MEMBELA MAHASISWA INDONESIA DI DEPAN PENGADILAN BELANDA Oleh: Mr. J.E.W. Duijs Penerjemah: K.M.L. Tobing Penerbit: Gunung Agung, Jakarta, 1985, XI + 176 halaman PERADILAN, apalagi menyangkut masalah politik, bisa sesat. Tapi, untunglah, itu tak terjadi atas empat tokoh Perhimpunan Indonesia yang diadili di Den Haag, 58 tahun silam. Tanda-tanda tak sesat itu mulai tampak justru sebelum vonis dijatuhkan. Setelah pembelaan dibacakan salah seorang pembela, Mr. J.E.W. Duijs, meminta pada majelis hakim agar, sementara menanti putusan, para terdakwa dibebaskan dari tahanan preventif. Dan, sungguh mengagetkan, setelah berunding sekitar 1 jam 15 menit, akhirnya majelis mengabulkan permintaan pembela. Mengagetkan, sebab ini perkara berat, yakni subversi. Para terdakwa - Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamuntjak, dan Abdul Madjid - dituduh jaksa menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Penahanan mereka selalu diperpanjang dengan alasan dikhawatirkan melarikan diri. Penggeledahan rumah, serta penahanan, mereka mendapat pemberitaan yang luas. Maka, begitu mendengar putusan hakim membebaskan mereka, peserta sidang pun kaget. Ada yang bersorak-sorai. Bahkan, ada yang berteriak, "Ada hakim di Den Haag." Lantas, dengan spontan hadirin menyalami pembela dan terdakwa. Buku ini terdiri dua bagian. Bagian pertama berisi pembelaan Duijs. Sedang yang kedua berisi pembelaan lisan keempat terdakwa. Inilah contoh karya pembela, yang kecuali tajam dari segi yuridis juga berwawasan luas dan mendalam. Duijs memang bukan semata seorang meester in de rechten, tapi juga seorang anggota parlemen (Tweede Kamer) dari partai SDAP (Partai Sosial Demokrat), yang menentang politik kekuasaan Belanda terhadap para tokoh mahasiswa Indonesia itu. Memang, gerakan Perhimpunan Indonesia (PI) kala itu mulai melebarkan pengaruhnya. Pada rapat di akhir 1926, misalnya, telah timbul pikiran untuk mendirikan suatu partai nasionalis yang baru di Indonesia. PI juga melebarkan pengaruhnya secara internasional. PI, sebagai contoh, ikut serta dalam Kongres Internasional Menentang Kolonialisme di Brussel (10-15 Februari 1927). Bahkan, Hatta, misalnya, ditangkap di Den Haag, setelah ia pulang dari berceramah di depan Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan di Swiss (September 1927). Jaksa menuduh empat pemuka mahasiswa Indonesia itu, melalui brosur Indonesia Merdeka yang diterbitkan PI, telah menghasut untuk menentang pemerintah Kerajaan Belanda. Tulisan-tulisan itu dinilai melawan "pemerintahan umum". Duijs menangkisnya dengan memaparkan bahwa lebih banyak koran di Negeri Belanda sendiri yang lebih ekstrem ketimbang tulisan yang dituduhkan itu. Dari segi yuridis, ditunjukkan pula berbagai kelemahan tuduhan jaksa. Misalnya, artikel 131 KUHP yang dipakai jaksa hanyalah berlaku untuk pemerintah Belanda di Eropa - dan tidak untuk Hindia Belanda yang punya KUHP sendiri. Dan dengan sindiran yang taam advokat ini menilai jaksa melupakan artikel 70 Undang-Undang Pidana. Isinya: setelah setahun, delik pers dinyatakan kedaluwarsa, dan tidak dapat dituntut lagi. Dan dengan tangkas pula diperlihatkan bagaimana jaksa telah mencuplik tulisan-tulisan di Indonesia Merdeka itu dengan memisah-misahkan kalimat-kalimat dari konteksnya "semau gue". Hatta sendiri sebenarnya telah mempersiapkan suatu pembelaan, yang kalau dibaca menghabiskan 3 1/2 jam. "Tetapi saya tidak akan menyita lagi waktu Tuan-Tuan untuk mcndengarnya," ujar Hatta pada sidang 9 Maret 1928 itu. Ia lantas menyerahkan naskah pembelaannya itu pada hakim, dan hanya mengucapkan pembelaan ringkas yang kemudian diterbitkan dalam buku ini. Hatta dengan tegas membentangkan sikap PI tentang "kekerasan". PI tidak pernah merencanakan tindakan kekerasan. Tapi analisa hubungan antara keinginan pemerintah Belanda, untuk tetap mempertahankan kekuasaan, dan bangsa Indonesia, yang menghendaki kemerdekaan, telah memaksa PI meyakini satu hal. Yakni: Kemerdekaan hanya dapat diperoleh bangsa Indonesia melalui kekerasan. Dengan keras pula Hatta mengecam alasan perpanjangan tahanan hingga enam bulan sebelum diadili. "Kami bukan pengecut, dan tidak pernah terlintas dalam benak kami untuk melarikan diri," kata Hatta. Sebenarnya selain Duijs, juga tampil selaku pembela, Mobach dan Nona Weber, keduanya juga sarjana hukum. Mobach adalah sahabat Duijs, sedangkan Weber teman Nazir Pamuntjak di kala mahasiswa. Weber sendiri memandang pembelaan kedua rekannya telah cukup, hingga ia sendiri tak bicara. Namun, pembelaan Mobach tidak turut direkam dalam buku ini. Bukan karena pembelaan itu kurang bermutu. Tapi, konteks pembelaan Mobach itu tak bisa dipahami tanpa memuat seluruh dokumen dan surat-surat yang dijadikan bukti oleh jaksa. Dan itu perlu buku tersendiri. Keempat terdakwa, akhirnya, pada sidang 22 Maret 1928, dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Westenik, bekas Gubernur Sumatera Barat, yang kemudian diangkat oleh Menteri Jajahan sebagai penasihat mahasiswa, terpaksa meletakkan jabatannya. "Ia malu, sebab dialah yang mengusahakan sampai kami dibawa ke muka pengadilan," tulis Hatta dalam memoarnya. Saur Hutabarat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini