Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK salah Abdul Aziz memilih nama alias Imam Samudra. Ketenangan-nya memang seperti lautan luas. Saat dipamerkan kepada wartawan, Jumat silam, sehari setelah dicokok polisi, dia tampil begitu tenang. Memakai kaus hitam bercap sebuah produk pakaian olahraga buatan Amerika Serikat, negeri yang dibencinya itu, tatapannya yang tajam menyapu puluhan pasang mata dan kamera yang memelototinya.
Ketenangannya itu sama sekali tak terusik hingga sekonyong-konyong terdengar teriakan takbir dari mulut seorang pengunjung. Imam pun membalasnya dengan teriakan yang sama. Melihat gelagat itu, seorang petugas berkaus hitam langsung mendorongnya ke ruangan dalam. Siapa dia? Pengikutnya? Bukan. Suara itu meluncur dari Lulu Jamaludin, 28 tahun, adik kandungnya. Ia mengaku cuma ingin menyapa. "Kalau saya berteriak assalamualaikum, wah kepanjangan tuh," katanya polos.
Sosok Imam Samudra, 32 tahun, memang jauh berbeda dengan Amrozi, tersangka pelaku pengeboman Legian yang tampil cengengesan. Ia bukan hanya jarang tersenyum. Saat diperiksa, polisi mengaku kesulitan mengorek keterangan darinya. Menurut ketua tim investigasi, Irjen Made Mangku Pastika, Imam Samudra telah mengakui dirinya adalah pria yang menggunakan berbagai alias itu. "Dia pelit bicara, lain sekali dengan Amrozi, yang banyak memberi keterangan," katanya akhir pekan silam.
Tampang dingin dan pelitnya Abdul Aziz alias Imam Samudra alias Kudama atau alias-alias yang lain itu mengumbar cerita yang kontroversial. "Ia mengaku yang merencanakan bom Bali," kata Kepala Kepolisian RI, Jenderal Da'i Bachtiar. Publik bisa segera percaya Imam yang bertampang angker itu adalah teroris nan bengis, tidak seperti saat mereka menangkap Amrozi, playboy dari Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur. Bachtiar pertama kali menerima laporan penangkapan pada pukul 17.10, Kamis pekan lalu.
Kinerja yang boleh dibanggakan. Amrozi, dan kini Imam, tertangkap tak sampai 40 hari sejak pengeboman di Bali terjadi. Kudama memang tokoh penting dalam kasus bom Bali ini. Dialah yang selama ini disebut-sebut polisi sebagai otak di balik pengeboman ini. Dengan tertangkapnya Kudama, praktis perhatian akan tersangka lainnya menjadi teralihkan. Dari Kudama alias Imam Samudra, sesungguhnya bukan hanya tabir dari peristiwa ini bisa segera tersingkap, tapi jaringan yang ada di balik semua bom yang pernah terjadi, termasuk kaitannya dengan jaringan terorisme internasional.
Tuduhan yang diselempangkan polisi memang seram. Abdul Aziz-lah, seperti yang diungkapkan Amrozi, sebagai otak dari peledakan bom di Sari Club dan Paddy's Cafe di Legian, Kuta, Bali, yang menewaskan 186 orang. Bukan itu saja, selama ini pula dialah orang yang dicari-cari polisi akibat keterlibatannya dalam berbagai kasus bom di Indonesia, salah satunya yang fenomenal adalah bom Atrium Senen dan malam Natal dan Tahun Baru, dua tahun silam. Jenderal Da'i ikut menggali dengan bahasa Sunda dan bahasa agama. "Sebelumnya sorot matanya menantang, tapi setelah saya dekati, akhirnya ia terbuka dengan mengaku," kata Da'i.
Titik keberhasilan didapat setelah polisi menangkap dua orang "ajudan" Aziz, yakni Sam alias Rauf dan Yudi, yang digasak polisi sehari sebelumnya. Menurut Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, dari penangkapan dua orang yang merupakan anggota jaringan Kudama di Serang atau disebut juga "Kelompok Serang" inilah polisi berhasil menemukan jejak Imam Samudra alias Kudama ini. Ia berencana pergi ke Pekanbaru untuk selanjutnya menyeberang ke Malaysia (lihat Untung Kudama Memainkan Topinya).
Ke mana Kudama selama ini? Sehari setelah bom yang dirancangnya meleduk dengan dahsyat, Imam baru meninggalkan Bali. Ia menyeberang ke Banyuwangi dan melanjutkan perjalanannya menuju Surabaya dengan menggunakan kereta api. Dari Kota Buaya ini, Samudra melanjutkan perjalanannya, sebelum berakhir di Banten untuk menemui istri dan ketiga anaknya. Selama dalam perjalanan yang cukup panjang itulah, ia memantau perkembangan penyelidikan bom Bali oleh kepolisian melalui internet yang diaksesnya dari warung internet atau warnet.
Dalam perjalanan itu pula, Samudra sempat berkomunikasi dengan salah seorang koleganya. Orang ini memberitahukan adanya tempat aman di Palembang, sebelum berangkat ke luar negeri. Namun, sebelum hal itu terjadi, dia keburu dicokok polisi, di Pelabuhan Merak, Banten, Kamis pekan silam. Sebelum mengebom di Bali, Imam mengaku melakukan perampokan Toko Emas Elita di kawasan Serang, Agustus lalu. Upaya yang dilakukan sungguh jenius, dua buah bom diledakannya di dua tempat berbeda untuk mengalihkan perhatian masyara-kat dan polisi.
Imam mengaku pernah menjalani pendidikan jihad dan kemiliteran di Afganistan selama dua setengah tahun. Di sana ia belajar menggunakan senjata M-16, AK-47, dan memasang ranjau. Kepergian anak pintar ini ke Afganistan terjadi setelah dia lulus dari bangku Madrasah Aliyah Negeri di Serang, Banten—dengan nilai rapor di atas rata-rata. Kepada ibunya kala itu, dia mengaku akan mencari pekerjaan di negeri tersebut. "Saya sampai jual perhiasan saya untuk ongkos kepergiannya," kata Titin Embay, sang ibu.
Ternyata kepergiannya itu tak hanya ke negeri yang pernah dikuasai kaum Taliban itu. Menurut info dari seorang sumber di Badan Intelijen Negara (BIN), sepulang merantau ke Afganistan, Samudra juga menyempatkan diri berkunjung ke Filipina Selatan, sekitar tahun 1995. "Di sana ia tinggal cukup lama, hampir setahun, di kamp Abu Bakar," kata sumber itu. Kamp ini merupakan kamp terbesar yang dimiliki Moro Islamic Liberation Front (MILF). Di sini ia kemudian akrab dengan Al-Haj Murad, panglima Bangsa Moro Islamic Armed Forces (BIAF), sayap militer MILF.
Aziz terkesan dengan keadaan kamp Abu Bakar. Kamp ini, selain terbesar, memang cukup mandiri. Di sana berdiam ribuan warga, dengan persenjataan yang cukup, sekolah dan pesantren yang mengajarkan agama secara puritan, juga ditanamkan ideologi jihad. Sumber ini juga menyatakan, Aziz diduga kuat mendapatkan "roh"-nya sebagai Imam Samudra. Namun kepada Jenderal Da'i Bachtiar, Abdul Aziz mengaku bahwa sosok Jabir—pelaku peledakan bom di Bandung yang akhirnya tewas—merupakan orang yang dianggap sebagai guru yang sepemikiran dengan dia.
Kemampuan "berjihad"-nya kembali diasah setelah dia pulang ke Malaysia dan menetap di sana selama enam setengah tahun. Kepada polisi ia mengaku paling senang tinggal di Malaysia. Di sana ia banyak belajar, senang pengajian, suka main komputer dan internet. Hobinya chatting dan surfing mengenai kisah-kisah orang Islam di seluruh dunia, terutama cerita rakyat Afganistan berjihad. "Dari situlah, ia terinspirasi untuk berjihad, karena menganggap kaum muslim dizalimi di Palestina dan Afganistan," ujar Kapolri. Ia menganggap: biang terorisme dunia tak lain Amerika Serikat dan sekutunya. Di Malaysia, selama enam tahun lebih, ia latih kemampuannya menggunakan senjata api, merangkai bom, serta menggunakan ranjau.
Untuk kehidupan sehari-harinya Imam menjalani kehidupan normal dengan berdagang baju dan usaha kecil. Bahkan, kabarnya, dia sempat menuntut ilmu di Universitas Teknik Malaysia, dan beroleh gelar insinyur teknik kimia. Selain itu, Aziz yang sudah menjadi "Imam" ini lantas mengajar agama dan berbagai macam pelajaran di Pesantren Al-Lukmanul Hakiem, yang kini sudah dibubarkan pemerintah Malaysia. Menurut Malay Mail, tersangka lainnya, yaitu Idris alias Jhoni, juga pernah sekolah di tempat yang sama. Kepala sekolah madrasah tempat Imam Samudra sekolah, Shahril Hat, telah ditahan polisi pada Januari 2002 karena diduga terlibat dengan Kumpulan Mujahidin Malaysia (KMM).
Merasa bekalnya sudah cukup, Imam ingin berjihad ke Indonesia dengan caranya sendiri. Dia pun kembali ke Indonesia pada tahun 2000. Satu bulan pertama, dia melakukan observasi untuk melaksanakan niatnya di Jakarta dan Batam. Hasilnya, sebuah bom meledak di sebuah gereja di Batam. Setelah itu, ia menuju ke Jakarta, dan meledakkan "petasan rentet yang mematikan" itu di berbagai tempat, seperti pusat belanja Atrium, Senen; Gereja HKBP dan Gereja Santa Ana, Duren Sawit. Setelah itu, ia kembali ke Malaysia.
Anehnya, saat itu polisi tak berhasil mencium jejaknya. Bahkan yang kemudian beredar disebut-sebut Imam Samudra sebagai buron nan belut, sulit dijangkau, dan disamakan dengan Hambali, tokoh yang disebut majalah Time—mengutip dokumen Dinas Rahasia Amerika Serikat, CIA—sebagai wakil Usamah bin Ladin di kawasan Asia Tenggara. Namanya pun tenggelam bersamaan dengan munculnya berbagai peristiwa lain yang terjadi di negeri ini.
Dan Imam sungguh percaya diri. Ia begitu yakin tak tersentuh, sampai-sampai untuk menjalankan operasi terorisnya ini, ia memboyong istri dan ketiga anak-anaknya untuk sebuah kegiatan yang disebutnya jihad. Risiko kematian diabaikan demi mati syahid yang imbalannya surga. Itulah yang pernah dilakukan Iqbal, temannya yang membawa bom bunuh diri dalam tas ransel punggung, yang kemudian menghancurkan Paddy's Cafe. "Itulah puncak syahid yang sesungguhnya," kata Abdul Aziz kepada perwira polisi yang memeriksanya.
Wahyu Muryadi, Irfan Budiman, Darmawan Sepriyossa, Edy Budiarso, Tempo News Room
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo