Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sinyal Bahaya Menjarah Pasir Laut

Pengesahan Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang membuka keran ekspor pasir laut dikritik sejumlah pihak.

31 Mei 2023 | 23.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengesahan Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang membuka keran ekspor pasir laut dikritik banyak kalangan. Para menteri kompak membela kebijakan penambangan pasir laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi atau Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menjelaskan bahwa ekspor pasir laut tidak merusak lingkungan. "Pasir laut itu kita pendalaman alur, karena kalau tidak, alur kita akan makin dangkal. Jadi, untuk kesehatan laut juga," kata Luhut, pada awak media, pada Selasa, 30 Mei 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Luhut menjelaskan, sekarang proyek reklamasi yang membutuhkan banyak pasir laut berada di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Menurut Luhut, Pulau Rempang akan direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri solar panel. Dia menjamin aturan pengerukan pasir laut tak merusak lingkungan.

"Nggak (merusak lingkungan) dong. Semua sekarang karena ada GPS (global positioning system) segala macem," tutur Luhut.

Menurut Luhut, jika pasir laut harus diekspor, manfaatnya lebih besar bagi Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.

Menteri ESDM atau Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif buka suara. Menurut Arifin, PP yang tengah menjadi polemik tidak mengatur ekspor pasir laut, tetapi sedimen.

"Yang dibolehkan itu sedimen. Kan kanal itu banyakan terjadi pendangkalan, karena pengikisan dan segala macam," tutur dia di kawasan Istana Kepresidenan, Jakarta pada Rabu, 31 Mei 2023. 

Untuk menjaga alur pelayaran, kata dia, kanal di titik-titik dasar laut yang mengalami penanda perlu dikeruk. "Sehingga, sedimen yang lebih bagus dilempar keluar daripada ditaro tempat kita juga," kata Arifin.

Selanjutnya: Menteri KKP menilai regulasi tersebut berdampak positif terhadap lingkungan 

Dia berpendapat PP 26/2023 tidak akan menimbulkan masalah. Arifin berdalih bila tidak dilakukan penambangan maka alur pelayaran menjadi terancam. Terutama di kanal yang dekat lintas pelayaran yang masif, seperti di sekitar perairan Batam, Selat Malaka, dan Selat Singapura. 

Arifin optimistis, pasir laut memiliki potensi ekonomi yang besar dan dapat menambah pendapatan negara. Apalagi minat pasir laut dari Singapura cukup tinggi. 

Menteri Kelautan dan Perikanan atau KKP Sakti Wahyu Trenggono mengadakan konferensi pers untuk menjelaskan PP 26/2023 yang ramai diperbincangkan masyarakat. Menurut dia, bisnis penambangan pasir diperlukan untuk memenuhi kebutuhan proyek besar reklamasi di dalam negeri.

"Kebutuhan reklamasi dalam negeri begitu besar. Di Surabaya, IKN, ada permintaan reklamasi. Mereka mau ambil pasir laut dari mana. Nah sekarang boleh, tapi pakai sedimentasi," ujar Trenggono di kantornya, Jakarta Pusat pada Rabu, 31 Mei 2023.

Menurut dia, kebijakan itu tidak merusak ekosistem alam maupun kehidupan masyarakat pesisir. Alih-alih merugikan, dia menilai regulasi tersebut berdampak positif terhadap lingkungan. 

Sebab jika pasir hasil sedimentasi di laut tidak dikeruk, menurut dia pulau-pulau di Tanah Air bisa habis diambil sembarangan untuk memenuhi reklamasi itu. Dengan demikian, kata dia, pemerintah memutuskan meregulasi pemanfaatan pasir laut hasil sedimentasi.

Selanjutnya: Aturan Ekspor Pasir Laut Banjir Kritik

Berbagai pihak, mulai dari mantan pejabat, akademisi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) hingga masyarakat mengkritik PP 26/2023 yang mengatur ekspor pasir laut.

Salah satu pengkritik beleid tersebut adalah Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti lewat media sosial Twitternya @susipudjiastuti. Dia bahkan meminta pemerintah membatalkan PP 26/2023.

"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dg penambangan pasir laut ," cuit Susi pada Ahad lalu, 28 Mei 2023.

Senada dengan Susi, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menyayangkan keputusan Presiden Jokowi. Menurut Fahmy, Jokowi mestinya melanjutkan legacy atau warisan pemerintahan Presiden RI ke-5 Megawati yang melarang ekspor pasir laut sejak 2003 melalui SK Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2023.

"Ironis. Di tengah larangan ekspor bijih nikel, Presiden Jokowi justru mengeluarkan izin ekspor laut melalui PP Nomor 26 Tahun 2023," kata Fahmy melalui keterangan tertulis, Rabu.

Padahal, dia menilai kebijakan Jokowi melarang ekspor bijih nikel terbilang heroik. Fahmy mengatakan ekspor pasir laut bisa menyebabkan kerusakan lingkungan dan ekologi yang lebih luas. 

Hal tersebut bahkan membahayakan rakyat pesisir. Pengerukan pasir secara ugal-ugalan juga akan menenggelamkan pulau-pulau di sekitarnya.

"Keuntungan ekonomi yang diterima Indonesia atas ekspor pasir laut itu tidak setimpal dengan kerusakan lingkungan dan ekologi yang akan terjadi," tutur Fahmy. Karena itu, dia tidak sepakat dengan kebijakan in dan meminta Jokowi membatalkan izin ekspor pasir laut.

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut  Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Parid Ridwanuddin mengatakan PP yang dikeluarkan ingin mengelabui pikiran masyarakat, karena menghindari istilah penambangan pasir. Penambangan pasir menimbulkan anggapan sangat merusak lingkungan.

"Jadi secara politik bahasa, PP ini ingin membuat kita tidak aware bahwa pemerintah Indonesia akan mengobrol tambang pasir laut," ujar Parid pada Tempo.

Dia juga menyoroti perihal peruntukan pasir laut untuk reklamasi daam PP tersebut. Menurut dia, reklamasi sangat berbahaya. Ini sudah terbukti di beberapa tempat bahwa reklamasi menghancurkan ekosistem laut dan merusak kehidupan nelayan. 

"Kami sudah membuat catatan bahwa sampai 2040, ada lebih dari 3,5 juta hektar proyek reklamasi. Angka itu kami dapat dari menganalisis dari 28 dokumen penambangan pasir di Pulau kecil di 28 provinsi.

Selanjutnya: dampak lingkungan seperti abrasi, dialami masyarakat pesisir

Sisanya masih ada provinsi lain yang belum mengesahkan tata ruang laut. "Artinya kalau semua provinsi sudah mengesahkan tata ruang lautnya itu ada lebih luas lagi reklamasi, yakni lebih hampir 4 juta hektare," kata Parid lewat sambungan telepon. 

Dia menjelaskan risiko pertambangan pasir banyak pulau-pulau kecil yang tenggelam. Di Jakarta saja, kata dia, sudah ada tujuh pulau tenggelam karena dulu ada penambangan pasir untuk reklamasi di Yogjakarta. 

Menurut Parid, persoalan ini berimbas pada nelayan yang kehilangan mata pencahariannya hingga terpaksa terjerat utang. "Saya pengalaman di Kodingareng saat terjadi penambangan pasir laut untuk reklamasi di NTT, mereka susah mendapat ikan hingga harus berutang dengan jumlah yang sangat banyak."  

Selain itu, Parid menilai persoalan sanksi administratif dalam beleid tersebut. Menurut dia, hal tersebut berbahaya karena menjadi semacam pemutihan kejahatan lingkungan, khususnya di laut. 

Tak cuma itu, Parid menyebut PP 26/2023 juga bertentangan dengan UU Nomor 27 Tahun 2007 Junto Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang melarang adanya penambangan pasir.

Sementara itu, Dafiq dari Masyaratakat Pesisir Balong, Jepara, Jawa Tengah menyebut PP 26/2023 sebagai momok. Dalam acara konsolidasi virtual yang digelar Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) dia menceritakan, dua tahun setelah isu penambangan pasir laut yang dilakukan sejumlah perusahaan di Balong, wilayahnya menerima dampak lingkungan seperti abrasi.

"Setiap tahunnya itu kita melihat perubahan garis pantai yang luar biasa, untuk tahun ini sampai 5 meter di suatu tempat karena kondisinya di tempat itu tidak ada pemecah gelombang atau bahkan karang," ujar Dafiq pada Rabu.

Dengan begitu, gelombang laut langsung menghantam persawahan dan pantai wisata yang dikelola masyarakat. Dalam kurun waktu satu bulan ini juga terjadi longsor yang menurut dia luar biasa.

"Sehingga ketika dikeluarkannya peraturan ini, ini semakin menjadi persoalan yang luar biasa bagi masyarakat Balong," tutur dia.

 

AMELIA RAHIMA SARI | RIANI SANUSI PUTRI | RIRI RAHAYU | M JULNIS FIRMANSYAH

Pilihan Editor: Menteri KKP Soal Dugaan Kepentingan Singapura di Balik Kebijakan Ekspor Pasir Laut: Kami Bukan Jual Negara

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus