Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AKBAR Tandjung tak menolak ketika Ketua Umum Partai Golkar hasil Musyawarah Nasional Bali, Aburizal Bakrie, mengajaknya bertemu pada Senin pekan lalu. Sambil makan malam bersama, keduanya berbicara empat mata di kantor Aburizal, di lantai 46 gedung Bakrie Tower, kawasan Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta.
Kepada Ketua Dewan Pembina Golkar itu, Aburizal menjabarkan konsep penyelesaian konflik partai. Konsep ini pernah disepakatinya bersama Ketua Umum Golkar hasil Musyawarah Nasional Ancol, Agung Laksono, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 18 Desember tahun lalu. Salah satu bagian dari rancangan itu adalah penyelenggaraan rapat pimpinan nasional sebelum musyawarah nasional. Akbar tak buru-buru mengiyakan konsep Aburizal. "Saya cuma bilang bagus kalau sudah ada niat menyelesaikan konflik," ujarnya Kamis pekan lalu.
Beberapa jam sebelum bertemu dengan Akbar, Aburizal menemui politikus senior Golkar, Bacharuddin Jusuf Habibie. Menurut Akbar, saat berbincang di Bakrie Tower, Aburizal bercerita bahwa konsep penyelesaian konflik juga telah disampaikan kepada Habibie dan disetujuinya. Sehari berselang, Aburizal lagi-lagi menyampaikan konsep serupa ketika bertemu dengan Muladi dan Jusuf Kalla.
Pertemuan Aburizal dengan para seniornya itu berlangsung beberapa hari setelah Mahkamah Partai Golkar membacakan amar putusan ihwal konflik partai. Jumat dua pekan lalu, Mahkamah merekomendasikan penyelesaian konflik melalui mekanisme musyawarah nasional. Mahkamah menunjuk tim transisi untuk memfasilitasi forum musyawarah.
Tim itu diisi kader senior, yakni Habibie, Kalla, Ginandjar Kartasasmita, Emil Salim, Abdul Latief, Siswono Yudhohusodo, Theo L. Sambuaga, dan Soemarsono. Akbar, Aburizal, dan Agung juga masuk tim. "Mereka adalah orang yang mengetahui sejarah partai," kata anggota Mahkamah, Andi Mattalatta. Aburizal membenarkan kabar tentang pertemuannya dengan tokoh-tokoh tersebut. Dia mengklaim semua tokoh yang ditemuinya menyetujui rapat pimpinan. "Mereka semua sepakat."
Akbar Tandjung menganggap rencana Aburizal kedaluwarsa. Sebab, saat disepakati, konsep tersebut mensyaratkan dua kubu kembali ke kepengurusan hasil Musyawarah Nasional Riau 2009. Selain itu, disyaratkan tiap kubu membentuk tim untuk membicarakan penyelesaian konflik. "Tapi ini tak pernah terjadi," ujarnya. Masa kepengurusan Riau juga jatuh tempo pada akhir tahun lalu. Karena itu, Akbar menganggap satu-satunya institusi yang sah adalah tim transisi. "Tim ini yang semestinya menjadi acuan musyawarah nasional."
Sebaliknya, Aburizal tetap pada pendirian menyelenggarakan rapat pimpinan sebagai acuan pelaksanaan musyawarah nasional. Ia berkukuh tak ingin membicarakan peran dan posisi tim transisi. "Kami mengadakan rapat pimpinan dulu. Kalau nanti ada ketidakpuasan, baru berbicara soal tim transisi," katanya.
Seorang politikus Golkar mengatakan kengototan kubu Aburizal menggelar rapat pimpinan adalah upaya mereka menjegal islah melalui musyawarah nasional. Sebab, kubu Aburizal bersedia mengikuti musyawarah nasional jika disetujui para pengurus daerah yang menjadi peserta rapat pimpinan. Menurut politikus itu, kubu Aburizal akan berupaya mempengaruhi pengurus daerah agar musyawarah nasional diadakan pada 2019. "Ini skenario yang mereka siapkan," ujarnya. Politikus Ahmad Doli Kurnia mengaku pernah mendengar skenario ini. "Akan ada upaya mobilisasi menolak musyawarah nasional," katanya.
Wakil Ketua Umum Golkar kubu Aburizal, Nurdin Halid, menyangkal ada skenario itu. Menurut dia, rapat pimpinan justru membuka ruang bagi para pengurus daerah untuk menentukan masa depan partai, ada atau tidak ada musyawarah nasional tahun ini. "Kan, mereka yang punya hak suara."
Prihandoko, Tika Primandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo