Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Idariyana dan Rusman Ishaq tergopoh-gopoh meninggalkan kebun kelapa sawit di Desa Air Putih, Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat. Senin siang pekan lalu, pasangan suami-istri itu bergegas pulang setelah sepupu mereka, Samini, membawa kabar yang membuat mereka terperenyak: anak, menantu, dan dua cucu pasangan itu berada dalam daftar penumpang pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat.
Pesawat Boeing 737 MAX 8 dengan rute Jakarta-Pangkalpinang itu mengangkut 189 penumpang. Di antaranya seorang bayi, dua anak, dan tujuh awak kabin. Pesawat lepas landas dari Bandar Udara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, pada Senin pukul 06.20 Waktu Indonesia Barat dan dijadwalkan mendarat di Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, pukul 07.20. Tapi regulator menyatakan pesawat hilang kontak pada pukul 06.32 atau 12 menit setelah terbang.
Idariyana dan Rusman tak percaya. Petani yang sudah sepuluh tahun menggarap tiga hektare sawit dan karet ini yakin anak-cucunya tidak bepergian ke mana-mana. “Mereka ada di rumah Tio,” ujar Idariyana kepada Tempo di Posko Antemortem Kecelakaan Pesawat Lion Air JT 610, Rumah Sakit Bhayangkara Raden Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu pekan lalu.
Tio adalah panggilan sayang Idariyana untuk putri satu-satunya, Amelia Restia. Adapun keluarga besar dan teman-teman biasa menyebutnya Tia. Ia adalah putri ketiga dari lima bersaudara, anak hasil pernikahan Idariyana-Rusman pada 1985. Perempuan 28 tahun ini menikah dengan Wijaya Daniel lima tahun lalu. Pasangan ini dikaruniai dua putra: Wijaya Radikha, 4 tahun, dan Wijaya Rafezha, 1 tahun. Keempat nama itu tercantum dalam daftar manifes pesawat nahas. “Nama Tio kebalik menjadi Restia Amelia. Ada ditulis di TV-TV,” air mata Idariyana mengalir.
Daniel adalah manajer perusahaan yang mendistribusikan gas elpiji “melon” di Bangka. Ia sering bertugas ke Jakarta dan kerap membawa serta istri dan anaknya. Dua pekan sebelum petaka itu, Tio sempat datang menginap bersama kedua anaknya. Kediaman ibu dan anak itu tak terlampau jauh, masih satu desa di Air Putih. Saat itu, Tio sama sekali tidak menceritakan rencananya terbang ke Jakarta.
Hingga akhirnya Samini datang membawa kabar duka. Ia mengatakan nama keponakan beserta keluarganya itu tersebar di grup-grup WhatsApp. “Jam 11-an saya mendapat informasi. Rupanya, Abang belum tahu.” Saat itu juga keluarga besar memutuskan berangkat ke Jakarta, mencari kabar tentang nasib Tio sekeluarga.
Di Bandara Depati Amir, sudah ada posko Lion Air JT 610 yang ramai oleh keluarga penumpang Lion lainnya. Tim dari maskapai berlogo singa itu mengurus keberangkatan keluarga korban, termasuk enam anggota keluarga Idariyana-Rusman, ke Jakarta. Senin malam, sekitar pukul 20.00, mereka terbang dalam “kloter” terakhir keluarga korban yang diberangkatkan dari Pangkalpinang pada hari itu.
Selasa pagi, mereka datang ke Posko Antemortem Rumah Sakit Bhayangkara atau yang dikenal dengan Rumah Sakit Polri. Petugas di posko menanyakan berbagai data tentang korban. Di situ tangis Idariyana pecah, teringat pada si bungsu Rafezha yang baru bisa berjalan sendiri, juga Radikha yang mulai bersekolah di taman kanak-kanak. Nenek empat cucu ini kerap mendongeng untuk mereka.
Idariyana mengenang cucu-cucunya sebagai bocah pintar. Radikha, misalnya, akan berbicara dengan bahasa Bangka ketika bersama kakek-neneknya. Saat bermain dengan ayahnya, ia akan bercakap dalam logat Jakarta. Di posko itu, keluarga Idariyana-Rusman baru tahu bahwa dalam penerbangan tersebut Daniel mengajak serta saudara iparnya, yang turut menjadi korban kecelakaan.
Keluarga Idariyana-Rusman adalah satu dari ratusan keluarga korban kecelakaan Lion Air JT 610. Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mencatat sebanyak 128 orang asal Bangka Belitung turut menjadi korban. Manajemen Lion Air mendata setidaknya ada 276 keluarga mewakili 181 penumpang dan 8 kru. Sebagian keluarga korban berdomisili di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek).
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mengunjungi keluarga korban di Rumah Sakit Polri, Rabu siang pekan lalu. Sorenya, ia dan beberapa keluarga korban mendatangi posko Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan atau Basarnas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, untuk mengecek barang-barang yang ditemukan. Gubernur juga menerjunkan tim untuk membantu petugas di Tanjung Priok. Disiapkan pula tim yang bersiaga menolong keluarga korban di Rumah Sakit Polri. “Sudah makan siang, Bu?” tanya seorang di antaranya kepada Samini sambil menenteng dua renteng tumpukan nasi kotak di tangan kanan dan kiri.
AIR mata Idariyana kembali tumpah pada Kamis petang pekan lalu. Sepucuk layang bersampul cokelat baru saja diterima keluarga. Isinya foto-foto Radikha dan Rafezha, surat keterangan kelahiran dari rumah sakit, serta beberapa dokumen lain yang dikirimkan sanak saudara di Bangka.
Samini bercerita, dokter yang melakukan identifikasi jenazah korban (disaster victim identification/DVI) meminta data atau rekam sidik jari Radikha dan Rafezha. Data itu diperlukan untuk dicocokkan dengan bagian tubuh yang ditemukan tim Basarnas. Keluarga ini mendapat informasi tentang penemuan dua bagian tubuh yang kecil, seukuran bayi dan anak-anak. Salah satunya berupa kaki plus sepatu yang masih terpasang.
Semula, dokter menanyakan pakaian dan sepatu yang dikenakan korban terakhir kali. Tapi keluarga ini tak bisa menjawab. Sebab, Tio sekeluarga berangkat dari kediaman nenek Daniel di Bekasi, Jawa Barat. Mereka pun mencoba menggali informasi dari nenek Daniel yang usianya sudah lebih dari 80 tahun itu. Hasilnya nihil. Sang nenek tak ingat.
Harapannya adalah menelusuri sidik jari tangan dan kaki kedua bocah di rumah sakit tempat mereka dilahirkan. Pada dokumen kelahiran yang dikeluarkan rumah sakit, biasanya memang tertera “cap” tangan dan kaki sang bayi.
Dokumen Rafezha diperoleh dengan mudah dengan meminta salinan ke rumah sakit tempat dia dilahirkan di Pangkalpinang. Namun data si kakak, Radikha, yang lahir di rumah sakit di Muntok, belum bisa didapatkan dengan alasan dokumen telah diserahkan kepada orang tua anak. Kerabat di Bangka sebenarnya telah membongkar lemari dokumen di kediaman Tio. Tapi berkas yang kini sangat diperlukan untuk menentukan jenazah Radikha itu tak ditemukan.
Sampai Kamis sore pekan lalu, Rumah Sakit Polri telah menerima 56 kantong jenazah. Sebanyak 48 kantong telah diperiksa pada Rabu pekan lalu dengan mengambil deoxyribonucleic acid (DNA) dari 238 potongan jenazah. “Hari ini kami periksa lagi enam kantong jenazah,” kata Kepala Rumah Sakit Polri Komisaris Besar Musyafak.
Menurut Direktur DVI Komisaris Besar Linsfa Cancer, tim kesulitan melakukan identifikasi karena minimnya rekam medis seperti potongan gigi dan sidik jari. Maka, “Satu-satunya cara dengan melakukan tes DNA,” ujarnya. Hasilnya baru bisa diketahui 4-8 hari setelah masuk laboratorium.
Posko Antemortem Rumah Sakit Polri ramai oleh keluarga korban hingga Kamis malam pekan lalu. Samini, yang biasanya tampak tabah, tak kuasa membendung air mata saat melihat bocah laki-laki digendong ayahnya. Ia jadi teringat pada si kecil Rafezha, yang akan berulang tahun kedua pada 17 Januari mendatang.
Menurut Samini, Tio sempat bercerita akan mengajak bapak, ibu, dan adiknya jalan-jalan ke Jakarta untuk memeriahkan peringatan milad si bungsu. Idariyana tidak mengetahui rencana itu. “Lagi pula, saya tak berani naik pesawat,” katanya.
Sebelum hari ulang tahun si bungsu tiba, Idariyana akhirnya benar-benar terbang ke Jakarta. Bukan untuk merayakan ulang tahun, ia justru menanti kepastian jenazah anak, menantu, dan kedua cucunya.
RETNO SULISTYOWATI, IMAM HAMDI, M. YUSUF MANURUNG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo