Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ahmad Sahal Mahfudz: "Tidak Ada Terorisme di Indonesia"

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN santri bertopi haji putih dan bersarung asyik menonton pertandingan sepak bola di televisi, suatu hari lewat tengah malam. Duduk di atas selembar tikar yang dibentangkan di atas tanah, mereka berceloteh satu sama lain dengan riang. Tak jauh dari situ, Kiai Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz menatap anak-anak asuhannya di Pondok Pesantren Maslakul Huda dengan mata yang tenang dan awas. Beberapa saat kemudian, dia kembali ke dalam kamarnya.

Menonton televisi bukan kegiatan yang dilarang di Maslakul Huda. Kendati memberlakukan aturan kehidupan yang ketat, pesantren salaf (tradisional) yang terletak Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah ini tidak kehilangan warna moderatnya. Itu semua berkat sentuhan tangan Sahal Mahfudz—seorang kiai sepuh yang memimpin perguruan ini dengan arif dan keluasan pikiran yang bergerak bersama zaman.

Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Sahal adalah tokoh yang berpandangan moderen dan moderat serta amat disegani—termasuk oleh mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid. Dan di pesantren itu, Sahal seperti menemukan dunia yang membuat napas hidupnya selalu menderu: pendidikan. Para santri, walau amat segan kepadanya, diajarkan berani untuk mengajukan pikiran dan usul. "Kasarannya, jika kita punya program memutar layar tancap di pesantren, pasti bisa disetujui Kiai, sejauh bisa dipertanggungjawabkan," kata Hafid, salah satu santrinya.

Toh, Sahal selalu menetapkan bahwa menimba ilmu agama menjadi prioritas di atas segala kegiatan lainnya. Selama bulan Ramadan, kegiatan pengajian di pesantren berjalan maraton, dari lepas subuh hingga pukul 21.00, hanya diselingi salat dan buka puasa. Di luar Ramadan, belajar agama tetap menjadi menu pertama. Dan Sahal selalu memulai harinya dengan memberikan dua hal dasar kepada murid-muridnya dalam proses pendidikan tersebut: menjadi imam mereka dalam salat subuh. Lalu diteruskan dengan mengajar kitab kuning (literatur kuno, biasanya dalam huruf Arab gundul, yang diajarkan di pesantren-pesantren salaf).

Bukan berarti Sahal tidak punya perhatian lain di luar urusan pendidikan. Pondok Maslakul Huda memiliki Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi, yang berdiri sejak lima tahun lalu. Salah satu programnya adalah memberikan kredit tanpa bunga kepada kelompok usaha mikro dengan dana bergulir. "Hal ini untuk mengajar masyarakat membuat 'asuransi' kesehatan dengan tabungan setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya," dia menjelaskan.

Maslakul Huda bukan termasuk pondok pesantren yang sedang di bawah lampu sorot karena sikap "kerasnya", seperti Al-Mukmin Ngruki atau Hidayatullah, Balikpapan. Dengan 2.500 santri yang kini tengah belajar di sana, pesantren yang didirikan sejak 1910 ini punya tradisi moderat dalam sejarahnya: selalu mengambil jarak dengan kelompok-kelompok Islam militan. Sahal berperan besar dalam menjaga agar para santrinya tidak ikut terlibat dalam aktivitas kaum militan. Untuk itu, sang Kiai Sahal selalu merasa perlu menjelaskan aneka perkembangan keadaan terkini kepada para santrinya.

Tapi mengambil jalan moderat bukan berarti lepas dari persoalan. Dari pihak yang ber-"garis keras", pesantren Yi Sahal dituduh terlalu lembek dan tidak menjalankan ajaran Islam secara kafah. Sedangkan dari pihak pemerintah—ketika masih zaman Orde Baru—Pesantren Maslakul tetap tidak lepas dari kecurigaan. "Untuk mengajar ke tempat lain kami harus mendapat surat izin mubalig (SIM) yang dikeluarkan Departemen Agama," katanya. Cenderung menghindari polemik yang tidak jelas, Sahal memilih bersikap diam.

Misalnya, ketika warga NU ribut soal Abdurrahman Wahid yang didesak-desak agar mundur sebagai presiden, Sahal tidak memberikan komentar apa pun. Sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kiai Sahal memilih lebih banyak tutup mulut. "Biasanya beliau hanya mau bicara soal fikih. Baru satu dua bulan ini Yi Sahal bersedia bicara tentang isu-isu terkini," kata Wahrozi, asisten yang biasa mendampinginya.

Di luar kegiatan mengajar, Sahal juga menulis sejumlah buku dan kolom. Dua pekan lalu, menjelang awal Ramadan, dia menerima wartawan TEMPO Ecep Suwardani Yasa di Maslakul Huda untuk sebuah perbincangan—satu dari sedikit wawancara khusus yang pernah diberikannya kepada media massa.

Berikut ini petikannya.


Akhir-akhir ini polisi memeriksa sejumlah pesantren karena dicurigai terlibat dalam kegiatan Islam radikal. Sebetulnya apa pengertian kelompok Islam radikal?

Sejak republik ini ada, muncul beragam kelompok muslim. Meskipun tidak banyak, ada kelompok-kelompok yang menginginkan negara ini menjadi negara Islam dengan dasar Islam. Mereka menolak Pancasila sebagai dasar atau asas negara. Hilangnya Piagam Jakarta makin menambah kekecewaan mereka. Merekalah yang disebut sebagai kelompok Islam radikal atau ekstrem atau tathorruf, dalam bahasa Arab-nya.

Apakah karena mereka ditekan pemerintah Orde Baru sehingga menjadi makin militan atau radikal?

Saya tidak bisa menjawab dengan pasti soal tekanan itu. Yang jelas dalam perkembangan berikutnya kelompok-kelompok itu (yang bercita-cita mendirikan negara Islam) sebagian menjadi kelompok yang radikal, ekstrem, atau militan Islam.

Lalu apakah gerakan DI/TII dianggap garis keras oleh NU?

Pada saat gerakan itu meletus pada 1948 di Madiun, NU tetap menjaga jarak dengan kelompok Islam garis keras.

NU tidak sepaham dengan pembentukan negara agama?

NU punya prinsip tidak mendirikan negara agama, tapi negara nasionalis dengan pemberlakuan syariat Islam. Dan NU tetap konsisten sampai sekarang memegang prinsip itu.

Bagaimana sikap NU terhadap kekuatan Islam radikal?

NU tetap mengambil jarak dengan kelompok radikal. Artinya, NU tidak ikut terlibat meski tidak menentang apalagi memusuhi.

Apakah dengan pendirian seperti itu, Anda juga tidak "diserang" oleh kelompok militan?

Saya kira NU sudah terbiasa memahami perbedaan pendapat hingga yang menyangkut masalah-masalah agama. Misalnya saja dengan Muhammadiyah, kami punya perbedaan khilafiah (soal hubungan antar-umat) sejak awal, tapi itu biasa. Demikian juga perbedaan dengan kelompok Islam radikal. Biarkan saja, NU tetap jalan terus meskipun mereka mengumpat-umpat NU dengan perkataan kufur. NU tetap saja jalan. Defensif, itu ajaran NU.

Apakah sikap kelompok militan itu berpengaruh pada umat NU?

Memang ada juga yang emosional, tapi kami berusaha meyakinkan bahwa permusuhan sesama muslim tidak boleh. Dalam syariat Islam, menteror, menghujat dalam Islam tidak boleh.

Tapi akhirnya di Indonesia muncul berbagai cap atau aliran, ada NU yang moderat, ada yang radikal. Bagaimana bisa ada pengelompokan itu?

Karena adanya kelompok Islam radikal, ekstrem, dan militan, muncul reaksi dari masyarakat Islam lainnya. Mereka menyebut atau memposisikan diri dalam kelompok Islam moderat untuk menunjukkan dirinya "bukan bagian dari mereka yang radikal". Malah akhir-akhir ini muncul kelompok baru yang disebut muslim sekuler dan muslim liberal.

Jadi kemunculan kelompok Islam berbagai aliran itu merupakan reaksi satu terhadap yang lainnya?

Saya sebenarnya tidak terlalu paham dengan kelompok-kelompok itu. Karena di dalam Islam, semuanya sudah masuk. Islam juga mengajarkan pluralisme, tapi ada kelompok Islam liberal. Banyak yang sudah tahu bahwa Islam memberikan kebebasan beragama, namun tidak absolut, tanpa batas.

Apakah adanya kelompok Islam radikal itu menakutkan bagi warga NU? Bagaimana menjelaskan hal ini kepada mereka?

Saya pernah menjelaskan kepada para santri dan warga NU tentang fenomena kelompok-kelompok itu, dengan pendekatan yang menyatakan bahwa Islam adalah assalam, Islam yang damai dan tidak menggunakan kekerasan.

Itu agar warga NU tidak ikut dalam arus radikal?

Ya, agar memahami fenomena itu secara proporsional, tetap 'itidal (lurus) dan moderat, dengan tetap amar makruf nahi mungkar (berbuat kebajikan dan mencegah kemungkaran) dengan lindungan mauidah hasanah (nasihat-nasihat baik) dan bila perlu dengan mujadallah (berdebat). Dengan demikian mereka menyadari adanya pruralitas di kehidupan bangsa yang majemuk ini.

Jadi, sejak semula memang tidak ada unsur militan di dalam NU?

Yang ada saat itu adalah pesantren-pesantren, bahkan sebelum terbentuknya NU (1926). Kelembagaan Islam adalah dari adanya komunitas pesantren itu.

Nah, pesantren yang kemudian tergabung dalam NU adalah yang bisa disebut Islam moderat. Tapi saat itu belum muncul klasifikasi seperti sekarang ini.

Apakah Anda setuju dengan keberadaan kelompok Islam militan dan perjuangan mereka?

Tidak tahu ya, karena saya tidak punya kenalan dengan kelompok Islam radikal itu. Apa maunya mereka, saya tidak tahu. Barangkali yang mereka lakukan adalah nahi mungkarnya saja (memerangi kemungkaran), tapi nahi mungkar tidak harus dilakukan dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak.

Anda setuju menghentikan kemungkaran dengan cara membawa pedang, kelewang?

Iya, tapi jangan lalu merusak tempat. Kesannya kurang pas, karena kita masih punya aparat.

Tapi aparat juga lalai atau malah melindungi bisnis tertentu, misalnya minuman keras dan narkoba?

Masalahnya aparat kurang peduli terhadap emosi umat Islam. Ini bukan saja persoalan halal dan haram, tapi sudah menyangkut persoalan mental bangsa dan bertentangan dengan norma sosial yang memiliki keyakinan agama.

Mengapa untuk memerangi kemungkaran malah menimbulkan kerusakan dan ketakutan?

Ya, mungkin orang tidak puas, lalu muncul keputusasaan. Kalau orang sudah putus asa, ya sudah, apa saja dilakukan. Karena mereka tidak punya harapan.

Lalu bagaimana Anda melihat teror yang marak akhir-akhir ini?

Arti denotasi teror adalah menakut-nakuti, tapi arti konotatifnya bisa bermacam-macam, seperti perang dan lainnya, pokoknya yang menimbulkan ketakutan. Tapi teror belum tentu terorisme. Menurut saya terorisme itu paham.

Di Indonesia sudah ada terorisme?

Saya belum yakin, di Indonesia ada terorisme. Jika ada yang menyatakan bahwa di sini sudah ada terorisme, itu terlalu gegabah dan terburu-buru memvonis.

Mengapa Anda yakin di Indonesia belum ada terorisme?

Saya masih berpikir bahwa adanya tindakan-tindakan teror itu hanya bersifat sporadis dan karena ketidakpuasan dari beberapa kelompok. Tidak mustahil ada motif politik atau kepentingan bisnis di belakangnya.

Muatan politik, maksudnya...

Muatan politik, misalnya untuk menunjukkan bahwa pemimpin yang sekarang itu tidak becus. Karena keamanan menjadi hal yang sulit diwujudkan. Orang merasa makin tidak aman di rumahnya sendiri.

Kalau sampai ada kesimpulan dari masyarakat awam bahwa lebih baik pada masa Orde Baru daripada sekarang, itu tidak bisa disalahkan karena mereka orang awam yang tidak tahu informasi.

Bagaimana pemahaman warga NU tentang teror?

Sebenarnya mereka tidak peduli dengan teror maupun terorisme. Yang mereka peduli, kenapa negara menjadi tidak aman dan kenapa kalau terjadi ledakan tidak diungkapkan dan ditangkap pelakunya. Kenapa sampai terjadi konflik horizontal dan sebagainya.

Bagaimana para kiai NU menjelaskan ke santrinya tentang teror?

Saya memberikan penjelasan bahwa perbuatan teror, terutama sesama muslim, dilarang.

Lalu bagaimana Anda menyikapi penangkapan dan tuduhan terhadap Abu Bakar Ba'asyir?

Saya tidak tahu persis. Terus terang saya tidak bisa berkomentar apakah Ba'asyir terlibat (dalam Jamaah Islamiyah dan terorisme) atau tidak.

Bagaimana menjelaskan soal penangkapan Abu Bakar Ba'asyir?

Tidak ada yang peduli. Itu semua diserahkan kepada aparat. Selama ini belum ada beberan bukti yang menyatakan Ba'asyir teribat. Pemerintah hanya mengatakan ada bukti keterlibatan, apa itu harus disampaikan ke publik, saya sendiri tidak tahu banyak soal ini.

Jika terbukti?

Selama ini polisi hanya menyatakan: telah cukup bukti. Tapi itu tidak cukup meyakinkan.

Jadi, buktinya harus dibuka ke publik?

Saya kira harus. Kalau tidak dan dibiarkan seperti itu, ini berbahaya. Karena pemerintah secara tidak langsung mengakibatkan adu domba antara sesama umat Islam, juga antara umat Islam dan pemerintah.

Tapi tuduhan ke Ba'asyir sudah begitu mengerikan....

Saya bukan membela, saya cuma ingin memposisikan agar kita proporsional. Kalau orang mengatakan Ba'asyir penjahat kemanusiaan, apa Ba'asyir bersikap tidak manusiawi? Kemanusiaan apa yang dijahati Ba'asyir? Enggak ada penjelasan. Tidak segampang itu kita membuat label.

Tentang Anda dan NU. Anda aktif di NU pada 1963, ketika komunisme sedang kuat di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya. Bagaimana tekanan ke NU?

Pada saat itu gerakan komunis sedang pada puncaknya. Terjadi pemaksaan kehendak, perusakan, dan kekerasan terhadap para ulama.

Bagaimana NU menyikapi?

NU sendiri tetap melawan. Tapi perlawanan NU terbingkai dalam perlawanan organisasi saja.

Tapi bukankah sewaktu ada ancaman komunis, umat Islam justru "dimanfaatkan" pemerintah Orde Baru untuk membendungnya?

Perlawanan itu kami lakukan dengan sendirinya. Artinya, perlawanan yang kami lakukan bukan ofensif tapi defensif, yakni lebih menekankan pada internalisasi ajaran agama bahwa komunis adalah ajaran linglung, ingkar, dan antiketuhanan.

Apakah NU pernah menjadi sasaran sikap curiga pemerintah Orde Baru terhadap organisasi-organisasi Islam?

Pada 1980-an NU termasuk yang dicurigai oleh pemerintah. Ketika para mubalig NU mau melakukan dakwah ke luar pesantrennya, harus mempunyai SIM atau surat izin mubalig yang dikeluarkan Departemen Agama. Jika tidak memiliki SIM, jangan harap seorang mubalig bisa berceramah dengan leluasa dan bebas.

Saya sendiri mengalami tekanan itu. Karena saya ketika itu termasuk orang yang tidak mau memiliki SIM.

Anda dianggap sebagai kiai moderat, apa yang melandasi sikap itu?

Saya tidak akan pernah mutlak berdiri sendiri. Orang hidup itu didukung berbagai aspek kehidupan, dan orang tidak bisa keluar dari komunitas. Untuk bisa masuk ke dalam berbagai komunitas, kita jangan antipati terhadap komunitas itu. Kita mengakomodasi perbedaan-perbedaan, sedangkan hal-hal yang tidak sama dengan prinsip kita hindari.

Saya tidak mau terjebak dalam satu perbedaan berlarut-larut untuk hal-hal yang tidak menyangkut prinsip. Intinya, kita ingin menyelesaikan semua perbedaan dan pertentangan dengan dialog. Sepanjang dialognya tidak dibuat-buat dan berdasarkan realitas, bukan dugaan-dugaan.

Kejatuhan Abdurrahman Wahid dari kursi presiden, apakah juga akibat dari perbedaan yang tak terjembatani? Apa hikmahnya?

Kalau hikmahnya banyak. Bahwa kekuasaan itu tidak kekal. Semua kiai mengerti soal itu. Kalau Tuhan menghendaki untuk mencabut mandat, ya, kapan pun harus rela. Itu sudah difirmankan oleh Allah.

Hikmah lain, kita lebih baik berpikir pragmatis, tapi dengan tetap mempunyai strategi ke depan. Berpolitik ya berpolitik, tapi yang sehat. Harus jelas, selama ini tidak jelas apa maunya.

Maksudnya, NU tidak cocok berpolitik?

Kekuasaan itu bukan satu-satunya jalan untuk mencapai tujuan. Kita bisa melakukan banyak hal seperti lewat jalur kultural, bukan struktural. Itu yang dilakukan NU sejak dulu. Jalur kultural itu yang paling cocok untuk NU.

Tapi mengapa Anda sempat puasa bicara waktu itu, dan tidak malah meluruskan kerumitan yang terjadi?

Ya, saya waktu itu memang memilih untuk diam dan justru diamnya saya itu dibaca banyak orang sebagai sebuah sikap. Tapi apa pun kata orang, bagi saya diam itu merupakan sikap politik saya.


Ahmad Sahal Mahfudz:

Tempat/tanggal lahir:
Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937

Pendidikan:
- MI Mathali'ul Falah (1943-1949);
- MTs Mathali'ul Falah (1950-1953);
- Pesantren di Pare, Kediri (1953-1957);
- Pesantren di Sarang, Rembang (1957-1960).

Pekerjaan:
- Pengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, Pati
- Direktur Perguruan Islam Mathali'ul Falah, Pati
- Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Jepara
- Rais Am Syuriah PBNU (1999-2004)
- Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN)
- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (2000-2005)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus