POLEMIK Kebudayaan yang tercetus pada 1935 memperhadapkan dua kubu. Kubu pertama, mereka yang membela tradisi bangsa, dan menolak nilai-nilai Barat yang masuk. Kubu kedua mereka yang ingin menanamkan nilai-nilai modern yang datang dari Barat untuk memajukan bangsa ini, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan tokoh terpentingnya. Menurut saya, kedua kubu kurang tajam melihat persoalan yang ada. Kekurangtajaman ini antara lain disebabkan tingkat pengetahuan pada saat itu belum secanggih masa sekarang. Kubu pertama yang di dalamnya terdapat tokoh-tokoh seperti Ki Hajar Dewantara dan Dr. Soetomo, melihat bahwa dari individualisme, materialisme, rasionalisme, dan pragmatisme bisa muncul manusia egoistis, yang merupakan serigala terhadap manusia lain. Mereka kemudian, menurut Takdir, "menghendaki kembali kepada kepunyaan yang lama, lari kepada pesantren." Saya kira, Takdir terlalu sederhana menggambarkan pikiranpikiran mereka. Di samping itu, tokoh-tokoh dari kubu pertama ini juga tidak jelas menggambarkan alternatif pilihan mereka dalam menolak aspek negatif dari proses modernisasi model Barat. Orang-orang seperti Ki Hajar Dewantara atau Dr. Soetomo adalah orang-orang yang berpendidikan Barat. Mereka mungkin bukan menolak Barat, melainkan mau memperbaiki nilai-nilai tersebut dengan melakukan seleksi kreatif. Sampai batas-batas tertentu, Taman Siswa, yang merupakan karya Ki Hajar Dewantara, berhasil memproduksikan tokoh-tokoh nasional Indonesia berpikiran mandiri, yang tidak memuja ilmu dari Barat secara membabi buta. Pada kubu kedua, Takdir hampir secara tuntas menolak tradisi, yang dianggapnya mengandung nilai-nilai kuat antiintelektualisme, antimaterialisme, dan antiindividualisme. Katanya, "Sesungguhnya soal bangsa kita adalah kekurangan intelek, kekurangan hidupnya individu, dan kekurangan gairah mengumpulkan harta dunia." Saya kira, banyak orang akan setuju kalau saya menyatakan bahwa saat ini pemikiran Takdir lebih menguasai masyarakat Indonesia (terutama di kota besar) daripada pemikiran lawannya. Orang-orang Indonesia sekarang jauh lebih rasional, lebih individualistis, lebih materialistis, lebih pragmatis, lebih memuja Barat daripada dulu. Sekolah-sekolah model Taman Siswa semakin merana, sementara pendidikan model M.B.A. menjamur dan bergemerlapan. Apakah kita kemudian berhasil membentuk masyarakat yang dinamis, makmur, dan sejahtera seperti di Barat? Saya khawatir jawabannya adalah tidak. Dengan nilai-nilai rasionalisme, individualisme, dan materialisme, yang kita peroleh adalah dominasi kapitalisme dunia atas negara kita dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Di dunia internasional, negara kita merupakan negara yang pembangunannya bergantung pada negara-negara Barat, baik dalam bentuk bantuan utang, bantuan pemasaran, maupun bantuan investasi. Di dalam negeri, kita menghasilkan elite yang kehilangan rasa persaudaraan dengan warga sebangsanya yang ditimpa kemiskinan, dan lebih suka bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing yang memberi keuntungan besar baginya, meski ini berarti memojokkan pengusaha-pengusaha dalam negeri. Apa gerangan yang salah pada pemikiran Takdir? Menurut saya, kesalahan terjadi karena pemikiran Takdir diletakkan dalam konteks yang universal, tidak dalam konteks sebuah sistem. Ambil, misalnya, rasionalisme - sebuah nilai yang sangat dipuja Takdir. Rasionalisme terikat pada sistem tempat dia menggejala. Rasionalisme dalam sistem kapitalis lain dengan sistem sosialis. Bila ada sejumlah dana, maka, dalam sistem kapitalis, adalah rasional bila dana itu diberikan kepada pengusaha karena para pengusahalah yang dapat mengembangkan dana itu menjadi berlipat ganda. Meski untuk itu mereka harus mengeksploitasi penduduk miskin di sekitarnya. Karena, komitmen sistem kapitalisme adalah pertumbuhan modal. Dalam sistem sosialis, adalah rasional bila dana itu diberikan kepada orang-orang miskin, supaya hidup mereka bertambah baik. Karena, komitmen sistem sosialis adalah kesejahteraan bagi semua. Dengan demikian, apa yang rasional bagi sistem yang satu belum tentu rasional bagi sistem lainnya. Ini juga berarti, adalah salah untuk mengira bahwa orang-orang tradisional tidak rasional. Mereka sama rasionalnya dengan orang-orang modern, hanya tujuan atau komitmennya berbeda. Dan, komitmen ini harus ditentukan lebih dulu, sebelum rasio bisa dipekerjakan. Dengan perkataan lain, rasio pada dasarnya mengabdi kepada komitmen, bukan sebaliknya. Hal yang sama dapat kita katakan bagi individualisme dan materialisme. Individualisme dan materialisme dalam sistem kapitalis ditujukan kepada pengumpulan harta sebanyak-banyaknya bagi si individu. Individualisme dan materialisme dalam sistem sosialis ditujukan kepada usaha-usaha individual untuk memberikan jasa yang sebesar-besarnya kepada masyarakat. Rasionalisme, individualisme, dan materialisme bagi saya hanyalah komponen-komponeri dari sebuah sistem, dan kita harus mengetahui dulu dalam sistem apa komponen-komponen ini bekerja sebelum kita mengerti ke mana kita akan dibawa oleh komponen-komponen ini. Bila ada semacam Polemik Kebudayaan lagi sekarang, dengan pengetahuan kita terhadap sistem-sistem kemasyarakatan yang ada, maka masalah yang kita bicarakan bukan lagi modernisme (yang menjelma dalam rasionalisme, individualisme, dan materialisme dari Barat) versus tradisionalisme. Tapi pilihan sistem apa yang terbaik bagi kita untuk mengembangkan diri sebagai bangsa. Karena, memilih rasionalisme, individualisme, dan materialisme dalam sistem kapitalisme dunia hanya akan membuat negara kita didominasi oleh negara-negara Barat, serta membuat orang-orang Indonesia egoistis, serakah, dan tidak sensitif terhadap nasib manusia lain di sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini