Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Singkawang cap go meh & kemiskinan

Gambaran penduduk cina di singkawang. keaslian tradisi cina masih tetap dipertahankan. setiap tahun mengadakan pesta tradisional cap go meh dengan biaya mahal. desa jamtang tetap digeluti kemiskinan.(sel)

24 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN iringan tambur dan simbal, Liong meliuk-liuk. Mata ular naga itu menyala. Mulutnya menganga. Ia mengejar bola api yang diayun-ayunkan di depannya. Kadang-kadang Liong mengangkat kepala tinggi-tinggi, kemudian menukik dengan cepat. Tiba-tiba kepala Liong berputar ke belakang seperti hendak melahap ekornya sendiri . Tapi sayang, Liong atau ular naga mainan dalam perayaan Cap Go Meh di Singkawang di tahun Macan Februari lalu, hanya muncul sebentar, dan hanya sempat berjingkrak di satu lokasi. Para penonton, yang datang dari berbagai kota termasuk Jakarta dan Surabaya, banyak yang kecewa. Di tahun-tahun lalu, Liong selalu diarak keliling kota Singkawang. Tak jelas mengapa pemerintah daerah setempat tidak mengizinkan ular itu berjoget lebih dari 15 menit. Adakah kekhawatiran akan terjadi kerusuhan seperti dalam film Year of the Dragon yang kini lagi beredar di Indonesia? Dalam film yang diawali adegan pesta Cap Go Meh di pecinan New York, sementara perhatian orang-orang tertuju pada Liong yang lagi beraksi, terjadilah pembunuhan. Bos mafia Cina dibantai di sebuah rumah makan. Pembunuhnya, memanfaatkan keramaian, lolos dengan gampang. Mungkinkah seperti itu terjadi di Singkawang? Entahlah. Yang jelas, Singkawang, kota di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, memang bukan kota yang, seperti banyak kota lain di Indonesia, hanya memiliki sebuah kampung atau daerah yang khusus dihuni Cina. Di kota ini boleh dibilang jumlah warga keturunan Cina sebanyak warga pribumi. Menurut catatan terakhir, dari 72.000 warga Singkawang, hampir 50% adalah keturunan Cina. Maka, kata Moi Siu, 21 tahun, gadis asal daerah itu yang kemudian meneruskan sekolah di Jakarta, "Di Kalimantan Barat, Pontianak itu ibarat Singapura, sedangkan Singkawang adalah Hong Kong." Gadis manis yang sudah lulus SMA ini mudik ke sana pada akhir Februari lalu selain untuk berziarah ke makam kakeknya juga untuk tidak ketinggalan hadir dalam upacara Cap Go Meh. Puncak keramaian dan keorisinilan Cap Go Meh, alias perayaan 15 Chia Gwee 2537, atau 23 Februari 1986, di Indonesia, hanya ada di Singkawang. Di seputar hari itu hotel-hotel di Pontianak dan Singkawang penuh, juga losmen-losmen. Orang-orang Cina di Kalimantan Barat sendiri, ditambah dari pelbagai kota di Indonesia, membanjir ke sana. Sebagian, yang tidak mendapatkan kamar hotel, menginap di tempat kenalan atau kerabatnya. Anakanak muda biasanya tak pusing mencari tempat menginap. Mereka membaringkan diri di pinggir pantai kawasan pesisir itu. Banyak pula yang tidak tidur, dan tetap menggerombol di kelenteng-kelenteng - pusat upacara, yang berlangsung dari malam menjelang tanggal 15 Chia Gwee sampai sore hari keesokannya . Begitu memasuki perbatasan Pontianak dengan Singkawang - dihubungkan sebuah jembatan besar di Sungai Duri - semangat leluhur Cina mulai tercium. Toapekong atau bayangan roh leluhur yang layak disembah - yang dalam bahasa Cina Hakka atau Khek disebut pak kung - mulai bertebaran di daerah kecamatan tersebut. Bayangan roh leluhur itu bisa diwujudkan dalam bentuk sekadar cungkup kotak kecil beratap gaya Cina berwarna merah, sampai berbentuk kelenteng-kelenteng megah di tengah kota. Kelenteng itu sendiri sudah barang tentu tak hanya ada di Singkawang. Di daerah lain banyak juga kelenteng sangat megah yang berada di pinggir kota, di Gunung Batu Semarang, misalnya. Pada Cap Go Meh semuanya saja menjadi pusat ritual . Setiap pak kung, terutama yang menjadi pusat kegiatan, berupa kelenteng memiliki lauya - orang bilang ini dukun atau semacam mediator yang menghubungkan dunia kasar dengan alam halus. Dalam Cap Go Meh di Singkawang, para lauya menjadi pusat perhatian - apalagi kalau mereka sudah dibakar dengan puluhan tegukan arak dan para lauya sudah berlayar antara sadar dan tidak. Pada waktunya, sekali dalam awal tahun Imlek, para lauya dari berbagai pak kung bersembahyang bersama menghormati roh leluhur di kelenteng induk Tri Dharma Bumi Raya Pusat, Singkawang. Pemujaan semacam ini tentu bagian dari ajaran Konghucu alias Konfusianisme. Tapi seiring dengan itu, seperti dikatakan Darmadi alias Tjung Djun Tjong, yang pada usia 46 kini ia sudah enam kali berturut-turut menjadi ketua panitia Cap Go Meh di sini, Konfusianisme tak sendiri. "Pada akhirnya kita berjuang bersama-sama memuja Budha dan atau Kuan Im," kata Tjong. Kegiatan sembahyang ramai-ramai oleh para lauya lalu menjadi semacam karnaval. "Lauya-lauya berkeliling kota membersihkan roh-roh jahat demi keselamatan seluruh warga," kata Tjong pula. "Ini khas Kabupaten Sambas, khususnya Singkawang." Dalam bahasa Khek, kota ini disebut San Kew Yong, yang artinya "mulut hutan di lembah". Di situ ada Budha, ada Konfusianisme, dan kegiatan pengusiran roh itu, yang bersifat klenik Daoisme (baca: Taoisme). Harap jangan kaget, inilah Sam Kao - Mandarinnya San Jiao (baca: San Ciao, Tiga Ajaran), yang mengacu kepada Tri Dharma. Cara para lauya berkeliling kota tidak sembarangan. Masing-masing menaiki sebuah tandu, diusung oleh empat orang dan diiringkan puluhan pengikutnya. Ini bukan tandu biasa. Coba lihat. Yang menjadi tempat duduk dan pegangannya adalah ujung pedang dan golok tradisional Cina - senjata-senjata tajam khas, yang gambarnya bisa dilihat di komik-komik silat Cina atau cerita Sam Kok. Ya, saat itu para lauya memang tidak dalam keadaan biasa. Mereka sedang berlayar di alam persimpangan sadar dan kerasukan. Arak adalah bahan bakarnya. Subuh belum habis gelapnya dan embun masih dingin, ketika mereka menenggak bercawan-cawan arak. Menu pagi bagi para lauya, yang menjadi bagian tak terelakkan dari upacara Cap Go Meh sejak puluhan tahun lalu. Konon, roh para leluhur baru bersedia datang pada saat mereka tenggelam di bawah sadar, berayun-ayun dibuai air api itu. Dan itulah, demikian dipercaya turun-temurun, sumber kekuatan para lauya: roh-roh tersebut. Ada roh Jenderal Hitam alias Jenderal Bu Mien Ciong Kiun, tokoh jujur dan baik hati dari legenda lama. Dan nama-nama tokoh lain - tak peduli apakah tokoh itu benar pernah ada dalam sejarah, atau sekadar muncul dalam dongeng. Tambur, simbal, dan gembrengan sudah siap dibunyikan. Anak-anak sudah pada bangun, atau dibangunkan, dan segera mengenakan baju baru. Yang dewasa tak ketinggalan, mulai berkemas. Di halaman kelenteng Ng Fong Pekong tandu berwarna merah telah disiapkan sejak beberapa hari sebelumnya. Selain tempat duduknya berupa ujung tombak sandaran tandu pun sebilah pedang. Di kiri kanan sandaran adalah panji-panji - serupa milik para prajurit dalam kisah Sam Kok (Tiga Kerajaan, bagian dari sejarah kuno Tiongkok). Begitu ia mulai dengan awal pelayaran kesetengahtidaksadaran karena arak, lauya akan dinaikkan ke tandu. Bukti kehebatannya tidak hanya ditunjukkan dengan kemampuannya duduk dan bersandar di ujung golok dan pedang - yang memang sangat tajam - tapi juga dengan atribut lain. Sebuah jarum baja berukuran besar ia tusukkan menembus pipi. Kemudian acara sembahyang bersama dilakukan bersama para pengikut dan para pengusungnya, yang terdiri para lelaki tua dan muda. Selesai sembahyang lokal ini, mereka bergerak mengusung dan mengiringkan lauya menuju pusat persembahyangan bersama. Di depan rombongan seseorang menjinjing ember berisi air suci. Sebentar-sebentar ia membalikkan diri, memercikkan air itu, dengan lebih dulu mencelupkan seikat dedaunan, ke seputar lauya. "Ini untuk mengusir segala unsur yang dipantangkan lauya," kata si petugas. Pantangan itu misalnya bertemu perempuan yang tengah datang bulan. Sebab, ini akan melenyapkan kesaktian lauya. Entah bagaimana cara memantaunya, jika si pemercik air merasa ada perempuan seperti itu di antara penonton di pinggir jalan, ia langsung memercikkan air ke sang dukun. "Kalau tidak, lauya bisa sial. Golok-golok di tandu akan menusuk dan merobek badannya." Dan rombongan terus berjalan. Dung ... dung ... dung ..., genjreng ... genjreng ... cerr ..., tambur, simbal, dan gendang, membahana di belakangnya. Pagi itu sebenarnya merupakan lanjutan dari acara malam hari sebelumnya. Dan acara malam menjelang tanggal 15 itulah sebenarnya inti upacara seluruhnya. "Lebih tepat ini disebut malam Cap Go Meh," kata Tjong, yang sehari-hari dipanggil Acong, ketua panitia tadi. "Keramaian di malam itu sesuai dengan arti Cap Go Meh yang disebut juga Nguan Siau Coi. Di Daratan Tiongkok, biasanya merupakan tanda awal musim semi. Sebelum orang bekerja untuk setahun penuh berikutnya, pesta malam menjelang tanggal 15 itu diadakan." Menurut Acong pula, belasan tahun lalu pada malam seperti itu, Singkawang ramainya bukan main. Ada permainan tanglong (lampion), arakan liong dan barongsai, dan macam-macam hiburan lain, umpamanya wayang Cina. Pada saat seperti itu, lauya, seperti lazimnya, akan sibuk bukan kepalang - sama seperti yang sekarang terjadi. Cuma, kata Acong, "Dulu, pada malam Cap Go Meh perempuan bebas keluar. Bisa dipegang, dan tak boleh marah." Di Ng Fong Pekong, pusat peribadatan terletak sekitar seribu depa dari gerbang kota, sejak tengah hari 14 Chia Gwee jemaat sudah mulai berdesakan. Bau hio (dupa) dibakar menyebar dibawa angin. Lilin-lilin dinyalakan. Hadirin mulai sembahyang, bergantian, mengayun-ayunkan hio. Kertas-kertas berisi ornamen, sebagian didatangkan dari Hong Kong dan Singapura - yang diibaratkan uang untuk dikirim kepada roh leluhur, mulai dibakar. Asapnya bergulungan menuju ke alam bayangan, diiringi asap hio. "Sudah sepuluh tahun saya bersembahyang di sini," tutur That Kun. Lelaki berusia 36 tahun ini berasal dari Bengkayang, sebuah desa berjarak 80 kilometer dari Singkawang. Ia mengaku selalu mengkhususkan diri datang ke Ng Fong Pekong tiap Cap Go Meh. "Ketika saya mulai usaha, saya minta patka dari lauya di sini," katanya. Dan ia sukses sebagai pemilik kebun lada dan sebuah toko kecil sebelumnya, sebagai pedagang karet, nasibnya jelek. Patka alias jimat berupa lembaran kertas merang ditulisi aksara Cina. Ini dipercayai menjadi penangkal segala unsur roh jahat. Ada jimat kertas lain sebagai penangkal segala penyakit, disebut phu. That Kun selalu minta berkah lewat perantaraan lauya top bernama Lay Mong Mui, 40 tahun. Malam itu, ketika beduk, tambur, dan simbal kuningan yang dimainkan anak-anak dan remaja berdentam dan gemerincing, Lay Yong Mui berkubang dengan arak, mendekati alam roh. Aroma arak dari mulutnya bisa tercium dari jarak dua meter. Saat-saat memuncak matanya setengah terkatup dan hanya tampak putihnya. Sesekali ia menggeram dan menyembur. Saat itulah jemaat satu per satu mendekatinya dan membisikkan sesuatu. Lantas Lay Yong Mui menggoreskan pit (kuas) yang sudah dilumuri tinta ke kertas-kertas jimat. Demikianlah patka dibuat. Para jemaat yang sudah mendapatkan jimat akan mendekati altar lain, setelah sebelumnya membeli seikat hio. Sembahyang. Sehabis diayun-ayunkan hio-hio itu ditancapkan di pedupaan yang ada di dalam dan di pot-pot keramik di luar kelenteng. Lalu membawa patka pulang ke rumah. Ada pula jimat yang menggantungkan dulu patka mereka di dalam kelenteng. Baru keesokan harinya, setelah semalaman menggelantung di kelenteng, diambil untuk dipasang di atas pintu rumah. Seperti yang dilakukan Chen Min, 27 tahun. "Saya minta jimat untuk menjaga warung kopi yang baru saja saya buka," katanya. Bukan cuma kedai kopi, tapi toko-toko besar pun tampaknya membubuhkan patka. Bisa diamati, di Kalimantan Barat, toko-toko Cina rata-rata memasang jimat di atas pintunya. Cap Go Meh memang bukan agama, tapi, eh, urusan "duniawi" pun menjadi fakta penting. Seorang lauya, juga kelenteng tempatnya bercokol, akan menjadi sangat beken jika sering mengeluarkan nomor buntut yang jitu. "Judi 'kan sudah menjadi kebiasaan orang Cina sejak dulu kala," kata Sundoyo. Lelaki 35 tahun yang sudah memeluk Katolik ini ketua RW di Siantan, Pontianak. Ia tidak heran jika banyak warganya yang sering berurusan dengan petugas akibat judi. "Banyak orang Cina percaya kepada 36 roh atau lelembbt yang disebut dewa hwa hwe." Kurang jelas apakah ini memang bagian dari perayaan Cap Go Meh sejak lama, atau suatu perkembangan baru. Kode buntut yang dikeluarkan lauya disebut sinsi. Dari puluhan pekong yang ada di Singkawang, paling tidak 30% menerbitkan sinsi. Panitia Cap Go Meh, Si Acong itu, agak kesal juga pada para jemaat yang berebut kesempatan mendapatkan sinsi, di saat pawai. "Cara pemberian di depan umum seperti itu memalukan. Tahun depan akan saya larang," katanya. "Kalau dilakukan di lingkungan pekong, lain lagi soalnya," tambah Acong. Sekitar pukul 7 pagi beberapa lauya dari berbagai pekong sudah memasuki kota, menuju Kelenteng Tri Dharma Bumi Raya Pusat. Di kelenteng inilah bercokol "sang bupati" - kepala pemerintahan roh leluhur di seluruh kawasan Singkawang. Setiap lauya sedikitnya diiringi 25 pengikut, termasuk di dalamnya empat pemikul tandu dan para penabuh tambur, beduk, dan simbal. Tahun ini 30 dukun berkumpul - lebih sedikit daripada tahun-tahun sebelumnya yang kadang-kadang bisa mencapai 60 orang. Ini akibat desentralisasi perayaan Cap Go Meh yang dilakukan oleh panitia. "Tahun ini, khusus di Kabupaten Sambas, upacara Cap Go Meh dilangsungkan serentak di beberapa tempat, agar pengunjung bisa menyebar, tidak berjubel di satu lokasi," kata Acong, sang ketua panitia. Memang repot. Lihat saja hari itu, penonton dan penggembira sudah berdesakan di seputar Kelenteng Bumi Raya. Beberapa sudut jalan tertutup untuk lalu lintas kendaraan. Sementara itu, arakan dan tetabuhan terus menggebrak suasana. Pukul 10 menjelang tengah hari, orang-orang hanya bisa bergerak setindak demi setindak. Bayangkan, apa jadinya kalau upacara kali ini tidak diselenggarakan secara terpencar-pencar di kota-kota kecamatan seperti Pemangkat, Tebas, Sambas, Jawai, dan Bengkayang. Mungkin seluruh kota akan tenggelam dalam asap hio dan entakan beduk dan simbal, dan jalan-jalan berbau arak. Betapa tidak. Sepanjang jalan menuju pusat persembahyangan bersama para lauya terus saja asyik meneguk air api. Ada yang kemudian benar-benar teler dan satu dua sampai muntah segala. Yang paling jawara, biarpun sudah berbotol-botol arak dan bir dia tenggak, tetap saja tegak dan makin menunjukkan kemahirannya: berdiri, duduk, dan melonjak-lonjak atau tiarap di tandunya. Artinya, sisi tajam golok-golok di situ menjadi tumpuan seluruh berat tubuhnya. Sementara itu pipinya makin banyak saja disusuki jeruji baja. Lebih dari itu, ada pula yang dengan lahap menggeramus seekor anak anjing berkulit hitam mentah-mentah. Tak ada urusan menjijikkan di sini. Yang ada adalah soal kemahiran dan kehebatan atraksi. Makin hebat tingkah polah seorang lauya, ia akan makin dikenal, pekong-nya akan makin banyak dikunjungi jemaat - ini berarti dana yang mengalir masuk pun semakin bertumpuk. Jemaat akan mengulurkan sumbangan dari seribu sampai puluhan ribu, bahkan bisa berwujud uluran tangan mempermegah sebuah pekong dengan biaya jutaan. Di balik semua yang "duniawi" itu, upacara ini sebenarnva mengandung niat mohon selamat. Tingkah polah para lauya dan segala perlengkapannya adalah bagian ritual, sebagai upaya berbaik-baik dengan roh jahat. Tujuannya, dengan berbaik-baik itu, mengusir roh-roh itu dari kota. Dari sekian banyak lauya, ada satu yang dikerubuti para pengunjung, dialah Ciu Sin. Rupanya, di jalanan itu Ciu Sin menyempatkan diri melayani para jemaat yang minta patka dan, tak ketinggalan, sinsi. Suasana hiruk-pikuk, keringat sudah bersimbah membasahi baju orang-orang di situ. Dan, dug . . . dug creng . . ., musik tak berhenti. "Bukan main, setelah 20 tahun tidak melihat Cap Go Meh Singkawang, saya gentar. Seolah-olah menjadi remaja kembali," kata Tjhi Kian Sun, orang Pontianak yang sudah lama merantau ke Jakarta. A Sun, begitu panggilannya, kali ini datang terutama untuk bersembahyang supaya dikaruniai anak laki-laki. Pedagang konpeksi yang sudah berusia 35 tahun ini datang bersama istri dan kedua anak perempuannya. A Sun bukan satu-satunya pengunjung dari Jakarta. Ratusan warga keturunan Cina dari Jakarta, bersama orang-orang seketurunan mereka dari Surabaya, Bandung, Semarang, Manado, sampai Belitung tumpah ke salah satu pusat para huakiao (atau huaqiau) alias Cina perantauan itu. Banyak yang menyayangkan, liong atau arakan naga hanya keluar selama sekitar 15 menit di halaman tempat penyimpanannya, kompleks peristirahatan Pasir Panjang. Pihak keamanan tidak mengizinkan acara arakan liong menyusuri jalanan seperti di tahun 1960-an. Lewat tengah hari, persembahyangan bersama kepada "sang bupati" berangsur bubar. Para lauya, bersama pengikutnya, mudik ke tempatnya bercokol, lewat jalan dan dengan cara yang sama - terus-menerus meneguk arak. Tapi acara di kelenteng besar itu belum habis. Masih ada lelang. "Lelang, ini tradisi khas daerah Sambas," kata Acong, ketua panitia yang sehari-harinya seorang kontraktor ini. Benda yang dilelang seluruhnya berupa barang yang bisa dimakan. Daging babi, tebu, hampir segala macam buah - jeruk, pisang, nanas, pir, apel - dan kue-kue kilin, kue yang berbentuk singa, bikinan lokal atau impor, merupakan kue wajib. Ada pula minuman botol dan kalengan. Tebu dianggap lambang keberuntungan dan kemajuan usaha, antara lain karena bisa tumbuh di mana saja. Maka, dalam lelang, sebatang tebu yang dianggap sudah diberkahi bisa laku ratusan ribu rupiah. "Itu barang semua sudah disembahyangkan, diberkati, dan semua orang tentu berminat. Jika digratiskan, tentu tak cukup, maka dilelang. Hasilnya buat amal," kata Acong pula. Tiap tahun, amal itu antara lain diberikan kepada Sekolah Luar Biasa (SlB) Singkawang, Rumah Sakit Kusta Alferno, rumah jompo, bahkan - jangan kaget - ke masjid. "Selebihnya, selain untuk kas, dipakai pula untuk membantu orang miskin pada saat kematian atau untuk orang gila dan telantar yang tak punya keluarga," kata Acong. Tempat lelang berupa meja berukuran sekitar 3 x 8 meter, di bawah tenda besar bekas parasut. Di depannya sebuah meja lagi, setinggi 2 meter, sebagai penopang kotak kayu yang pada tiga sisinya dibungkus kain merah menyala. Pada keempat tiangnya diikatkan sebatang tebu, ujung-ujung tebu dihubungkan antara satu dan yang lain. Kotak kayu itu berisi segala makanan yang tak berdarah, misalnya jeruk, kue kilin, pir, dan apel. "Di situlah Tuhan yang Mahakuasa turun," kata Acong. Tempatnya sengaja dibuat lebih tinggi dibandingkan meja besar tadi. Sementara itu, di bagian belakang masih ada sebuah meja lain, tempat beberapa ekor babi yang sudah disembelih digeletakkan, dengan kepala masih utuh dan diberi warna merah. Tahun ini 12 ekor babi dijajarkan - ini tergantung kemampuan panitia. Di arena lelang, sebuah jeruk Bali berharga pokok Rp 15 ribu bisa naik menjadi Rp 90 ribu. Dan, wah, ternyata jeruk yang sedikit lebih besar dari kepala manusia itu akhirnya laku Rp 206 ribu. Petugas lelang, yang memekik-mekik dalam bahasa Hakka menggunakan megapon, menyeringai senang. Sebuah kilin jantan laku Rp 460 ribu. Biasanya yang betina lebih mahal, bisa sampai Rp 1.000.000. Padahal, sebuah kue kilin yang dibuat dari ketan dan gula cuma memerlukan modal sekitar Rp 15 ribu. Arena ini adalah tempat ideal bagi dua pihak yang ingin saling menjatuhkan. Yang cuma berani beli barang murah akan malu, karena prestasinya akan tersebar luas ke masyarakat. Maka, setiap pesaing tidak akan meyerah begitu saja supaya barang pilihannya tidak jatuh ke lawan atau saingan usahanya," kata Siak Tjin, 45, seorang pedagang buah. Akhirnya, hari itu panitia pelelang berhasil mengumpulkan uang lebih dari Rp 7 juta. Kilin, makanan berbentuk singa terbuat dari ketan, dianggap lambang keselamatan. Kue ini diyakini membawa berkah di semua bidang kehidupan. Beratnya, seseorang yang membeli kilin pada suatu kali peristiwa lelang, maka tiap tahun ia harus mengulangi membeli. Kalau tidak, sebagai bayarannya, nasib buruk akan menimpanya, konon. * * * Semua keriuhan yang melibatkan ribuan manusia dan jutaan uang tersebut, merupakan sebagian potret sebuah masyarakat yang dibakar semangat masa lalu. Masyarakat keturunan Cina di perantauan. Ketika ikatan-ikatan suku dan keturunan masih dirasa perlu, khususnya untuk menghadapi segala tantangan di tanah perantauan, tradisi leluhur dengan segala daya dipertahankan. Misalnya, selain upacara Cap Go Meh itu, pembuatan rumah abu oleh tiap-tiap keluarga atau marga di Kalimantan Barat dipandang mutlak perlu oleh masyarakat tersebut Imigran Cina di Kalimantan Barat, hampir sepuluh abad lampau - ada yang menyebutkan pada abad ke-4 Masehi. Mereka datang karena emas dan intan. Di masa kolonialis Eropa bercokol, pada zaman pemerintahan Thomas Stanford Raffles, akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-19, dari wilayah itu dikeruk berjuta-juta butir intan kira-kira bernilai US$ 400.100 - ini menurut buku Minerals and Mining in Indonesia (terbitan Departemen Pertambangan RI 1969). Dan orang-orang dari daerah Cina Selatan, terutama dari Kuantung (Guandong) dan Fukian (Fujian), terus saja berdatangan. Mereka mendarat di Monterado, Bengkayang, Sungai Duri, Mempawah, dan Ngabang - daerah seputar Pontianak dan Singkawang. Bahkan pada 1750, Panembahan Mempawah mendatangkan orang-orang keturunan Cina dari Brunei untuk dipekerjakan sebagai buruh tambang di Monterado dan Mandor. Pada 1760, Sultan Sambas Muhammad Saafiuddin I - yang dinobatkan oleh Sultan Brunei, kata data Pusat Sejarah Brunei 1985 - mendatangkan lagi buruh-buruh Cina untuk menggali emas. Seabad kemudian imigran dari utara itu sudah membanjiri beberapa tempat di Kalimantan Barat. Lalu lahirlah kongsi-kongsi, yang mencoba-coba menjadi semacam pemerintahan Cina di kawasan Kerajaan Sambas dan Menpawah. Kongsi yang terkenal dan kuat adalah Thai Kong dan Sam Tho Kiu. Tentu, dalam perkembangannya kemudian, konflik dengan penduduk asli tak terhindarkan . Konflik pertama terjadi menjelang kemerdekaan RI. Waktu itu di Kantor Residen, di Keraton Pontianak, dan di Rumah Sakit Sungai Jawi dikibarkan bendera merah putih. Eh, kelompok keturunan Cina di bawah pimpinan Po An Thui malah mengibarkan bendera Guomindang (baca: Kuomintang), pemerintahan republik yang menguasai sebagian Cina waktu itu. Akibatnya, bentrokan fisik terjadi. Kelompok Cina di pasar-pasar melempari pribumi dengan segala benda keras termasuk botol-botol, dan beberapa orang tewas. Terjadilah pembalasan. Di Siantan, Sungai Kakap, Punggur, dan seputar Pontianak, orang-orang Cina diburu dengan korban tak kurang dari 200 jiwa. Beberapa tokoh Cina, di antaranya Ng Nyap Liang dan Tan Liong Khiat, minta berunding. Diperantarai tentara, konflik itu selesai. Ada pula yang disebut peristiwa Mangkok Merah, 1968. Yaitu ketika orang-orang Dayak, warga asli di situ, membalas dendam akibat perbuatan sebagian keturunan Cina yang tergabung dalam PGRS/Paraku. Akibat Mangkok Merah, sebagian keturunan Cina di beberapa daerah di Kalimantan Barat dikumpulkan di Singkawang. Dari Sambas tercatat 35 ribu jiwa diusir, 50 ribu orang lagi dari Pontianak, Sanggau, Sintang, dan Putusibau. Oleh pemerintah daerah setempat, mereka dimukimkan kembali di pinggiran Singkawang, dan dikenai larangan mudik ke kampung sebelumnya. Di permukiman baru itu mereka memulai lagi pekerjaan sebagai tani dan buruh. Lihatlah misalnya di Jamtang, salah satu desa itu. Jantang berjarak 8 kilometer arah selatan dari Singkawang. Dua deret rumah petak beratap daun nipah, berdinding dan berlantai papan, membujur dari utara ke selatan sepanjang sekitar seratus meter. Di tengahnya, jalan dari tanah merah yang dilapisi pasir, ujungnya membelok ke arah jalan raya Pontianak-Singkawang. Karena letaknya tak jauh dari pantai, penduduk kampung ini juga bekerja sebagai nelayan. Jamtang boleh dikata kampung Cina yang nyaris tak berubah sejak dulu: tetap diwarnai kemiskinan. Sementara itu, kampung-kampung Cina yang lain jadi berkembang. Jamtang artinya tempat membuat garam. "Sampai zaman Jepang, kampung ini tempat orang membuat garam," tutur Lay Thiam Tet, 72, seorang tukang jahit di situ. Terjadinya pengendapan lumpur membuat Jamtang lama-lama makin menjorok ke pantai sampai sepanjang 100 meter. Luas desa ini kini kurang-lebih 60 hektar. Ada kebun kelapa yang tumbuh sampai ke bukit-bukit, ada lada. Sayuran juga tumbuh di sini. Inilah cikal bakal desa yang kemudian bernama administratif Kaliasin, Kecamatan Tujuh Belas, Kabupaten Sambas. Sedikitnya 15 kk petani pribumi tinggal di desa garam ini. Sementara itu, keturunan Cina jauh lebih besar: 115 kk. Golongan yang terakhir inilah penghuni deretan rumah yang memanjang tadi. Di situ, satu-satunya pribumi adalah Samino bin Saru, 44 tahun. Dialah Ketua RT. "Boleh dikatakan, kampung ini tidak berubah sejak awalnya," tutur Samino. Pernyataan ini dibenarkan Thiam Tet, si tukang jahit tadi. Bangunan yang lahir di masa sesudah kemerdekaan adalah kelenteng Hiap Thian Tai Tie dan kantor Babinsa. Dan, tiang-tiang lisrik. Ada pekong tua di situ, konon seusai dengan kampung itu yang entah sudah berapa tahun. Samino, yang menikahi Lo Nyat Ngo, 37, secara Islam dan sudah mendapatkan lima orang anak, berkisah, "Penduduk di sini sebagiannya hanya bersifat meneta sementara." Maksudnya, mereka yang sudah cukup uang atau mendapatkan pekerjaan di tempat lain yang lebih nyaman akan segera angkat kaki. Kecuali beberapa petani pemilik kebun, yang tentu saja tidak mungkin menggendong kebunnya ke mana-mana. "Kalau kita ada uang, buat apa tetap di sini. Cari rezeki di tempat ramai lebih bagus," kata A Bui, seorang warga. Siang hari di lamtang hanya tampak beberapa lelaki. Mereka nelayan, atau peternak yang tengah mencincang batang sagu untuk makanan babi dan itik. Lelaki lain yang bekerja sebagai petani, tukang kayu, buruh sudah meninggalkan rumah sejak pagi dan pulang menjelang senja sehari-hari yang mengisi suasana adalah anak-anak yang bermain seperti tak kenal lelah, perempuan-perempuan yang menggendong anak. Ada kasur yang di jemur di jalanan. Kesan pertama adalah ini desa miskin, yang bisa juga terlihat di Jawa, misalnya. Dan lagu-lagu berbahasa Cina mendayu-dayu dari radio kaset - yang meyakinkan pendatang baru bahwa ini memang kampung Cina, meski rumah dan pemandangan lain di situ sebenarnya kurang mencerminkan warna Cina. Toh, seorang jenderal pernah ke Jamtang. Yakni G.H. Mantik, sewaktu menjadi Pangkowilhan I. Ia mengunjungi Jamtang pada 8 Februari 1978. "Beliau sempat juga ikut sembahyang di kelenteng Hiap Thian Tai Tie, karena waktu itu ada upacara," tutur Thiam Tet, mengenang Pak Jenderal. Jamtang baru mengenal bahasa Indonesia kira-kira di awal 1970-an. Dan itu tak lain adalah jasa Pak RT Samino. "Waktu saya masuk ke sini, pada 1969 dulu, tak satu pun yang bisa berbahasa Indonesia," kata Samino. Ia sendiri bukan tidak berpengalaman menghadapi daerah asing di pedalaman. Sebab, sebagai peserta wajib militer, ia pernah ikut operasi Trikora di Irian Jaya, dan di zaman konfrontasi dengan Malaysia. Dialah yang mengajari penduduk keturunan Cina di Jamtang berbahasa Indonesia, sambil ia sendiri belajar bahasa Khek. Bekas tentara ini sendiri sehari-hari bekerja sebagai petani. Hasilnya, meski bahasa pengantar sehari-hari sebagian besar warganya masih Cina, bau Jamtang tak lagi asing sepenuhnya. Sudah banyak yang belajar baca tulis huruf latin dan mencoba mengenal bangsa, negara, dan tanah air Indonesia. Kebanggaan mereka sebagai keturunan bangsa yang menguasai Negara Pusat (Zhong Gua), lama-lama mulai kendur setelah belasan kali diadakan penyuluhan. Dan, kata Samino, "Saya bersyukur sekarang ini anak-anak usia sekolah sudah masuk SD semua." Adanya SD Inpres di desa lain beberapa kilometer dari Jamtang diharapkan bisa membantu mereka "memasyarakat" dan mengenal tanah air Indonesia. Adapun generasi kakek-nenek murid-murid itu, yang tak mengenal sekolah formal, boleh dikata sama sekali "orang asing". Inilah sisi lain masyarakat Cina di Kalimantan Barat, sisi kemiskinan. Rumah-rumah di sini adalah rumah petak, dengan ukuran lebar sekitar 4 meter dan panjangnya 12 sampai 16 meter. Bisa saja satu kapling dihuni oleh lebih dari satu kepala keluarga, berimpitan. Dapur menyatu dengan tempat makan yang ukurannya mepet, di luar, kandang ayam disusun bersama kandang itik. Tak jauh dari hunian manusia yang bernama rumah petak itu, hanya beberapa meter, biasanya ada kandang babi. Ayunan bayi hampir merata dan seperti tak pernah lepas dari gantungan di ruang tamu atau di tempat jualan jika ruang tamu sudah menjadi warung. Kelahiran bayi memang tak bisa dikontrol di sini. Anak-anak seperti memenuhi semua sudut desa. * * * Di satu segi Jamtang dan Cap Go Meh Singkawang adalah sebuah kontras. Kemeriahan perayaan itu, jutaan uang yang terhambur, sungguh berlawanan dengan warna keprihatinan Jamtang: rumah-rumah petak yang kumuh, napas kemiskinan yang terasa berdenyut. Tapi keduanya pun mencerminkan hal yang sama: mempertahankan tradisi dari tanah leluhur. Adalah sesuatu yang hingga kini bertahan di salah satu cikal bakal desa Cina itu. Yakni kebanggaan akan barang-barang buatan RRC. Dan, betapapun miskinnya seorang Cina di Jamtang, keluarga mereka tetap akan mengusahakan sebuah peti mati yang layak bila kematian datang. Pasaran peti mati di sini, kini sekitar Rp 200.000, terbuat dari sebatang kayu belian utuh yang dilubangi. Kemiskinan itulah dalam satu-dua tahun belakangan ini telah sedikit mengubah Jamtang. Bukan secara fisik, sebab ini tak akan langsung terlihat. Bukan hanya di desa-desa Jawa, tetapi di Jamtang pun sebagian tanah, konon, telah menjadi milik orang kota yang berduit. Para petani WNI itu, ternyata, sebagian hanyalah buruh tani. Tampaknya, masalah sosial-ekonomi ini pelan-pelan akhirnya akan mengubah Jamtang pula. Dan suatu ketika, jejak desa Cina pertama, ketika para imigran dari utara itu mendarat di Kalimantan Barat, tak akan ditemui lagi. Yang tak jelas adakah akan berubah yakni eksklusivisme Dara WNI keturunan Cina itu. Di kampung Cina dari pagi hingga malam, yang terdengar hanyalah lagu-lagu Mandarin atau Konghu. Di sekolah anak-anak boleh berbahasa Indonesia - dengan belepotan. Tapi di rumah, adalah suatu keharusan tak tertulis untuk mempertahankan bahasa leluhur. "Kami akan dicap sombong bila tak menggunakan bahasa asli dari Cina," kata seorang pemilik warung. Dan di warung itu tertulis jelas dengan huruf cetak: "Pakailah Bahasa Indonesia". Maka, tetap saja mereka sulit mengucapkan "r". Masuklah ke sebuah sekolah dasar atau taman kanak-kanak di dekat Jamtang. Anak-anak akan mengucapkan "pasat" dan itulah "pasar" maksudnya. Tapi di atas kertas, soal ini memang tak tampak. Apalagi setelah ada peraturan tentang bukti kewarganegaraan RI (Inpres No. 2 tahun 1980), sulit untuk mengetahui jumlah WNI keturunan Cina di Kalimantan Barat. Menurut sensus 1961, lebih dari 30% warga Kalimantan Barat yang sekitar 1,5 juta keturunan Cina. Sensus 1980 menyatakan jumlah itu meningkat menjadi 2,5 juta - dan tak diketahui berapa yang keturunan Cina. Sementara itu, Cap Go Meh terus berlangsung dengan meriah: bau hio, bunyi tambur dan simbal, arakan para lauya, dan jutaan yang terhambur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus