MESKIPUN sering dilupakan para penulis buku teks sejarah, Polemik Kebudayaan merupakan salah satu peristiwa penting dalam proses pertumbuhan kita sebagai bangsa. Historical significance polemik itu bukan terutama terletak pada apa yang dikatakan, melainkan pada fakta bahwa apa yang dikatakan itu diperdebatkan secara terbuka dan dengan semangat tinggi. Perdebatan tentang perlu atau tidaknya transformasi kultural dan corak orientasi budaya adalah cerita biasa dari hampir setiap pergerakan nasional yang antikolonial. Perdebatan ini kisah lumrah dari peralihan konsep bangsa (dari lokal dan fragmentaris menjadi nasional dan bersatu) di saat dominasi politik kolonial makin terasa mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk kultural. Dengan memperdebatkannya secara terbuka, bukan saja kegelisahan intelektual ini menjadi masalah publik, tetapi juga suatu landasan dalam pemikiran kultural telah dirintis. Sebab itu, konteks historis dari polemik tersebut harus disadari juga. Semua peserta polemik dengan sadar bertolak dari paradigma yang sama - yaitu "ke-Indonesia-an". Maka, yang menjadi masalah pokok ialah konseptualisasi kesejarahan dari paradigma ini. Mestikah masa lalu yang pra-Indonesia ditransformasikan ke dalam situasi kebudayaan yang "Indonesia"? Ataukah kita harus terlibat dalam mikiran kontinuitas ? Tak dapat dibayangkan polemik seperti itu akan terjadi tanpa menyadari tumbuhnya paradigma, yang akhirnya dirumuskan oleh Sumpah Pemuda (1928). Sesungguhnya perumusan ini adalah suatu pengakuan resmi bahwa dalam konteks kolonial masalah identitas bukan terutama soal penjelajahan ilmiah dan kultural, tetapi suatu putusan dan tekad politik. Dalam hal ini, Takdir Alisjahbana dapat dianggap sebagai "anak kandung" Sumpah Pemuda - ia mencari bentukan kultural yang sesuai bagi suatu tekad politik. Bukankah tekad politik bertolak dari hasrat untuk menciptakan hari depan? Tentu perlu pula diingat bahwa polemik ini terjadi di saat pergerakan politik kemerdekaan berada dalam tekanan keras. Jadi, masuk akal juga jika kecenderungan untuk mengadakan antitesis kultural dengan penguasa kolonial Barat merupakan pemecahan yang paling menarik. Dengan kata lain, sikap serba antiintelektualisme, antimaterialisme, dan antiindividualisme tak terlepas dari kekecewaan politik terhadap kosmopolitanisme Barat, yang memang telah dihirup oleh mereka yang dikecam Takdir. Situasi historis yang merupakan wadah atau konteks dari polemik ini telah selesai: penjajahan politik telah hapus dan integrasi nasional telah tercapai. Kendati demikian, saya kira, peristiwa Polemik Kebudayaan tetap sesuatu yang pantas dikenang, karena masalah yang diperdebatkannya masih cukup relevan. Barangkali, kini, kita telah sampai pada tahap ketika individualisme dan sebagainya itu bukan lagi pilihan yang bersifat eksklusif. Konsensus nasional secara konseptual telah merumuskannya dengan istilah "pembangunan spiritual dan materiil", dan seterusnya. Tetapi, adanya konsensus itu menyebabkan kita sering tergelincir pada retorika yang klise, sehingga corak yang sesungguhnya jadi tak jelas. Mungkin sudah tiba waktunya, kita tak perlu lagi terpaut hanya pada pendekatan historis terhadap kebudayaan, dengan mempersoalkan asal usul dan nilai-nilai luhur nenek moyang, yang sebenarnya bersifat fragmentaris. Konsep kebudayaan lebih dahulu harus diletakkan pada konteks dunia-sosial, tempat orang terlibat dalam proses interaksi dan terkait dalam berbagai jaringan komunikasi. Kebudayaan baru ada ketika dunia sosial, yang menjadi wadahnya, telah hadir. Dan, kebudayaan pula yang menjadikan dunia sosial itu berfungsi. Seandainya dunia sosial itu bercorak nasional - sesuatu yang secara politik telah diwujudkan - maka yang dimaksud dengan "puncak-puncak kebudayaan daerah" tentu saja unsur-unsur yang dapat berperan sebagai jaringan yang komunikatif dalam pergaulan nasional tersebut. Dengan pendekatan ini, unsur kosmopolitanisme yang berkembang dalam kebudayaan nasional, dapat pula "diatur". Maka, bisa diperkirakan bahwa unsur-unsur komunikatif itu akan berkembang sejalan dengan perubahan struktural yang terjadi dalam duma sosial yang nasional. Jelas, yang menjadi masalah bukan lagi "semboyan yang tegas", tetapi strategi yang jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini