Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERINTAH pemimpin Ansharut Daulah, Aman Abdurrahman, dikeluarkan di penjara Kembang Kuning, Nusakambangan, Desember tahun lalu. Menurut sejumlah petinggi Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian, pemimpin kelompok yang bergabung ke Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS itu menyatakan, "Sekarang waktunya melakukan amaliyah."
Amaliyah merupakan terminologi untuk menyerang. Perintah disampaikan kepada sejumlah anggota kelompok itu yang menemui Aman di penjara, tempatnya menjalani hukuman karena mendanai pelatihan terorisme di Jalin, Jantho, Aceh, pada 2010. Di antara yang datang, ada Dian Juni Kurniadi, Sunakim alias Afif, Muhammad Ali, dan Ahmad Muhazan. Sebelum ke Nusakambangan, mereka berkumpul di satu pondok pesantren di Ciamis, Jawa Barat.
Menurut seorang perwira Densus 88, Afif dan Ali bergabung dalam kelompok Jakarta. Sedangkan Dian dan Muhazan dari kelompok Cirebon dan Indramayu. Mereka bagian dari kelompok yang menamai diri Sayap dan dipimpin Ali Hamka. Perwira itu menyatakan Aman tidak menyebut target secara spesifik. Dianlah yang kemudian menentukan sasaran serangan.
Dian, kata perwira lain, awalnya menargetkan serangan ke satu kuil di Tegal, Jawa Tengah. Bukan dengan bom, melainkan dengan pembakaran. Ia juga merencanakan teror kepada satu kelompok di Pekalongan. Rencana ini dibatalkan ketika polisi menangkap kelompok lain di sejumlah kota, yang bersama-sama telah menargetkan sekitar 28 titik serangan, akhir tahun lalu.
Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, dipilih sebagai sasaran baru. Dian diduga meminta Dudi Suridi, anggota kelompok di Cirebon, merakit bom. Tak berpengalaman sebelumnya, Dudi memenuhi perintah itu dengan belajar membuat bom melalui video di YouTube berjudul How to make a bomb from your kitchen. Ia membeli tabung gas tiga kilogram di warung tak jauh dari tempat tinggalnya. Sebagai bahan peledak, dipilih potasium nitrat, belerang, dan aluminium. "Biayanya tak lebih dari dua juta," kata perwira Densus 88.
Serangan di Jalan Thamrin dilakukan pada Kamis pagi yang sibuk, dua pekan lalu. Teror ini menewaskan delapan orang. Tujuh tewas di lokasi kejadian. Dari jumlah itu, empat di antaranya diduga pelaku serangan: Dian Juni Kurniadi, Muhammad Ali, Afif alias Sunakim, dan Ahmad Muhazan bin Saron. Serangan bom, granat, dan senjata api ini juga melukai 27 orang lain.
Polisi mengklaim menumpas serangan ini dalam waktu 11 menit. Mereka mencocokkan identitas Afif ketika foto dia menembaki polisi beredar di media massa tak lama setelah serangan. Dari sini, Densus 88 menyergap anggota jaringan yang telah diidentifikasi melalui penangkapan-penangkapan sebelumnya.
Polisi dengan cepat menangkap 16 orang. Empat dilepaskan dan sisanya diinterogasi. Hanya enam orang yang dianggap berkaitan dengan bom Thamrin. "Mereka tahu rencana pengeboman," ujar Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI Anton Charliyan.
Keterangan dari mereka yang ditangkap segera setelah serangan itulah yang mengungkap hubungan para penyerang dengan Aman Abdurrahman. Mereka pun dengan cepat menceritakan perencanaan teror Kamis pagi itu kepada polisi. Polisi juga mengklaim telah menemukan bagian-bagian tabung gas, yang dirakit menjadi bom, di rumah Dudi.
Tiga pria berbadan tegap duduk di dalam mobil angkutan kota Rute 11A yang diparkir di dekat gerbang rumah kontrakan empat pintu di Bojong Rawalumbu, Kecamatan Rawalumbu, Kota Bekasi. Boy Napitupulu, sopir angkutan umum pada trayek yang sama, mendekati mobil tersebut. Ia mengetahui mobil itu milik temannya, tapi sama sekali tidak mengenal seorang pun di dalamnya.
Tak lama berselang, Boy menyaksikan mereka cekatan menyergap seorang pria yang baru keluar dari pintu rumah kontrakan paling ujung. Belakangan, dia tahu tiga pria itu anggota Densus 88. Mereka menangkap Hendro alias Edo Aliando alias Endo, 27 tahun.
Hampir bersamaan, sekitar sepuluh orang keluar dari mobil Isuzu Elf yang berhenti sepuluh meter di belakang angkutan kota itu. Mobil lain, Kijang Innova putih, pun mendekat. "Hendro didorong masuk dan Innova melaju pergi," kata Boy, Kamis pekan lalu. Penyergapan dilakukan sehari setelah serangan di Jalan Thamrin.
Setengah jam setelah Densus 88 menangkap Hendro, polisi dari Kepolisian Resor Kota Bekasi tiba di lokasi. Lurah Bojong Rawalumbu, Mahfud, mengatakan, "Warga kami dalam radius seratus meter dievakuasi selama penggeledahan rumah itu." Menurut dia, rumah kontrakan itu milik warganya, Paidjo. Setelah ditangkap, Hendro dibawa ke gerai telepon seluler miliknya di Jalan Raya Pondok Timur Indah, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi.
Dari penggeledahan di dua tempat itu, polisi membawa barang bukti sembilan pucuk senjata api laras pendek, amunisi, handycam, sarung tangan, dan flash disk. Polisi juga mengklaim menyita sebilah pedang samurai, satu set komputer, dan dua unit telepon seluler.
Hendro, menurut seorang perwira polisi, diduga menerima pesan pendek dari Dian Juni Kurniadi, yang tewas setelah melemparkan bom ke pos polisi di depan gedung Sarinah, Jakarta. Pesan yang dikirim satu setengah jam sebelum serangan itu isinya menitipkan anak, istri, dan harta warisannya. "Ada beberapa saksi yang mengaku mendapat wasiat untuk menjaga keluarga dan harta warisan," kata Anton Charliyan.
Menurut perwira lain, Hendro anggota kelompok yang sama dengan Arif Hidayatullah alias Abu Mushab. Nama terakhir ditangkap dua hari sebelum Natal 2015 di Perumahan Harapan Baru, Bekasi. Arif memiliki kartu identitas yang tercatat sebagai warga Mojosongo, Jebres, Solo. "Dia membeli rumah di sini lima tahun lalu," ujar Daromez, tetangganya di Solo.
Pada hari itu, polisi juga menangkap warga negara Cina bersuku Uigur dengan inisial AL alias Alli di rumah kontrakannya di Taman Harapan Indah, Bekasi. Polisi menemukan identitas palsu Alli, yang menggunakan nama Fariz Kusuma, kelahiran Pontianak, Februari 1980. Seorang polisi mengatakan Alli sebenarnya disiapkan untuk menjadi "pengantin", istilah untuk pelaku peledakan bom bunuh diri, dalam serangan di Jalan Thamrin.
Arif ditangkap menyusul serangkaian penggerebekan di Tasikmalaya, Banjar, Gresik, Mojokerto, dan Sukoharjo pada 19-20 Desember 2015. Polisi menangkap antara lain Abu Jundi di Sukoharjo, Zaenal dan Asep Urip di Tasikmalaya, serta Iwan alias Koki di Banjar. Koki berperan merakit bom, sedangkan Zaenal akan menjadi "pengantin".
Menurut Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti, Arif dan Alli merupakan anggota jaringan ISIS. Arif diduga tahu banyak tentang mereka yang pro-ISIS, baik di Indonesia maupun di Suriah. Badrodin mengatakan Arif dan Alli ditangkap karena akan menebar teror pada Natal dan malam tahun baru lalu. "Targetnya Markas Polri, pejabat polisi, dan kelompok masyarakat," ujar Badrodin.
Arif Hidayatullah, menurut dua orang petinggi kepolisian, sesungguhnya mendapat peran sebagai koordinator serangan Natal dan tahun baru. Mereka juga mengungkapkan, ada transfer uang dari Muhammad Bahrunna'im Anggih Tamtomo atau Bahrun Naim alias Abu Rayyan alias Abu Aisyah.
Bahrun telah masuk ke wilayah ISIS di Suriah pada Mei tahun lalu. Transfer uang dengan total sekitar Rp 1 miliar terjadi beberapa kali dengan sekali pengiriman berkisar Rp 70 juta melalui perusahaan jasa pengiriman uang. Uang dikirim Bahrun ke alamat Arif atas nama istrinya. Menurut mereka, Arif mengakui mendapat instruksi dari Bahrun untuk melakukan serangan akhir tahun.
Peran Bahrun Naim dalam bom Thamrin dibuka Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Tito Karnavian hanya tiga jam setelah kejadian. Menurut Tito, Bahrun menyerang Jakarta untuk menunjukkan kuatnya pengaruh dia di Asia Tenggara akibat rivalitas kepemimpinan ISIS, baik dengan sesama tokohnya asal Indonesia maupun dengan kelompok lain pendukung ISIS di Asia Tenggara. "Bahrun bersaing dengan tokoh ISIS asal Filipina Selatan dan Thailand Selatan," kata Tito.
Bahrun, lulusan Teknik Informatika Universitas Sebelas Maret, Solo, sungguh paham kekuatan media sosial untuk menyebarkan paham dan propaganda. Hanya selang dua hari setelah dituding Tito Karnavian sebagai orang di balik teror, Bahrun mengedarkan rekaman berbahasa Indonesia di dunia maya dengan logat Solo yang medok.
Rekaman berdurasi enam detik itu mengatakan, "Lha wong saya itu jarang online dikira komunikasi, komunikasi dari Hong Kong." Adik Bahrun, Dahlan Zaim, mengakui itu suara kakaknya. "Suaranya memang seperti itu," ujar Dahlan. Hanya, Dahlan belum mengerti konteks dari pernyataan Bahrun dalam rekaman itu.
Blog pribadi milik Bahrun juga tetap aktif hingga tak lama setelah bom Thamrin. Blog ini sempat ditutup, tapi muncul lagi. Blog pribadinya semula www.bahrunnaim.co, lalu berganti jadi www.bahrunnaim.site pada Senin pekan lalu. Blog itu menampilkan banyak isi tentang terorisme, di antaranya strategi perang dalam kota, cara membuat detonator, cara menghindari kejaran intelijen, dan pentingnya berdakwah. Ia juga mengunggah cara sniper menyamar.
Bahrun mengunggah pula tulisan opini berjudul "Nasihat untuk Penonton". Ia menautkan serangan di Paris dengan yang di Jakarta. Selanjutnya, ia menulis, teror itu qishas atau pembalasan terhadap polisi. Bahrun juga menulis, ia telah memberi peringatan melalui pemimpin Mujahidin Indonesia Timur, Santoso. "Serangan junud (tentara) Daulah Islam adalah sesuatu yang telah diserukan."
Menurut seorang petinggi Densus 88, popularitas kegiatan terorisme Bahrun mulai moncer ketika ia mengancam membunuh Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang akan berkunjung ke Indonesia pada 2010. Ancaman itu disebarkan pada dinding akun Facebook bernama Bahrun Naim, yang terlacak oleh Federal Bureau of Investigation. Badan penyelidik Amerika Serikat itu meneruskan temuan tersebut ke Densus 88, yang kemudian menangkap Bahrun.
Pernyataan Badrodin menguatkan hal itu. "Bahrun pernah ditangkap saat Obama ingin datang ke Jakarta," kata Badrodin. Kebetulan, bersamaan dengan rencana kedatangan itu, terjadi insiden tumpahnya minyak di Teluk Meksiko, yang mencemari sebagian wilayah pantai Amerika Serikat. Obama pun batal ke Jakarta.
Derasnya lalu lintas komunikasi dan transfer duit dari ISIS juga diyakini Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Ansyaad Mbai. Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ini mengungkapkan, ada komunikasi intensif antara Bahrun dan empat jaringan: Bekasi, Solo, Poso, dan satu kota di Jawa Timur. Mereka berkomunikasi menggunakan Facebook dan media sosial lain.
Ansyaad mengatakan komunikasi mereka detail. Misalnya rencana serangan, skema rangkaian bom, dan target. "Mereka juga bicara konser akhir tahun, yang maksudnya ancaman bom," ujar Ansyaad. Menurut Kurnia Widodo, mantan narapidana kasus terorisme yang pernah satu tahanan dengan Bahrun di Kepolisian Daerah Metro Jaya, istilah konser akhir tahun pas sekali dengan Bahrun yang anak band. "Ia menyukai jenis musik underground," kata Kurnia. Kurnia berkawan dengan Bahrun, tapi menyatakan menolak ISIS.
Kurnia, yang ditahan pada 2010 dalam kasus pembuatan bom Kelompok Cibiru, mengatakan ia bersama Bahrun dan Afif pernah satu blok dengan Aman Abdurrahman di tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. "Afif dan Bahrun saling kenal. Mereka sama-sama mengaji ke Ustad Aman Abdurrahman," ujar Kurnia.
Ansyaad menyebutkan rencana konser akhir tahun tersebut tidak terwujud karena Densus 88 menangkap 22 orang yang dicurigai bakal melakukan serangan itu. Bom Thamrin, kata Ansyaad, merupakan konser akhir tahun yang tertunda, sekaligus menunjukkan banyaknya anggota jaringan pendukung ISIS ini. "Mereka sebenarnya sudah masuk radar Densus 88, tapi tetap saja ada yang lolos," kata Ansyaad.
Mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As'ad Ali menyatakan Bahrun sebenarnya pendatang baru. Pemimpin ideologi jihadis Indonesia masih Abu Bakar Ba'asyir, yang mendekam di penjara Pasir Putih, dan Aman Abdurrahman, di penjara Kembang Kuning, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Ba'asyir dan Aman dipenjara karena terbukti mendanai pelatihan terorisme di Jalin, Jantho, Aceh, pada 2010. Bahrun muncul bersamaan dengan persaingan Salim Mubarok Attamimi atau Abu Jandal dan Bachrumsyah, yang lebih dulu berada di wilayah ISIS di Suriah dan Irak. Belakangan, nama dua orang ini kurang terdengar. BIN pernah menugasi As'ad di wilayah Timur Tengah. "Saya mendapat informasi dari jaringan saya di sana," ujar As'ad.
Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian Taufik Andrie menguatkan pendapat As'ad. Yayasan tersebut punya program deradikalisasi mantan teroris. Menurut Taufik, Bahrun diuntungkan momentum perebutan pengaruh Abu Jandal versus Bachrumsyah. Bersamaan dengan itu, ada kabar Bachrumsyah tewas meski belum terverifikasi. Sedangkan Abu Jandal menjalani hukuman dari penguasa ISIS karena melakukan pelanggaran.
Kesempatan inilah yang direbut Bahrun. Menurut Taufik, meski Bahrun bukan tokoh kuat dan bukan ideolog seperti Aman dan Ba'asyir, keberhasilannya masuk ke wilayah ISIS ketika banyak jihadis Indonesia gagal berangkat membuat pamornya di kalangan pendukung ISIS naik. "Kini lalu lintas komunikasi dan uang, baik dari pemerintah pusat ISIS maupun dari pendukungnya di Indonesia, banyak berporos pada Bahrun," katanya.
Ketua Dewan Pembina Tim Pembela Muslim, Mahendradatta, menyilakan polisi menyelidiki peran Bahrun, mantan kliennya. Menurut dia, polisi juga harus bisa membuktikan keterkaitan Afif dengan Bahrun. "Karena tidak ada hubungan di antara mereka," ujarnya. Tim Pembela Muslim juga pernah menjadi pembela Afif.
Mahendradatta mengatakan keluarga Bahrun minta mereka tidak didiskreditkan. "Bahrun itu minta izin sekolah ke Saudi atau negara Timur Tengah lainnya," katanya. Ia juga menegaskan, Ba'asyir tidak mengenal pelaku peledakan bom Thamrin. "Ustad Abu juga tidak kenal Bahrun."
Sunudyantoro, Budi Setyarso, Avit Hidayat, Reza Aditya (Jakarta), Adi Warsono (Bekasi), Ahmad Rafiq (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo