Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak sampai satu menit sebelum pesawat Lion Air JT 610 hilang kontak dengan pemandu lalu lintas udara di menara Bandar Udara Soekarno-Hatta, Tangerang, kopilot Harvino sempat mengatakan semua instrumen di kokpit selalu menunjukkan angka yang sama. Ia tidak yakin pesawat telah berada di ketinggian 5.000 kaki. Pesawat itu juga minta diberi ruang sejauh 3.000 kaki untuk menghindari kepadatan lalu lintas udara.
Duduk di kemudi kanan, Senin pekan lalu, Harvino terus berkomunikasi dengan pemandu lalu lintas udara di menara Bandara Soekarno-Hatta. Ia pula yang sebelumnya mengungkapkan pesawat mengalami masalah pada sistem kendali. Informasi itu dia sampaikan tak lebih dari dua menit setelah burung besi Lion Air lepas landas. Selama 12 menit terbang, Harvino setidaknya tiga kali menyebutkan sistem kendali pesawat bermasalah.
Dalam penerbangan itu, Harvino mendampingi kapten Bhavya Suneja asal New Delhi, India. Maskapai penerbangan milik Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Rusdi Kirana itu menugasi keduanya menerbangkan Boeing 737 MAX 8 registrasi PK-LQP ke Pangkalpinang. Namun sistem kendali yang rewel memaksa mereka kembali ke Bandara Soekarno-Hatta. Saat Harvino meminta ruang 3.000 kaki dari pesawat lain itu sebenarnya JT 610 hendak kembali menuju bandara.
Pagi itu, Harvino seharusnya terbang ke Malang, Jawa Timur. Jadwalnya berubah karena harus menggantikan kopilot lain yang belum memiliki lisensi (rating) MAX 8. “Ini pesawat baru, belum semua kopilot punya rating,” kata Yelal F. di rumah Harvino di Tangerang Selatan, Jumat pekan lalu. Bekas penerbang Lion ini adalah kawan Harvino di Sekolah Penerbangan Avindo Angkasa. Selain memegang rating MAX 8, Harvino memiliki lisensi kopilot Boeing 737 Next Generation.
Penerbangan ke Pangkalpinang itu rupanya menjadi tugas terakhir Harvino, 41 tahun. Sebelum berhasil mencapai Cengkareng, pesawat yang baru dipakai dua bulan itu menghunjam laut di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat. Ayah dua anak ini, bersama kapten Suneja, 5 awak kabin, 179 penumpang dewasa, 2 anak, dan 1 bayi menjadi korban kecelakaan Lion Air JT 610. Ini adalah kecelakaan fatal sejak AirAsia QZ8510 jatuh di Selat Karimata empat tahun lalu.
Seorang pejabat yang mendengar rekaman percakapan JT 610 mengatakan Harvino diduga sebagai pemegang komunikasi dengan menara air traffic controller (ATC). Pesawat itu lepas landas dari Soekarno-Hatta pada pukul 06.20 Waktu Indonesia Barat. Satu menit kemudian, Harvino memulai komunikasi dengan pemandu Terminal East ATC. Saat itu, pesawat meminta izin mendaki hingga ketinggian 27 ribu kaki.
Tak lama kemudian, Harvino meminta informasi ketinggian pesawat. Sejak dia menanyakan ketinggian itulah panel instrumen ketinggian dan kecepatan pesawat diduga bermasalah. Kecepatan pesawat tak beraturan. Ketinggian pesawat naik-turun setelah lepas landas. “Saat hendak lepas landas di darat pun penerbang sudah sempat tanya kecepatannya berapa,” ujar pejabat lain yang mengetahui percakapan kopilot dengan menara ATC. Ketika masih di darat, pesawat dipandu petugas menara melalui pandangan visual.
Saat dimintai konfirmasi mengenai isi percakapan, Direktur Utama AirNav Indonesia Novie Riyanto tak mau menanggapi. “Silakan nanti tanya ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi,” kata Novie, Jumat pekan lalu.
Rekaman dengan menara ATC, yang transkrip utuhnya diperoleh Tempo, telah diserahkan AirNav Indonesia kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). “Kami telah mendapatkan rekaman percakapan antara pilot dan petugas menara,” ujar Wakil Ketua KNKT Har-yo Satmiko, Selasa pekan lalu.
Isi rekaman tersebut akan melengkapi data dari perekam data suara (VDR) dan perekam data penerbangan (FDR) di kotak hitam pesawat dengan nomor registrasi PK-LQP itu. KNKT punya waktu maksimal satu tahun untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat.
Rekaman ATC mencatat pesawat hanya sempat mengudara selama 12 menit sebelum hilang kontak. Dalam penerbangan yang singkat itu, kopilot Harvino melaporkan pesawat mengalami masalah pada sistem kendali. Penerbang tidak tahu kecepatan dan ketinggian pesawat. Pesawat juga terbang manual. “JT 610 selalu bertanya berapa airspeed dan ketinggiannya,” kata seorang pejabat di lingkungan penerbangan. “Sama seperti kejadian Minggu malam, pesawat seperti terbang buta.”
Di tengah situasi itulah pesawat meminta posisi holding atau berputar-putar sambil mengatasi masalah pada ketinggian 5.000 kaki. Saat pesawat berusaha menanjak dan bertahan di ketinggian 5.000 kaki, pemandu di Terminal East meminta pilot terus bermanuver sesuai dengan kepadatan trafik lalu lintas udara. “Pemandu di Terminal East seperti tidak tanggap dengan masalah yang dihadapi,” ujar seorang pejabat di Kementerian Perhubungan. “Semestinya, kalau sudah flight control problem, diberi prioritas kendati pilot tidak meminta.”
Saat pesawat terdeteksi anjlok dari ketinggian 5.300 ke 4.500 kaki, barulah pemandu mengarahkan pesawat mengontak pemandu lain untuk menjalani prosedur pendaratan. Saat itu, kopilot kembali mengatakan sistem kontrol penerbangan bermasalah sehingga harus terbang manual. Pesawat langsung mendapat prioritas. Pemandu menangkap sinyal bahaya dan langsung menyiagakan landasan pacu serta jalur menuju bandara. “Pemandu kedatangan langsung mempersilakan pesawat return to base karena melihat situasi pesawat yang sudah payah,” kata pejabat tersebut. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB.
Direktur Utama AirNav Indonesia Novie Riyanto membantah anggapan bahwa petugasnya tidak tanggap. “Tidak seperti itu situasinya,” ujar Novie. Menurut Novie, ATC bekerja melayani banyak pesawat dalam satu waktu. Selama pilot tidak meminta sesuatu, subyektivitas diserahkan ke pilot. “Tapi intinya pesawat itu kami layani dengan baik.”
Dari rekaman ATC, sinyal pesawat hilang pada Senin pukul 06.32 WIB atau Ahad 23.32 waktu universal (UTC). Artinya, pesawat hilang kontak dua menit setelah pemandu di sektor kedatangan, yang khusus mengurus pesawat-pesawat yang hendak mendarat, meminta JT 610 kembali ke bandara. Pemandu kedatangan sempat menunggu 15 menit di depan layar berharap sinyal PK-LQP kembali menyala. Namun harapannya sia-sia.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sedang bersiap menuju Hotel Fairmont, Jakarta, untuk menghadiri sebuah seminar ketika JT 610 hilang kontak. Baru menjelang pukul tujuh, Budi dikabari anak buahnya soal peristiwa itu. “Waktu saya tahu itu pesawat Lion Air, saya langsung ke Soekarno-Hatta,” kata Budi, -Jumat pekan lalu.
Sesampai di bandara, Budi mengumpulkan pejabat yang mengurus penerbangan di kantor Otoritas Bandara Soekarno-Hatta. Pejabat yang hadir antara lain pelaksana tugas Direktur Jenderal Perhubungan Udara, Praminto Hadi; Direktur Kelaik-udaraan Pengoperasian Pesawat Udara (DKUPPU) Avirianto; dan Kepala Otoritas Bandara Soekarno-Hatta Bagus Sanjoyo. Kehadiran Direktur Utama AirNav Indonesia Novie Riyanto dan Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) Muhammad Awaluddin diwakili stafnya karena keduanya masih di Bontang, Kalimantan Timur.
Dalam rapat mendadak ini terjadi perdebatan antara AirNav dan DKUPPU. Sejumlah peserta rapat mengatakan, awalnya, AirNav menjelaskan runutan hilangnya JT 610. AirNav kemudian meminta klarifikasi apakah sudah ada masalah sebelumnya pada pesawat PK-LQP dalam penerbangan Lion Air JT 043 rute Denpasar-Jakarta yang tiba satu malam sebelumnya. “DKUPPU menjawab tidak ada masalah,” ujar peserta rapat ini.
Budi mengakui ada perdebatan itu. Tapi, menurut dia, perdebatan tersebut tidak menimbulkan keributan. “AirNav menyatakan ada masalah ketinggian dan kecepatan pada PK-LQP,” kata Budi. Adapun DKUPPU menganggap masalah JT 610 dengan JT 043 berbeda. “Saya pikir dua-duanya benar.”
Pada Minggu malam, menurut seorang pejabat di lingkungan penerbangan, pesawat PK-LQP dalam penerbangan JT 043 tiba di Jakarta dalam keadaan tidak beres. Pilot dan kopilot JT 043, kapten William Martinus dan Fulki Naufan, melaporkan adanya masalah instrumen penerbangan, yakni kecepatan dan ketinggian pesawat di kokpit tak dapat dipercaya. Tak ayal, pesawat pun terbang bagai dalam kondisi buta.
Menurut pejabat itu, menara kontrol telah memandu JT 043 lima menit sebelum mendarat di Soekarno-Hatta. “Pilot sempat melaporkan ‘PAN PAN’,” kata pejabat ini. ‘PAN PAN’ adalah kode merah satu tingkat di bawah mayday yang masih bisa ditangani penerbang. “Menara kontrol langsung memberi prioritas.” Pilot juga melaporkan mereka terbang secara manual. Dari sejumlah kesaksian, selama penerbangan, penumpang dicekam ketakutan yang mendalam. Pesawat naik-turun sehingga penumpang diminta tetap mengencangkan sabuk keselamatan sepanjang penerbangan.
Kesaksian pejabat dan para penumpang ini klop dengan percakapan para penerbang Lion yang diperoleh Tempo di sebuah grup WhatsApp. Seseorang yang ditengarai sebagai kepala pilot Lion mengungkapkan pengalaman William selama menerbangkan JT 043 pada Minggu malam. Instrumen pada kokpit kapten rusak sehingga ia hanya bisa mengandalkan kokpit kopilot dengan terbang manual. “Kalau salah perhitungan, bisa jatuh pesawatnya,” begitu bunyi petikan itu. Percakapan itu juga menyebutkan William sampai mengalami stres hingga membenturkan kepalanya ke partisi setelah keluar dari kokpit.
Percakapan itu juga menyebutkan pesawat PK-LQP sempat dikandangkan (aircraft on ground) sejak mendarat di Denpasar dari Manado pada Minggu siang. Pesawat menunggu suku cadang yang dikirim dari Jakarta. “Pas dipasang, kata kapten gue, malah merembet rusaknya.”
William belum bisa dihubungi. Sedangkan Naufan, kopilotnya, menolak berkomentar. “Ditunggu saja statement resmi dari perusahaan saya,” kata Naufan lewat pesan instan, Rabu pekan lalu. Naufan tetap enggan menjawab kendati sudah disodori bukti percakapan yang menggunjingkan penerbangan horornya bersama William.
Indikasi kerusakan berulang pada PK-LQP mencuat sejak Senin siang pekan lalu. Setelah Budi Karya Sumadi memimpin rapat di kantor Otoritas Bandara, potret catatan pemeliharaan PK-LQP mulai beredar di kalangan pejabat penerbangan. Di Aircraft Flight and Maintenance Log Lion Air itu, William melaporkan bahwa PK-LQP mengalami altitude disagree shown after take off.
Dari Denpasar, PK-LQP diberi status layak terbang oleh Evan, engineer Lion yang mendapat lisensi untuk merilis kelayakan pesawat dari Kementerian Perhubungan (aircraft maintenance engineer atau AME). AME adalah engineer yang bekerja pada maskapai tapi sekaligus diberi mandat dalam bentuk lisensi untuk merilis layak-tidaknya pesawat terbang. “AME ini seperti dokter. Dia disumpah dengan lisensi itu,” ujar Direktur Umum Lion Air Group Edward Sirait, Jumat pekan lalu, di kantornya di Lion Tower, Jakarta.
Edward mengatakan tidak bisa mengkonfirmasi detail kerusakan yang dilaporkan dalam Aircraft Flight and Main-tenance Log Lion Air yang beredar itu. Log yang asli, menurut dia, sudah diambil KNKT sebagai bahan investigasi.
Edward tidak menutup-nutupi bahwa PK-LQP sempat bermasalah. Kerusakan bahkan terjadi sejak penerbangan Manado-Denpasar, Minggu pagi. Dalam penerbangan itu, PK-LQP terbang dengan nomor JT 775. “Tapi apakah masuk kategori berulang? Ini baru terjadi di Manado,” ujar Edward.
Edward mengakui PK-LQP harus grounded lama saat berada di Denpasar. Berdasarkan laporan engineer, ada suku cadang yang harus diganti, sementara suku cadang itu mesti dikirim dari Jakarta. Mau tak mau, pesawat yang semestinya bertugas terbang ke Jakarta itu mengaso. “Tadinya saya mau naik pesawat itu balik ke Jakarta kalau tidak bermasalah,” ujar Edward.
Menurut dia, engineer Lion sudah membereskan seluruh persoalan mengacu pada minimum equipment list dan aircraft maintenance manual bikinan Boeing. “Sudah diperbaiki, dicek, selesai, terbang lagi. Saya percaya mereka telah bekerja profesional.” kata Edward. “Dan yang merilis terbang itu AME.”
Saat PK-LQP terbang ke Jakarta sebagai JT 043, Evan tetap tinggal di Denpasar. Maskapai penerbangan berlogo singa merah ini sudah mempunyai AME MAX 8 di Jakarta. Engineer yang mengantongi AME license MAX 8 akan ikut terbang bila pesawat belum punya engineer yang mendapat lisensi dari Kementerian Perhubungan.
Hal itu terjadi pada JT 610. Dalam penerbangan nahas itu, Lion mengangkut seorang engineer yang ditempatkan sebagai penumpang. “Namanya Rabagus. Dia ikut terbang,” kata Edward. Rabagus jatuh bersama pesawat yang dia rilis sendiri kelayakan terbangnya, hanya tujuh jam setelah pesawat rewel itu tiba dari Denpasar.
KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, CHITRA PARAMAESTI, MUHAMMAD KURNIANTO (TANGERANG SELATAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo