Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH satu pekan ini Budi Supriyanto menghilang dari kantornya di lantai 13 Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sejak ruang kerjanya digeledah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat dua pekan lalu, politikus Golkar ini langsung raib. "Setelah penggeledahan, Bapak tidak pernah ke kantor," ujar Zaki, salah seorang anggota stafnya, Rabu pekan lalu.
Rambe Kamarul Zaman, koleganya di Fraksi Golkar Dewan Perwakilan Rakyat, juga mengaku tidak pernah lagi melihat Budi datang ke kantor. "Mungkin kondisinya sedang tidak tenang, biarkan saja dulu," kata anggota Komisi Pemerintahan DPR ini.
Penggeledahan di ruang Budi merupakan salah satu bagian dari penyidikan kasus dugaan suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016. Kasus ini melibatkan politikus PDI Perjuangan yang juga kolega Budi di Komisi Infrastruktur DPR, Damayanti Wisnu Putranti. Pada Rabu malam dua pekan lalu, Damayanti ditangkap di rumahnya di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, karena diduga menerima suap sekitar Rp 2 miliar dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir, yang ingin menggarap proyek tersebut. Rabu sorenya, KPK sudah mencokok dua asisten Damayanti, yakni Julia Prasetyarini dan Dessy A. Edwin, serta Abdul Khoir di tiga tempat. Dua asisten Damayanti itu diduga sebagai perantara penerimaan suap.
Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, pemberian ke Damayanti itu merupakan bagian dari komitmen suap dengan nilai total mencapai Sin$ 404 ribu atau setara dengan Rp 3,896 miliar. Agus menduga Damayanti tidak hanya sekali menerima suap dari Abdul. Suap itu ditengarai diberikan Abdul sebagai pelicin agar perusahaannya bisa mendapatkan proyek jalan di Maluku. "Ini pemberian yang kesekian," kata Agus. Keempatnya sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di rumah tahanan KPK.
Dari hasil keterangan tersangka dan penelusuran KPK, diketahui Damayanti bukan satu-satunya anggota Dewan yang diduga bersentuhan dengan proyek tersebut. Radar KPK, misalnya, mengarah ke Budi. Alasan ini yang dipakai KPK menggeledah ruangan Budi. "Karena ada jejak tersangka di ruangannya," kata Yuyuk Andriati, pelaksana harian Kepala Biro Hubungan Masyarakat KPK. Rabu pekan lalu, KPK juga sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mencegah Budi bepergian ke luar negeri.
Menurut seorang penegak hukum di KPK, Budi termasuk anggota Dewan yang diincar dalam kasus ini. Dari rekam jejak penganggaran proyek, dia menyebutkan, Budi diketahui sebagai pengusul. Proyek jalan di kawasan Maluku II ini dibiayai dana aspirasi DPR yang dicairkan melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pada 2016, wilayah Maluku II yang meliputi Pulau Seram ini mendapatkan 19 paket pekerjaan, 14 di antaranya proyek jalan dan 5 jembatan. Proyek-proyek itu masih dalam tahap lelang. "Proyek itu aspirasi Budi, Damayanti diduga hanya makelar," ucapnya.
Menurut Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif, penggeledahan ruangan Budi merupakan upaya lembaganya mengembangkan pengusutan kasus itu. Bersamaan dengan penggeledahan ruangan Budi, KPK juga menggeledah ruangan anggota Komisi Infrastruktur DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Yudi Widiana Adia, dan kantor PT Windhu di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Tim juga menggeledah kantor Sekretariat Jenderal DPR dan sejumlah ruangan Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dari semua penggeledahan itu, tim membawa beberapa kardus dokumen dan cakram penyimpan data dari tempat-tempat tersebut. "KPK melakukan pengembangan ke arah yang lebih besar dalam kasus ini," ujar Laode.
Sumber lain di KPK mengatakan kasus Damayanti ini bakal menyeret sejumlah anggota Dewan lain. Ini, kata dia, karena proyek tersebut diusulkan oleh anggota DPR yang bukan dari daerah pemilihannya. Misalnya Budi, sebagai salah satu pengusul, merupakan anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Tengah X. "Beberapa anggota Dewan diketahui saling menitipkan proyek, misalnya si penitip meminta delapan persen dari total nilai proyek dan memberikan dua persen kepada yang dititipkan," ujarnya.
Menurut sumber tadi, saat diperiksa, Damayanti tak hanya memberikan informasi soal Budi. Kepada penyidik KPK, ia disebut banyak menyampaikan keterangan tentang aliran persekot dari berbagai pengusaha. "Bukan hanya satu proyek, tapi banyak, dan tersebar di beberapa daerah. Nah, uang sudah mengalir ke banyak anggota Dewan. Sekarang tinggal mendalami petunjuk yang sudah didapat," kata aparat penegak hukum ini.
Salah satu modus yang digunakan adalah "menjual" dana aspirasi. Menurut dia, anggota DPR yang telah mengikat janji dengan pengusaha akan berkukuh memperjuangkan program di daerah agar mendapat anggaran.
Damayanti membenarkan mata anggaran untuk mengerjakan proyek itu berasal dari dana aspirasi Dewan. "Anggarannya dari aspirasi, prosesnya kan sudah umum," ujarnya setelah diperiksa KPK, Kamis pekan lalu. Namun, saat ditanya siapa saja anggota DPR yang kerap main proyek, dia enggan menjawab. "Saya tidak tahu, hanya beliau dan Tuhan yang tahu."
Pada Rabu siang pekan lalu, Tempo mendatangi kantor PT Windhu Tunggal Utama untuk meminta konfirmasi atas dugaan itu. Tapi, menurut Saiful, petugas penjaga kantor, tidak ada orang yang bisa ditemui. "Semuanya di Ambon, karena kantor pusat berada di sana. Bapak (Abdul) juga belum menunjuk kuasa hukum," ujarnya.
Sampai akhir pekan lalu, Budi juga belum dapat dimintai konfirmasi. Pekan lalu Tempo dua kali menyambangi ruang kerjanya di DPR, tapi dia tidak pernah ada. Surat permohonan wawancara yang dikirim ke alamat kantor Budi di Senayan juga tak berbalas.
Jumat pekan lalu, Budi dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai saksi bagi tersangka Damayanti. Namun Budi tak hadir dengan alasan sakit. "Anggota stafnya datang membawa surat keterangan sakit," kata Pelaksana Harian Kepala Hubungan Masyarakat KPK, Yuyuk Andriati.
Muhamad Rizki, Angelina Anjar Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo