Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Untung Kudama Memainkan Topinya

Imam Samudra dicokok lewat info rekan-rekannya dan pelacakan sinyal telepon. Ada juga faktor keberuntungan. "Ia memang otaknya," kata Kepala Kepolisian RI, Jenderal Da'i Bachtiar.

24 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU asar merangkak perlahan. Empat petugas reserse siaga dalam posisi menyebar. Mata mereka nyalang saat mengamati wajah para penumpang di dalam mobil, truk, dan bus yang antre masuk ke perut feri Nusa Agung, di dermaga satu Pelabuhan Merak, Banten, Kamis pekan lalu. Mereka dari tim antiteror Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Gorries Mere. Mereka lalu bergerak. Inspektur Satu Teja Sukmaja bertugas menyisir seluruh sudut kapal yang meladeni penyeberangan dari Pelabuhan Merak, Banten, ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung itu. Komisaris Martinus Hukom mengecek iring-iringan kendaraan umum dan pribadi yang hendak masuk ke feri. Sementara itu, di sudut jauh, Inspektur Satu Danang bertugas memeriksa sebuah Suzuki Carry Merah yang berisi dua penumpang. Tapi hingga satu setengah jam lebih, buruan mereka, Imam Samudra, tak kunjung tampak batang hidungnya. Tersangka otak peledakan bom Bali pertengahan Oktober lalu ini lebih dikenal oleh para reserse tersebut dengan inisial IS atau kode panggilan "Indosiar". Namun Martinus, Teja, dan Danang—keempatnya, termasuk Gorries, sang komandan, berpakaian sipil—belum patah arang. Tiba-tiba pandangan mata Martinus tertumbuk pada sosok lelaki berkaus putih yang duduk di deretan kursi belakang bus Kurnia. Gerak-geriknya mengundang perhatian. Wajahnya sebentar-sebentar menyembul, dan sesekali menurunkan topi petnya. Ketua Unit Reserse Mobil Polda Metro Jaya ini segera terkesiap. Kecurigaan Martinus semakin bertambah ketika penumpang yang diamatinya itu bergegas menurunkan topi pet untuk menutup wajahnya. Martinus langsung melompat masuk bus. Ia memburu sang penumpang ganjil yang menutupi wajah dengan kedua tangannya. Ia segera mengontak Teja yang masih berada di atas feri untuk membantunya menyergap lelaki di dalam bus tersebut. Teja masuk lewat pintu depan. Martinus bergegas menyusul dari arah belakang. Laju bus jurusan Jakarta-Medan terhenti karena terhalang sebuah truk di depannya. Mereka dengan mudah meloncat masuk. Martinus lantas menepuk punggung buronnya. "Hai, kamu Imam Samudra, ikut saya." Martinus mampu mengenali Imam karena sudah satu setengah tahun lamanya ia memiliki foto buron tersebut. Lelaki kelahiran Serang, Banten, 32 tahun lalu ini masuk daftar pengejaran polisi karena diduga mengotaki serangkaian peledakan pada malam Natal dua tahun lalu di Bandung dan Batam. Tapi Imam yang punya sederet nama alias—Kudama, Hudama, Al-Fatih, Abu Fath, Abu Umar, atau Abdul Aziz—tak kunjung tertangkap. Imam tak sengit melawan. Lelaki yang mengaku pernah latihan paramiliter dan terlibat perang di Afganistan pada tahun 1990 ini mencoba berkelit. Ia membantah bernama Imam. "Saya bukan Imam, tapi Faiz," katanya seraya mengeluarkan kartu tanda penduduk. Martinus tak kehilangan akal. "Ya, sudahlah. Kalau kamu bukan Imam, nanti saya ganti tiket busmu." Teja yang merangsek dari depan turut memepet buruan mereka dan kemudian menggelandangnya turun. Martinus lantas berteriak memanggil Danang agar membantu membawa Imam. Sebab, pada saat bersamaan beberapa penumpang dan warga yang melihat aksi penangkapan sudah menyoraki, "Bakar... bakar." Para anggota reserse segera membawa Imam pergi dengan sebuah mobil yang telah siaga di pelataran dermaga. Kendaraan tim pemburu Imam segera meluncur ke sebuah tempat di Anyer, yang lebih akrab mereka sebut dengan kode "hole in one" alias sebuah hotel di daerah tetirah yang terletak di pinggiran pantai Banten tersebut. Hingga sore itu genap 13 hari tim pemburu berada di kawasan Banten. Mereka bergerak ke daerah di Jawa sebelah barat ini setelah melacak informasi dari keterangan Amrozi, tersangka peledakan bom di Bali, tentang peranan Imam sebagai otak teror—terhebat setelah bencana World Trade Center, New York, 11 September tahun lalu—yang menewaskan 186 orang pada pertengahan Oktober tersebut. Informasi dari Amrozi lantas dicocokkan dengan track-record kelompok Imam. Salah satunya mengarah ke Banten, daerah kelahirannya. "Kami menduga dia (Imam) pasti bergerak tak jauh dari kawasan yang sudah dia pahami betul seluk-beluknya," kata Kepala Polisi Jenderal Da'i Bachtiar kepada TEMPO. Disokong salah satu dokumen polisi yang menyebut: Imam dan kawan-kawannya terlibat perampokan Toko Emas Elita di Serang pada 1999 silam. Jenderal Da'i Bachtiar menuturkan, dalam penggeledahan di rumah Amrozi tempo hari, anak buahnya menemukan potongan emas. Karena belum ketahuan siapa pemiliknya, emas itu dikembalikan ke istri Amrozi. Belakangan, setelah muncul informasi tentang keterlibatan Imam dalam perampokan Toko Elita, polisi baru ngeh. "Rupanya emas itu bagian dari pembayaran untuk Amrozi dari Imam, sehingga kembali disita untuk menjadi barang bukti," kata Jenderal Da'i. Polisi tak cuma melacak kelompok Imam. Berdasarkan informasi dari keluarga Imam yang tinggal di Kampung Lopang Gede, Kecamatan Serang, tersangka ternyata memiliki teman bernama Rauf, yang tinggal di kawasan Sumur Pecung. Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, menceritakan bahwa tim itu mencokok Rauf alias Sam pada Selasa pekan lalu. "Nyanyian" Rauf ini menuntun polisi menangkap Yudi, teman lainnya, keesokan harinya. Dari dua orang ini, polisi mendapat info bahwa Imam akan melarikan diri ke luar negeri dua hari kemudian. Rute pelariannya dengan menumpang bus malam lewat Cilegon terus menyeberang ke Pekanbaru. Polisi tak cuma mengandalkan keterangan Rauf dan Yudi. Mereka juga telah memantau sinyal-sinyal telepon Imam. Polisi juga menyisir beberapa warung internet (warnet) di kawasan Cilegon dan Serang yang diduga menjadi tempat favorit Imam untuk mengakses ke internet dan berhubungan dengan rekan-rekannya. Polisi mendapat tips: Imam gemar berselancar di internet. Alamat rumah kontrakan Imam juga membantu. Rupanya, sebelum tertangkap di Merak, sudah sepuluh hari buron mereka ini menyewa sebuah hunian sederhana di Perumahan Griya Serdang Indah, Kecamatan Keramat Watu, Cilegon. Kepada warga sekitar, Imam memperkenalkan diri sebagai Faiz dari Medan. Ketua tim investigasi bom Bali, Inspektur Jenderal I Made Mangku Pastika, mengaku bahwa Imam telah siap kabur ke luar negeri, terbukti dari paspor baru miliknya dengan nama Faiz Junshar. Kepala Kantor Imigrasi Pekanbaru, Suko Hariadi Basuki, tak mengelak instansinya pernah menerbitkan dokumen perjalanan untuk Imam tapi dengan nama Faiz Junshar. Namun Faiz alias Imam tidak berdomisili di Pekanbaru. Ia menghuni sebuah rumah tipe 45 beserta istrinya, Zakiyah Derajat, dan tiga anak mereka di Cilegon. Tetangga di kanan kiri mereka tidak menduga bahwa keluarga yang baru mengontrak rumah milik Yusron Rp 2,5 juta per tahun itu merupakan tersangka otak peledakan bom Bali. "Dia terlihat sangat sopan dan taat menjalankan agama," tutur Misna, petugas keamanan di kompleks Griya Serdang Indah. Unit penjinak bahan peledak mengamankan lokasi rumah Imam. Beberapa sudut rumah dipotret dengan cermat. Komputer jinjing milik Imam yang ditemukan di rumah kontrakan diperiksa dengan sinar X. Sebelum beraksi di Merak, tim pemburu memang sempat memantau rumah Imam. Tapi lelaki yang acap kali pergi dengan ojek itu, saat diteropong, tak terlihat keluar rumah. Malamnya, polisi kembali ke rumah yang terletak di Blok B12 itu untuk membawa istri dan anak-anak Imam. Salah seorang tetangga mereka, Nyonya Yusuf, ingat suasana genting ketika petugas datang untuk memboyong Zakiyah. Anak-anak Imam cukup tegang. Ketiganya sampai ngompol, namun tak ada persediaan celana bersih. "Sehingga beberapa tetangga datang membawakan celana anak-anak mereka untuk ganti," kata Nyonya Yusuf. Tapi Imam rupanya enggan mendekati keluarganya. Ia lebih memilih ambil langkah seribu untuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi. Toh, akhirnya tersangka "perencana" pengeboman di Bali itu dicokok juga, lewat sebuah pelarian yang agaknya dilakukan secara amatiran. "Selain berkat kerja keras, memang ada juga faktor keberuntungan, sehingga kami bisa menangkap Imam. Dia memang otaknya," kata Jenderal Da'i. Langkah berikutnya tentulah lebih menuntut kerja keras: mengungkap siapa gerangan di belakang Imam Samudra alias Abdul Aziz, juga Amrozi. WM, Widjajanto, Edy Budiyarso, Darmawan S., Istiqomatul Hayati, Wahyu Mulyono (Tempo News Room)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus