut daftar
acara Presiden Soeharto pada siang 6 Agustus ini menyambut
kedatangan pesawat Boeing 747 pertama yang dimiliki Indonesia
itu. Kemudian, Ibu Tien Soeharto memotong pita di tangga pesawat
di bandar udara internasional Halim Perdanakusuma--seusai
pembacaan doa selamat.
Dan siang itu, cnam hari sebelum Lebaran, Dir-Ut Garuda Wiweko
Supono banyak menerima ucapan selamat. Masuk akal. Pesawat yang
diberi nama City of Jakarta itu adalah satu di antara empat
pesawat Boeing 747-200 B yang dibeli oleh Garuda, sejalan dengan
progrm ekspansi armadanya. Kontrak pembelian yang
ditandatangani oleh Dir-Ut Wiweko di Hongkong 4 Maret 1980,
dilakukan dengan redit suatu sindikat bank, berjumlah U$ 262
juta.
Sebelumnya Garuda telah memesan dua DC-10 dan tujuh DC-9 seharga
US$ 112,5 juta, dan enam pesawat Airbus A300 seharga US$ 50
juta. Dengan perjanjian pembelian mpat Boeing 747 itu, armada
Garuda yang 14 tahun lalu hanya terdiri dari 3 pesawat
propeller, kini terdiri dari pesawat jet sebanyak 67 buah.
Sementara itu utang-utangnya pada pihak luar negeri berjumlah
US$ 535 juta--lima kali lipat tingkat utangnya di tahun 1977.
Akan untungkah Garuda dengan B747 yang dibelinya? Banyak orang
merasa was-was juga, dan beranggapan tindakan Wiweko itu teramat
berani. Sebah berbeda dengan pembelian-pembelian yang dilakukan
sebelum tahun 1978, pembelian di tahun berikutnya dibarengi
dengan kenaikan harga minyak bumi yang gila-gilaan. Setelah
revolusi di Iran.
Banyak peristiwa yang memang tak terduga sebelumnya terjadi
selama dua tahun ini. Tak ada yang memperkirakan harga minyak
akan naik sampai 6 kali selama 1979. Dan selama 1980, harga itu
bisa dipastikan akan terus meningkat, sejalan dengan keputusan
OPEC yang membolehkan harga minyak di tinjau kembali setiap
kuartal. Negar industri pun masih dilanda inflasi dan resesi,
yang nampaknya kian hari kian memburuk.
"Dengan keadaan ini, bukan saja angkutan barang lewat udara
akan berkurang. Tapi juga para calon wisatawa akan merasa
ogah-ogahan melakuka, perjalanan," kata seorang pemilik biro
perjalanan. Maka penambahan kapasitas untuk rute luar negeri
dengan empat Boeing besar itu (satu B-747-200B bisa mengangkut
400 penumpang) dikhawatirkan akan merupakan penambahan yang
berlebihan.
Meninjau Kembali
Selama ini rute Garuda untuk jurusan Eropa, Hongkong dan Jepang
masih belum untung. Jurusan Australia masih klop. Hanya jurusan
Singapura yang 7 kali dalam sehari memberi keuntungan.
Tapi selama ini pula 90% dari laba Garuda berasal dari
penerbangan di dalam negeri. Untuk jurusan luar negeri
loalfactor --jumlah ton-kilometer yang terlayar dibandingkan
jumlah kursi yang tersedia--hanya mencapai 36%. Kalau empat
Boeing 747 dan dua DC-10 yang baru nanti sudah beroperasi, maka
tambahan kursi yang disediakan oleh Garuda berjumlah 5.000
seminggu.
Melihat prestasi belakangan ini, beberapa orang penerbangan yang
mengetahui meramalkan sulit untuk mempertahankan load-factor
itu. "Jangan ia meningkatkannya," kata seorang di Departemen
Perhubungan.
Selama tahun 1977 dan 1978 penumpang Garuda bertambah
masing-masing dengan 23% dan 26%, tapi tahun ia hanya naik
dengan 8%. Proyeksi nera, rugi-laba yang dibuat Garuda untuk
pihak bank didasarkan atas pertumbuha penumpang 15% setahun
sampai 1985. Itu nampaknya sulit dicapai dengan situasi ekonomi
seperti sekarang ini.
Tapi bagaimana dengan prestasi keuntungan Garuda? Secara
keseluruhan sampai sekarang Garuda memang belum pernah
kedengaran rugi. Tapi keuntungannya toh merosot terus. Pada 1977
labanya US$ 18 juta, turun dari US$ 25 juta yang diperolehnya
pada 1975. Pada 1978, akibat devaluasi rupiah, labanya merosot
lagi menjadi US$ 12 juta. Angka sementara selama 1979
menunjukkan bahwa labanya US$ 2 juta.
Meskipun demikian, Garuda rupanya tetap berambisi untuk ikut
terjun dalam 'klub Boeing 747'. Sebenarnya hasrat ini agak
ketinggalan terlaksananya bila dibandingkan dengan yang dicapai
beberapa negara tetangga: Singapore Airlines dan PAL (Filipina)
sudah beberapa tahun lalu memilikinya. Bahkan KLM sudah mulai
meninjau kembali ambisinya setelah membeli sebanyak 7 DC-10
beberapa waktu yang lalu. Karena suasana ekonomi yang memburuk,
penerbangan Belanda itu terpaksa menjualnya kembali. Dan dua di
antaranya dibeli oleh Garuda.
Tapi agaknya Garuda melakukan semua itu untuk meningkatkan diri.
Sebab di samping angkutan haji dan dalam negeri yang tetap
untung, untuk lin internasional, Garuda -- yang jauh lebih tua
dari beberapa perusahaan penerbangan negara tetangga -- tak
banyak terdengar. Dalam peningkatan diri itu pula Garuda menarik
Martinair, sebuah perusahaan penerbangan Belanda, untuk
melakukan suatu survei tentang mutu pelayanan Garuda
dihandingkan beberapa perusahaan lain seperti Cathay Pacific,
Singapore Airlines dan PAL. Hasilnya: dalam setiap segi
pelayanan Garuda ketinggalan.
Kini usaha promosi untuk memperbaiki citra Garuda sudah mulai
dilakukan. Antara lain lewat iklan di TV-RI. Dan mungkin
sebentar lagi dalam iklan itu akan muncul si Jumbo. Kalau nampak
tidak penuh penumpang, itu artinya tuan-tuan dan nyonya-nyonya
bisa tidur, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini