SURO BULDOG, ORANG BUANGAN TANAH MERAH Oleh: Pandir Kelana Penerbit: PT Grafitipers, Jakarta, 1986, 136 halaman MANTAN gerilyawan Indonesia yang kemudian jadi penulis ternyata tak sedikit. Tapi yang jadi pengarang sesudah lama berdinas, sampai meraih pangkat mayor jenderal TNI-AD, baru Pandir Kelana (nama samaran Slamet Danusudirdjo) seorang. Dan Suro Buldog adalah novelnya yang kelima. Novel-novel sebelumnya, Kereta Api Terakhir (1981), Kadarwati, Wanita dengan lima nama (1982), Ibu Sinder(1983), lalu Rintihan Burung Kedasih (1984). Di antara novel-novel itu ternyata ada saling kaitan. Maka, tak kelewat aneh jika Pandir Kelana beroleh dua kemajuan ketimbang karya-karyanya terdahulu. Pertama, dalam hal penokohan, baik yang samping maupun tokoh utama, terasa lebih mantap. Kedua, idem dito yang menyangkut pelukisannya. Baik dalam melukiskan suasana batir tokoh utama, pengadeganannya, maupun dalam me ngembangkan jalan cerita. Suro Buldog dimulai waktu Suro Pranoto masih jejaka ketika baru tamat Europe se Ambacht School di Surabaya. Ia, selain murid terpandai, juga jagoan berkelahi. Mulai jadi masinis magang buat trayek Purwokerto - Madiun, ia sudah merintis skandal Tidak kepalang dengan istri majikannya sendiri, si hiperseks Rita d Bruyn. Sehingga "loyo dan lunglai aku dibuatnya." (halaman 4) Lalu dia dipindah ke Tasikmalaya, diangkat jadi montir pembantu, dan kawin dengan Hartini. Gadis itu punya paman, Guru Sudibyo, yang memperkenalkan Suro dengan pemuda Kusno, mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung, yang tak lain adalah Bung Karno sewaktu masih jejaka. Di Tasik, Suro kembali jadi jagoan kaum buruh kereta api. Selaku ketua delegasi buruh, ia terlibat pertengkaran dengan Ir. Ten Kate, yang sinis luarbiasa. Ten Kate dianiaya Suro, sampai cacat. Suro pun dibuanglah ke Digul, selama 20 tahun, justru waktu istrinya hamil. Pengalaman Suro di Boven Digoel, Niuew Guinea (kini: Irian Jaya), dilukiskan Pandir Kelana dengan menarik. Tempat buangan yang tersohor itu baru sekali ini dilukiskan dalam kesusastraan Indonesia dengan hidup: Bagaimana bengisnya para serdadu terhadap para tahanan. Betapa kejamnya siksaan ribuan nyamuk terhada tubuh tahanan yang dihukum telanjang bulat di ruang bawah tanah yang gelap gulita, dan sebagainya. Juga betapa usaha Suro bersama seorang rekan setahanan melarikan diri, dan ternyata gagal, karena dihadang kapal patroli yang dipimpin sendiri oleh komandan KNIL setempat. Tapi Suro bukannya dihukum berat, lagi. Ia justru dipindahkan ke Nusa Kambangan, sementara hukumannya dipotong lima tahun karena Ten Kate ternyata tidak mati maupun cacat seumur hidup - seperti yang ditakutkan Suro semula. Karena kelakuannya selalu baik, hukuman Suro diringankan lagi. Tepat pada hari ulang tahun Ratu Wilhelmina, 31 Agustus 1931, ia pun dilepaskan. Bebas! Tapi mau ke mana? Suro tidak berani kembali ke Tasikmalaya, menghubungi istrinya, yang tentu sudah kawin lagi. Lalu ia keliling Jawa, menemui bekas-bekas tawanan Nusa Kambangan. Dan, akhirnya ia diterima menjadi kuli di pabrik gula Madugondo, Tegal. Di sini ia mendapat banyak pengalaman yang menyenangkan dan juga penderitaan batin akibat kekejaman Jepang. Segalanya pudar, berantakan. Dan Suro berusaha menyusun "kekuatan", sedikit demi sedikit demi menyambut perjuangan memerdekakan Indonesia - nanti. Kendati dalam buku ini tercantum pembicaraan "aku" dengan Bung Karno (muda), perkembangan situasi dunia maupun situasi pergerakan politik kaum nasional kala itu, toh sulit menamakan Suro Buldog suatu novel politik. Memang disebut-sebut, misalnya, Dr. Douwes Dekker, ramalan Dr. Ratulangi, Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Sarikat Islam-Merah, dan lainnya, semua itu tidak menyatu padu dalam tingkah laku maupun pikiran-pikiran tokoh utama, Suro Buldog. Sebab itu, seluruh "suasana politik" di novel ini hanyalah dekor belaka, bukan aspirasi, apalagi obsesi, tokoh utama novel. Toh tampak, waktu menyiapkan novel ini, Pandir Kelana telah melakukan persiapan mendalam. Riset lapangan dan riset kepustakaan jelas dijalaninya. Sebab, selain peristiwa dan nama instansi yang terlibat klop benar dengan kenyataan waktu lampau itu, juga nama-nama desa, tempat-tempat kecil, dan lainnya tak ada yang meleset. SUNGGUHPUN begitu, ada pula "retak-retak" gadingnya. Misalnya penyebutan diri "aku" oleh Mandor Darmin kepada Sinder Suprapto (halaman 106 dan 117) lebih tepat jika dipakai "saya". Sebab, dalam bahasa Jawa tentu Mandor Darmin memakai kata dalem - minimal kata kulo, bukan aku. Namun, yang sangat mengganggu ialah tiga kalimat berikut ini: "Ya, seorang remaja sebaya usia dengan Nak Bargowo waktu itu." (halaman 102), lalu, "Itu tentu sudah dipahami oleh Nak Bargowo." (halaman 120), dan "Tentu Nak Bargowo tahu kampung apa Balokan dekat stasiun Tugu itu." (halaman 124). Sebab, ketiga kalimat itu tidak ada kaitan dengan jalan cerita. Selain itu yang juga mengganggu adalah terjemahan Kitab Suci Quran (halaman 51) dalam bahasa Jawa, tanpa ada catatan bahasa Indonesianya. Tentu ini menyulitkan para pembaca yang non-Jawa. Untung, ada selipan (halaman 103)-yang dapat memuaskan pembaca. Selipan itu berbunyi, "Angkara murka hanya dapat dibasmi lewat perjuangan. Ya, kalau jalan halus diplomasi tidak mempan, angkat senjatalah satu-satunya jalan. Keadilan akan menang selalu, walaupun harus lewat jalan-jalan yang berliku-liku dan serba berat." Satyagraha Hoeri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini