Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tahap-tahap hitam polandia

Laporan tentang hari-hari hitam polandia, oleh wartawan the new york times, john darnton, mendapat hadiah pulitzer 1982.(sel)

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENJA mengambang daiam gerimis yang awet. Sesosok menara jaga yang terbengkalai, terpacak di salah satu ujungjembatan. Mobil meluncur lamban mengelakkan lubang-lubang yang menganga sepanjang jalan. Jarak yang rbentang melewati Oder sungguh buruk, nyaris rusak sama sekali. Baik Jerman Timur di sisi yang satu, maupun Polandia di sisi yang lain, tak berniat memperbaikinya. Dan di bawah jembatan terbentang sungai yang tipis dan kecokelatan seakan terbayang di situ warna darah yang pernah mengalirinya, dari zaman ke zaman, dari suatu masa yang sudah tersimpan di dalam sejarah. Gardu jaga Jerman Timur menunggu di sebelah sana, di atas tanah yang sesungguhnya wilayah Polandia. Segalanya seperti berlangsung menurut perkiraan semula: bau tembakau hitam yang menusuk hidung, mata penjaga yang awas memeriksa paspor di bawah lampu baca, pertanyaan-pertanyaan, dan stempel karet yang dihantamkan di sana-sini, di atas dokumen. Demikian kesaksian John Darnton. Ia, yang bertugas selama tiga tahun sebagai kepala biro The New York Times Mayazine di Warsawa, menuliskan laporan kenang-kenangannya tentang "negeri yang tersedu" itu di majalahnya 22 Agustus lalu. Tahun ini ia beroleh Hadiah Pulitze. Orang-orang Jerman Timur itu tampaknya sucilah tak punya belas kasihan, menurut Darnton. Mereka memeriksa seluruh sudut mobil, dan menggeledah badan -- setelah mengharuskan orang menunggu jam demi jam. Para serdadu itu mengambil setiap potong kertas, membacanya dengan seksama. Perlakuan itu agah aneh. "Bukankah sekarang Februari 1982? Dan Polandia, yang sudah terjerembab ke dalam hukum militer, ingin dianggap sebagai bangsa 'bersahabat' yang dapat diandalkan? " Di pos itu juga tampak beberapa orang Polandia yang baru pulang dari negeri tetangga. Mereka tak berhasil menyembunyikan perasaan khawatir. Membawa kopi, sabun, daging, terbungkus dalam kantung-kantung plastik, mereka meletakkannya begitu sajadi trotoar yang basah. Banyak di antara orang-orang ini menyelundupkan emas, pakaian untuk dijual, dan mata uang zloty yang siap ditukarkan di Jerman Barat. Senjata tampak di mana-mana. Para petugas bergerak tanpa basa-basi, siap melakukan tindakan mendadak. Bayangan ketakutan menyesakkan dada. Dan kemudian "nyaris tak masuk akal," semuanya berlalu. Perbatasan dilewati. Dan di depan terbentang jalan yang lengang, berbelok ke arah hutan. Selebihnya gelap. Setengah mil kemudian, lima lelaki berseragam tentara Polandia muncul lari semak. Bayonet mereka berkilat tertimpa sinar lampu mobil. Sang komandan memerintahkan berhenti mobil, dengan gaya yang garang. Sambil bersandar di atap kendaraan ia menanyakan kebangsaan penumpang dan tujuannya. Kemudian merogoh saku. Mengulurkan sesuatu melalui jendela: selembar uang ratusan franc, kumal dan kusut. "Bila anda berkenan menukar uang ini celengan dollar, saya akan memberi anda kurs yang bagus," katanya. Oder memang sudah tertinggal di belakang. Demikian pula efisiensi, dan pandang curiga. Ini adalah Polandia, negeri yang senantiasa tak terpahami, penuh kesulitan, dengan atau tanpa hukum militer. "Ini adalah juga tiga Polandia yang telah kusaksikan selama berada tiga tahun di sana," tulis John Darnton. Pertamaadalah Polandia-nya Edward Gierek, bekas ketua Partai Komunis, dengan skema pembangunannya yang ambisius, yang kini tak diacuhkan orang. Itulah zaman sinisme, apati dan kepura-puraan, ketika kemakmuran surut di depan mata setiap orang. Kemudian datang Polandia-nya Solidaritas dan Lech Walesa. Cakrawala tiba-tiba terkuak, cahaya tampak membersit. Muncul harapan untuk membangun masyarakat yang lebih manusiawi, lebih produktif, lebih waras, dengan tetap bertahan dalam kubu Soviet. Dan kini tampil Polandia-nya Jenderal Wojciech Jaruzelski, dengan tank dan pamflet bawah tanah, tempat "pengawasan" mengatasi segala-galanya, negeri yang remuk dengan latar penghukuman di mana-mana. Di 'Polandia Baru' ini, ketakutan dan impian berbaur. Dan setiap orang menunggu sesuatu. Ya. AGUSTUS 1979 "Segalanya tampak membingungkan. Pada hari pertama kami di Polandia, aku dan istriku Nina makan malam di Bazyliszek, restoran mewah di bagian kola tua Warsawa. Suasana diwarnai keserasian Wina yang sedang tenggelam. Kandil-kandil kristal, samowar kuningan, menu dengan hidangan babi hutan, dan di sebuah sudut kuartet petik memainkan Mozart." Di luar, di jalanan batu Market Square, duduk seorang wanita muda berambut blonda dengan gitar di tangan. Sebentuk bintang emas tersunting di bawah matanya. Ia menyenandungkan sebuah lagu tua Dave Van Ronk dengan aksen h1ggris yang aneh. Kata-kata lagu itu bergema, terpisah di antara bagian-bagian Mozart yang sedang dimainkan kuartet di dalam restoran: "Baby, you been away too-o-o long." Kota tua ini, sesuai dengan keadaan keuangan si wartawan, merupakan bagian kota yang menurut dia paling indah di seluruh dunia. Di Nuremberg, Cracow, dan Praha, bangunan abad pertengahan melumut dan dicatat menurut usianya yang autentik. Di sini bangunan model itu rapi dan necis, didirikan pada 1950-an, tatkala pemerintah Polandia memutuskan membangun kembali--bata demi bata--tumpukan puing peninggalan zaman pendudukan Nazi. Seni kerajinan tangan, yang sudah mati seabad lampau, dihidupkan kembali. Lukisan-lukisan tua Canaletto dikopi untuk menciptakan kembali lorong-lorong dan koridor yang anggun, cucuran atap, dan pelbagai sentuhan klasik. Belakangan, Darnton berkendaraan melintasi kompleks pembangunan perumahan yang terbentang di pinggiran Warsawa. Bahan bangunan terserak di mana-mana, bagai blok mainan raksasa. Disainnya monoton, penampilannya murahan. Pengalaman itu menyuguhkan perbandingan menarik: sebuah bayangan masa lampau keemasan -- dan kesiasiaan untuk meraihnya kembali--serta gambaran masa depan yang kelabu dan penuh ketidakpastian. Tiga minggu pertama di negeri itu, "aku belum bersua seorang pun komunis tulen." Mencari rumah menghasilkan pengalaman tersendiri. Di kawasan Mokotow yang eksklusif, empat kali si wartawan ternyata bertemu dengan pemilik rumah yang sama. Di Polandia memang tidak dibenarkan memiliki rumah lebih dari sebuah. Maka tokoh tersebut merasa perlu memberi penjelasan. Dia hanya punya sebuah rumah, tentu, sesuai dengan ketentuan. Tapi istrinya memiliki sebuah rumah pula. Demikian juga saudara perempuannya. Sedang rumah keempat dimiliki putranya. Belakangan Darnton tahu, putra itu masih duduk di bangku SD. Dia memperlihatkan sebuah kama di loteng. Jendela kamar itu tak lebih luas dari selembar amplop besar. "Sesuai dengan peraturan," katanya. Dan amar itu sendiri tak lebih dari sebuah udang Batang-batang logam menuat dari langit-langit, begitu rendahnya sehingga mereka harus membungkuk. Dia sebenarnya telah mempersempit ruangan itu demikian rupa. Sewanya, secara resmi, 9.000 zloty (US$300, Rp 200.000) sebulan. Jumlah itu harus diserahkan kepada negara. Karena itu dia meminta si wartawan membayar lima kali lebih mahal, dengan dollar--di bawah tangan. Toh setelah itu masih berani mengajukan usul Untuk mengurangi bagian yang harus disetorkan kepada negara, katanya, si penyewa harus mengaku rumah itu didiami bersama si pemilik. Ketika dia mulai mengltakan akan menempati bagian dapur, kontan Darnton memprotes. Dan sebelum ia pergi, masih terdengar mulutnya merepet: "Goblok. Orang ini tidak tahu ia sedang tinggal di negeri macam apa." SEPTEMBER 1979 Seorang pemandu resmi membawa si wartawan berkeliling. "Ia tampak tak begitu senang akan minatku mengenai nasib 500 ribu Yahudi yang tinggal di Warsawa sebelum pembantaian besar-besaran oleh Nazi erman." Ia memperlihatkan jalan kereta api yang membawa Yahudi-Yahudi itu ke Treblinka untuk dihabisi. Tulang-belulang masih tersimpan di dasar ghetto yang kini sudah berganti dengan apartemen. Monumen yang didirikan untuk para "pahlawan kebangkitan ghetto" itu, dibuat dari granit yang sama dengan yang direncanakan Hitler untuk mengenang likuidasi Yahudi Polandia. Monumen itu mengesankan, dan satu-satunya di Praha yang tidak dihiasi bunga. Pemandu itu kemudian membawanya ke sebuah gereja. Lalu diam-diam ke sebuah lorong, dengan prasasti di dinding yang memperingati para korban perang. Di situ terbaca nama orang, kota, dan tanggal. Akhirnya muncul sepatah nama: Katyn. "Tanggalnya, lihat tanggalnya," bisik pemandu itu. Terbaca di situ: 1940. Tiba-tiba menjadi jelas apa yang ingin dikatakannya. Gereja itu percaya, pembantaian sekitar 15 ribu tahanan bangsa Polandia di Hutan Katyn, dilakukan tatkala wilayah itu berada di tangan Soviet. Jadi perbuatan itu 'karya' Stalin--bukan Hitler, seperti yang dituduhkan Moskow. Dalam makna yang lebih jauh, itulah penanggungan Eropa Timur, tempat Jerman membunuh Yahudi dan Rusia menjagal orang Polandia. Tempat tanah bersimbah darah, dan ribuan orang masuk kubur tanpa catatan sejarah. Hari berikutnya Darnton pergi ke sebuah toko mebel untuk membeli kursi . "Nie ma" ("Tak ada"), ujar seorang penjaga wanita acuh tak acuh, dari balik korannya. Lho! Bukankah etalase itu penuh dengan kursi? "Dekoracja" ("Dekorasi"),' katanya kalem. Kemudian kudengar ia mengomel, lebih kepada dirinya sendiri: "Goblok." Senang juga rupanya orang di sini bilang 'goblok'. NOVEMBER 1979 Kota Czechowice-Dziedzice terletak di wilayah tambang Silesia. Alam menghidangkan lanskap yang datar, penuh cerobong asap menjelaga, dengan bangunan bata merah yang kotor. Di sana sini muncul rumpun pinus, jarang dan merana. Ledakan pernah terjadi di sebuah tambang kota ini. Dua orang tewas. Dua puluh lainnya terperangkap dalam terowongan 600 kaki di bawah tanah, dengan nyala gas methan yang terus mengamuk. Itulah kecelakaan ketiga dalam bulan terakhir. Dan dari seluruhnya, 43 orang kehilangan nyawa. Bencana itu bertepatan dengan diterapkannya sistem brigade baru yang mengharuskan tambang bekerja 24 jam dan tujuh hari dalam seminggu. Pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan, dan para penambang ditekan untuk lebih banyak menggali batubara. Janji berjumpa dengan para pejabat tambang dibuat di kantor Kementerian Pertambangan di Katowice, 32 mil dari lokasi. Mereka melepas si wartawan dengan jabatan tangan. Dan ketika ia tiba di Czechowice Dzicdzice, dengan segera tercium sesuatu yang tidak beres. Para pejabat dipanggil entah ke mana. Gerbang terkunci. Dua hari Darnton harus mundar-mandir. Akhirnya seorang sekretaris Partai setempat kehilangan kesabaran, dan menyarankannya meninggalkan kota. Tapi mobilnya diikuti sebuah Polonez, model kesukaan UB alias polisi rahasia. Darnton dan penerjemahnya menemukan sebuah bar kecil bernama Barborka--dari St. Barbara, santo pelindung para penambang bagi orang Katolik. Mereka memasuki ruangan berasap dengan bau bir dan keringat. Gumam percakapan tiba-tiba berhenti. Berpasang-pasang mata, dengan pandang permusuhan, diarahkan langsung pada si wartawan--seorang asing berdasi. Pandangan itu tampak lebih tajam dari balik debu tambang yang melingkari bola mata mereka. Tak seorang pun bergerak melapangkan jalan menuju bar. SETELAH dua tenggak bir, penerjemah mengatakan kepada orang di meja terlekat bahwa ia sedang mengantar wartawan Amerika yang mendengar kecelakaan di tambang, dan kini datang untuk meninjau keadaan. Seseorang tiba-tiba bangkit dan maju, wajahnya hanya tiga inci dari muka Darnton. "Pertama-tama," k tanya, "anda harus tahu semua koran di negeri ini brengsek--brengsek dan bohong." "Mereka tak berani menceritakan kebenaran. Dan mereka tak berani menghadapi kami," ujar seorang kawannya menambahkan. "Dan, demi Kristus, harusnya 'kan pemerintah melakukan sesuatu, (lu segera. Atau kami melakukannya sendiri. Diancuk!" Setelah itu, satu jam berikutnya penuh dengan keluhan tiada putus-putus, ancaman dan kutukan. Sesosok bayangan tampak menyelinap dan mengambil tempat duduk. Kemarahan itu demikian besar dan menyala-nyala. Padahal inilah para buruh tambang, kelompok elite tcnaga kerja Polandia, yang dimanjakan dengan toko d ing spesial dan boleh memiliki bakul garang yang tak disediakan untuk pekerja lain. Inilah orang-orang yang menolak bergabung dengan pergolakan antipemerintah 1956, 1970, dan 1976. Mereka mengangkat toast untuk para kemanakan di Chicago. Dan ketika Darnton berlalu, ia melihat mobil Polonez tadi di jalanan. Tanpa penumpang. Esoknya ia kembali ke tambang. Dan sekretaris Partai itu menuduhnya membuat mabuk kaum buruhnya untuk mendapat keterangan yang dibutuhkan seorang spion. Lalu bagaimana dengan kebakaran di dalam tambang, yang ingin ditinjau? "Itu bukan urusan anda," katanya. "Dan jangan khawatir. Segalanya di sini berada di bawah kontrol. Dapat dikuasai." Tiga hari kemudian, mereka mengangkat dari tambang itu jasad-jasad yang sudah menjadi mayat. AGUSTUS 1980 Ketika 'revolusi' itu bangkit, ia ternyata lebih dalam dan berdisiplin ketimbang yang dibayangkan. Di galangdn kapal Lenin di Gdansk, wajah para pemogok berseri-seri dan serius. Mereka juga, seperti tiba-tiba, berhati lembut. Para pekerja duduk santai di rumput. Mereka mendengarkan para pemimpin melalui pengeras suara. Menyetel radio transistor, mencari pemancar BBC, Suara A merika, dan Radio Eropa Merdeka. Mereka takjub akan cepatnya peredaran berita di dunia bebas. Pemilihan yang baru saja mereka lakukan sudah bisa didengar di radio "pada jam yang sama". Gedung itu penuh utusan pabrik lain yang menyertai pemogokan. Sebuah patung Lenin ukuran manusia biasa tampak memandang kejauhan. Diluar dugaan, si wartawan dipersilakan duduk di panggung darurat yang didirikan komite pemogokan. PARA utusan berjajar di meja panjang, bagai dalam jamuan resmi. Mereka adalah pekerja dok, pembuat kapal, masinis, buruh perakit, sopir bis. Beberapa menuliskan nama pabrik mereka pada plakat, bagai dalam konvensi Rotary Club. Lebih banyak pemogokan diumumlan. Dari suatu tempat terdengar seruan: "The New York Times!" Lalu pecah sorak sorai. Seraya setiap orang menantikan kemungkinan campur tangan angkatan bersenjata, pers asing tampaknya dirasakan memberi semacam perlindungan. Paling tidak, "dunia akan membaca Polandia." Makanan diantarkan ke gerbang terkunci oleh para penduduk yang menaruh simpati. Di udara, sebuah pesawat terbang berputar-putar menaburkan pamflet yang mengumumkan bahwa "pemogokan sudah berakhir". Lech Walesa sibuk ke sana ke mari, berunding, menurunkan perintah, mengambil mikrofon unuk menenangkan para pekerja, kadang dengan cara jenaka. Sebulan lalu ia hanya seorang tak dikenal, seorang aktivis yang tak punya pekerjaan tetap dari Serikat Buruh Merdeka Pantai Baltic. Darnton berbicara dengan Anna Walntynowicz, operator mesin derek berusia 50 tahun, yang pemecatannya urut menyalakan pemogokan. Wanita itu bicara tentang penderitaan 1970, tatkala kaum buruh ditembaki. Dan ia mengalami kesulitn hanya karena membeli bunga untuk memperingati rekan-rekannya. "Kali ini keadaannya lain," katanya. Tak ada lagi mars sepanjang jalan, berdiri dekat mesin pabrik dan menunggu. Pandangan politiknya? "Saya seorang demokrat," katanya. "Tapi di atas segalanya, saya percaya pada Tuhan." 26 AGUSTUS 1980 Pemogokan masih berlangsung. Stefan Kardinal Wyszynski, Primat Polandia, mempersembahkan misa yang disiarkan melalui jaringan televisi pemerintah. Sekelompok buruh Galangan Kapal Gdynia dikumpulkan di sebuah kamar, rupanya terpukau mendengarkan setiap patah kata sang kardinal. Dia memang penguasa spiritual mereka, satu-satunya pembesar yang mereka hormati selama 30 tahun. (Kardinal Wyszynski berpulang Mei 1981). Ia menyerukan perdamaian, ketenangan, akal sehat, dan kehormatan. Ia memang mengkritik pemerintah, tapi juga mengingat dulu bahwa pemogokan dapat menimbulkan ancaman kepada bangsa. Ia menghimbau para pekerja untuk bersabar dan menangguhkan tuntutan mereka. Ia mengingatkan pendengarnya akan Polandia yang terpecah-belah. "Marilah kita mengenangkan kembali kesulitan yang kita tanggungkan untuk memperoleh kemerdekaan kita, setelah 125 tahun," katanya. Kata-katanya dihiasi kiasall keagamaan, dengan kebi jaksanaan seorang yang punya pcngalaman menembus para penguasa komunis. Dalam situasi seperti itu pidato tersebut menjadi demikian penting. Gereja telah menganjurkan para pekerja untuk menghentikan aksi. Efek apayang akan terjadi? Kamar itu dengan segera tenggelam dalam kebisuan. Seorang pemimpin pemogokan maju ke depan--dan mematikan pesawat televisi. "Kawankawan," katanya. "Seperti yang kita dengarkan, Sang Primat sepenuhnya mendukung kita." Terdengar tepuk tangan dan soraksorai. Saat itulah bisa dipahami kebenaran fundamental Gereja Roma Katolik di Polandia. Ia mendapat tempat di hati rakyat, tersimpan dalam relung legenda dan nasionalisme. Bila sabdanya bertentangan dengan citra mereka, ia bukannya diabaikan. Melainkan 'disdlin' secara ajaib. Lima hari kemudian, lahirlah Solidaritas. OKTOBER 1980 Negeri ini sedang terjaga -- bagai tiba-tiba diguncang gelombang. Kelompok-kelompok baru bermunculan. Liberal, reformis, bahkan radikal. Merrka mengambil alih lembaga-lembaga misalnya perkumpulan wartawan yang selama ini menjadi alat kontrol Partai. Tapi semuanya berlangsung dengan damai, bertahap, bahkan demokratis. Mungkin seperti yang disebut pembangkang Jacek Kuron yang brilyan dengan kata-kata "revolusi yang membatasi dirinya sendiri." Tujuan yang hendak dicapai tampaknya keberhasilan mengubah pemerintahan tanpa mencampakkan para penguasanya. Mengubah Polandia tanpa merusakkan keseimbangan geopolitik, yang mengizinkan Rusia campu tangan. Pekerjaan yang sungguh pelik. Surat-surat kabar secara tidak masuk akal terus mencetak berita. Darnton sedang minum teh di rumah seorang teman, bekas duta besar Polandia, ketika tiba-tiba seorang aktivis politik muncul. Dengan napas sesak ia mengeluarkan selembar dokumen yang diketik dari balik bajunya. "Sudahkah anda dengar tuntutan terakhir?", katanya kepada sang bekas dubes. Tuan rumah menjawab ramah: "Sudah. Terima kasih. Sudah dimuat koran-koran hari ini." Bahkan aparat sekuriti waktu itu tampaknya sedikit manusiawi. Suatu ketika Janusz Onyszkiewicsz berbicara di telepon dengan seorang teman di London! tentang apakah seoran pembangkang Polandia bisa pulang kampung. "Katakan padanya semuanya beres," sahut Janusz, jurubicara nasional Solidaritas. "Aku tak tahu," terdengar jawaban dari London. "Katakan padanya semua sudah berubah sekarang," kata Janusz memberi tekanan. "Aku tak- yakin," jawab sahabat dari London itu. Tiba-tiba terdengar suara orang ketiga--dinas sensur--di telepon: "Demi Tuhan, katakan kepadanya semuanya OK." NOVEMBER 1980 Darnton pergi ke sebuah pertemuan politik. Tampak komposisi pengunjung yang sungguh aneh. Para intelektual pembangkang duduk berhadapan dengan pejabat Partai dan pemerintah. Sebuah meja di tengah tinggal kosong. Ketika akhrinya 'pemilik' meja itu tiba, semua mata memandang bersinar-sinar. Orang-orang mengambilkan kursi, dan mengharap tegur sapa. Mereka tak lain para pekerja pabrik baja dan sekaligus aktivis Solidaritas. Mereka menjadi orang-orang baru yang termasyhur. Sesuatu yang bersifat revolusi sosial memang sedang terjadi. Sebuah padradoks yang sempurna, bahwa perjuangan kelas terjadi justru di negara komunis. Kenyataan ini dapat dipersamakan dengan hidupnya tiba-tiba semua patung "pahlawan kerja" yang bertebaran di negeri ini. Partai, ironis memang, secara luas sudah dipandang sebagai agen eksploitasi. Rakyat berbondong-bondong meninggalkannya. Di seluruh negeri para pekerja beraksi untuk menggolkan tuntutan mereka, supaya hospital, klinik, dan peristirahatan "dikembalikan kepada rakyat." Selama ini hanya polisi dan elite Partai yang boleh menikmati fasilitas tersebut. Banyak mobil mewah, yang ditinggalkan di jalanan malam hari, dipecahkan kaca jendelanya. Di pabrik traktor Ursus di luar Warsawa, ribuan orang berkumpul di gedung bioskop untuk mempersiapkan pemogokan. Tema yang diambil adalah 'Peristiwa Narozniak'--penahanan seorang sukarelawan Solidaritas yang menyebarkan dokumen terbatas pemerintah. Suhu amarah meningkat. Seorang pembangkang politik yang semampai mcmberi petunjuk bagaimana bertindak di bawah pemeriksaan polisi. Seseorang membacakan puisi tentang indahnya kematian untuk Polandia. Seorang lelaki muda tiba-tiba menggapai mikrofon dengan gaya bersungguh-sungguh, dan mulai dengan satu kesalahan. "Kawan-kawan," katanya. Di sana-sini terdengar gumam dan cekikikan. Mukanya merah. Tapi ia berusaha memulai lagi: "Hal lain yang harus kita ingat, kawan-kawan . . ." Kali ini hadirin tertawa terang-terangan. Bingung dan salah tingkah, ia segera duduk kembali. Keanggotaan Partai memang sudah dipandang barang butut. Segalanya berlangsung cepat. Film-film yang tadinya dilarang sensur diputar di televisi. Universitas mempersiapkan pemilihan! rektor secara elemokratis Parlemen bersungut-sungut Terasa gelombang kebahagiaan nasional di mana-mana. Seluruh negeri bagai kantin universitas yang tenggelam dalam hingar-bingar diskusi tentang organisasi, sosialisme, masyarakat. Tampaknya tak ada rapat yang bisa ditutup sebelum pukul tiga subuh. Paspor untuk perjalanan ke luar negeri bisa diperoleh dengan mudah. Seolah dunia tiba-tiba terbuka. Tak ada yang ambil pusing pada negeri-negeri tetangga "sekawan" yang menutup perbatasan Siapa pula yang mau melancong ke sana? Dari Barat berdatangan "perantauperantau" Polandia untuk menghirup udara segar tanah air. Para penulis dan ahli yang terusir pada 1968, bahkan para emigran yang pernah bernazar tak akan menginjakkan kaki kembali ke Polandia. Malam Tahun Baru penuh pesta hiruk-pikuk. Orang mengangkat toast dengan ucapan yang makin lama makin nekat. Sampanye bertumpahan sampai ke ubin. Para lelaki saling mencium pipi, para wanita berangkulan dengan ucapan-ucapan akrab. Jan, seorang teman Darnton yang tajam mengangkat gelasnya dan berseru: "Dan untuk anda, sebagai wartawan, saya mengharapkan sebuah invasi! " Semuanya tertawa Rasanya peristiwa seperti itu tak pernah terpikirkan pulang ke rumah, di tengah jalan mereka bersua dengan kelompok lain mng sedang bersukaria. Ania yang jelia, yang tampak bersedih dalam potret beberapa tahun sebelumnya, menarik napas panjang di udara yang lembab. Ia membentangkan kedua tangannya, dan berseru--bagai kepada panorama malam--"Sepanjang hidupku aku memimpikan tinggal di sebuah negeri behas. Dan sekarang, coba pikir, negeriku sendiri menjadi bebas!" JANUARI 1981 Sarapan pagi dengan Lech Walesa di Hotel Solec, sdmacam Holiday Inn versi Polandia. Dua bis penuh turis Soviet menurunkan penumpang Mereka masuk ke hotel, saling bercakap sesamanya. Para wanita dengan tetek besar, para pria dengan pakaian kedodoran dan kusut. Bagaimana reaksi mereka bila melihat Walesa, "penjelmaan setan", orang yang mengancam akan meruntuhkan kerajaan mereka? Mereka duduk. Memesan sarapan seperti mereka pemilik tempat itu. Mereka makan. Tak sesuatu pun terjadi. Tentu mereka tahu nama Walesa tapi tak mengenal wajahnya. Dia terlalu berbahaya hingga mereka tak diperkenankan bahkan melihat potretnya. Darnton memandang Walesa. "Dan sadar: aku mengenal wajahnya tapi tidak manusianya. Sudah berapa kali aku mewawancarainya? Mungkin 10 atau 15 kali. Berapa kali aku melihat ia duduk di kantornya memimpin rapat, berbicara kepada massa? Mungkin 30 atau 40. Dan bagiku ia tetap sulit dipahami." Ia sudah telanjur menjadi superstar internasional, sehingga sosoknya yang sejati tak lagi terpikirkan. Walesa mulai dimakan oleh legendanya sendiri. Ia tak ayal seorang pemimpin yang berbakat, pemberani, instinktif, dan trampil mengungkapkan perasaannnya. Namun ada sisi yang gelap dari tokoh itu. Tendensi kediktatorannya, kepicikannya, intoleransinya. Ciri itu toh tampil ke depan mempengaruhi kepemimpinannya. Salah seorang pembantu pentingnya ternyata kecewa. Gerakan itu, menurut si wartawan, terancam perpecahan. Berulang kali Walesa mengatakan, adalah persatuan (jutaan pekerja tak bersenjata bahu-membahu melawan pemerintah) yang mengantarkan Solidaritas pada bentuknya yang dikenal dunia. Bila persatuan itu sirna, serikat itu tenggelam. FEBRUARI 1981 Makam Serdadu Tak Dikenal, Lapangan Kemenangan, Warsawa. Makam itu berisi abu jenasah seorang serdadu Polandia yang gugur dalam pertempuran memukul mundur invasi Soviet di tahun 1920. Makam ini telah menjadi tempat pertemuan para demonstran. Sebenarnya sepanjang waktu tempat itu dijaga empat serdadu Polandia Mereka tegak bagai arca, dan tiap beberapa jam diganti empat serdadu lain yang datang dengan berbaris gagah dari sebuah markas berdekatan. Tapi hari ini Solidaritas Pedalaman, serikat petani merdeka yang baru, ditolak pengadilan untuk memperoleh status legal. Para petani itu, orang-orang hertubuh tegap dan bertangan kapalan, dengan pakaian hari Minggu mereka yang kusut, bingung dan berang. Maka mereka pun berbaris menuju makam. Keributan meningkat--dan jumlah mereka ribuan. Orang mulai pidato. Kata-kata perlawanan mulai dipekikn. Tiba-tiba, dari seberang lapangan muncul para serdadu. Mereka berbaris tepat menuju makam -- persis ke jantung keramaian. Bertambah dekat. Sepuluh langkah. Lima langkah. Tiba-tiba massa terbelah, membentuk lorong di tengah. Dan tatkala para serdadu di lorong massa itu, seseorang berteriak: "Hidup Tentara Polandia! Tuhan memberkati Tentara!" Para serdadu itu, seakan tak peduli, mengambil tempat masing-masing. Darnton, seperti diceritakannya, memandang wajah salah seorang abdi negara itu la tegak kaku, seakan tanpa rasa. Hanya airmata membasahi pipinya. MARET 1981 Antrean di depan toko bagai tak berujung. Gerombolan orang ini, sosok-sosok yang menggigil dan gemetar, menimbulkan gambaran revolusi dan kekacauan. Dalam kenyataannya negeri ini sesungguhnya tenang, bahkan lunak. Tentang kekurangan persediaan yang demikian buruknya, banyak teori gelap berkembang. Pemerintah, demikian diisukan, sengaja menahan barang untuk mengkambinghitamkan Solidaritas. Seorang penulis menceritakan kepada rekannya: pemerintah menyembunyikan barang di sebuah terowongan rahasia yang dibuat Nazi di masa pendudukan. Sulit juga diterka apakah ia cuma bercanda. Pemogokan berlanjut secara sporadis. Banyak di antaranya bersifat lokal: kadang hanya ditujukan kepada seorang pejabat setempat, atau mendukung tuntutan diubahnya sebuah bangunan kepolisian menjadi klinik, atau bahkan sekedar "latihan otot." Pemogokan jenis itu tentu tak sampai merusakkan ekonomi seperti diungkapkan pemerintah. Di sebuah pabrik, sebuah pemogokan satu jam berakhir. Para pekerja segera bergerak ke tempat masing-masing. Toh ban berjalan tetap diam. 'Kami tak punya sukucadang," kata seorang buruh. Tapi perekonomian memang hampir ambruk. Sekelompok petani dari Selatan membujuk cabang Solidaritas di pabrik Ursus untuk membuatkan traktor buat mereka. Solidaritas lantas pergi ke cabang lain, dengan membawa uang yang didapat para petani dari menukarkan kentang dan kubis. Saluran pemerintah nyaris tak digubris. Salah urus dan pemborosan merajalela. Barang-barang dikenalkan ke tempat yang salah. Kebutuhan penting hilang. Pesanan tak pernah datang. Rokok sulitnya bukan main. Para penulis yang biasanya mendapat jatah kertas, kini menulis novel di kertas-kertas bekas. Dikabarkan sebuah pabrik cokelat tak bisa berproduksi karena tak punya kertas pembungkus. Tapi semua orang berangkat kerja sebagaimana biasa. Dan dengan setia mengisi kartu absen. DESEMBER 1981 Kembali ke bulan Agustus 1980. Pembantu Times Kasia Trzcinska menyarankan Darnton berjumpa dengan putranya, Jurek. Iapi ia tak peduli. Tak lama kemudian si putra menelepon. "Saya akan datang ke Warsawa besok," katanya. "Bagus", jawabnya tak begitu tertarik. "Aku akan datang bersama beberapa orang. Lech Walesa, Bogdan Lis dan beberapa lainnya. Anda lihat, kami punya serikat baru yang ingin kami daftarkan." Jurek Trzcinski ternyata seorang pemimpin puncak Solidaritas: berperawakan besar, dengan misai yang gagah. Ia tampak kaget seraya mengelakkan pertanyaan yang berkenaan dengan intervensi Soviet. Dari Jurek bisa diperoleh penghargaan terhadap integritas, keberanian, dan sifat berkepala dingin yang mendasar dari kelas buruh Polandia. Bermalam-malam ia menerangkan tujuan mereka. Tidak untuk mencabut Polandia dari Pakta Warsawa, katanya tidak untuk menggulingkan pemerintahan, tapi untuk mendudukkan masalah pada tempatnya. "Kami hanya menginginkan sebuah negeri yang patut." Itulah yang teringat olehku." tutur Darnton lebih setahun kemudian, tatkala lubungan telepon dan teleksku diputuskan, pukul 23.10,12 Desember 1981." Si wartawan keluar ke jalan untuk mencari bahan cerita. Dan menemukan mobil polisi di kedua sisi markas besar Solidaritas Warsawa. 13 DESEMBER 1981 Hukum militer datang bagai hantaman godam. Setiap orang dikawal. Para pemuka Solidaritas yang tiba di Gdansk untuk sebuah rapat akbar, digiring tanpa perlawanan dari hotel mereka, dengan tangan di punggung. Banyak yang diciduk langsung dari tempat tidur. Beberapa bahkan tak sempat mengenakan sepatu. Tatkala Walesa ditangkap di apartemennya di Gdansk, 13 Desember pagi, dan diterbangkan ke Warsawa, kepadanya dikatakan--menurut sumber yang bisa dipercaya--bahwa ia akan dilempar ke luar pesawat. Jurek menghindari penangkapan dan bersembunyi entah di mana. Tapi empat orang polisi dan seekor anjing pelacak datang menemui istrinya di apartemen mereka. Perempuan itu meneriaki mereka: "Kriminal, bandit! Aku tak akan ikut kalian! Kalian boleh menembak aku di sini juga!" Putrinya yang berusia 8 tahun menjerit: "Mama!" Dan ibunya yang berusia 87 tahun menghambur ke kaki para polisi, memohon belas kasihan. Mereka tetap menahan istri Jurek. Ada alasan yang membuat pengambilalihan kekuasaan oleh kalangan militer terasa ganjil. Dalam konstitusi Polandia tak dikenal keadaan darurat. Satu-satunya rancangan undang-undang yang mengarah ke sana justru sedang disiapkan di parlemen. Begitu besarnya ilusi, sehingga sulit membayangkan demokrasi telah diinjak-injak dan penguasa bertindak di luar hukum. Kunci persoalan ini terletak pada ketertutupan. Bangsa ini demikian terputus dengan dunia di sekitarnya, dan hidup dalam kegelapan. Semua komunikasi dibatasi. Perjalanan dilarang. Pertemuan dicegah. Setiap rumah tangga terpisah dari rumah tangga lain, demikian pula setiap pabrik, setiap divisi. Sedang kekuatan Serikat terletak pada aksinya yang sudah diatur bersama, jumlah anggota komunikasi dan pandangan ke depan. Sekali ia dihajar dengan jam malam, penjagaan di jalan-jalan, pemutusan hubungan telepon dan pembatasan radio, kekuatan itu ambruk. Para jenderal lebih dari sekedar menangkdpi enam ribu pemimpin dan pendukung Solidaritas. Boleh dikatakan mereka menempatkan seluruh penduduk dalam tahanan. 27 DESEMBER 1981 Darnton mengunjungi seorang teman di tingkat tiga sebuah apartemen. Ia seorang wartawan dan penulis yang rajin mengedarkan pelbagai teori dan gosip. Ia membuka pintu, memandang tajam-tajam, dan berjalan ke luar. "Aku tak dapat menemui engkau," katanya. "Mereka tak mengizinkan aku bicara dengan semua orang asing." Matanya gelap dan murung. Pada minggu pertama hukum militer diberlakukan, salju turun lebat. Salju ini bagai ungkapan kesenyapan dan kematian yang menyelimuti seluruh negeri. Ada pemogokan di sana-sini, tapi segera dipatahkan secara kasar oleh tank dan ZOMO, polisi pala militer yang ditakuti, yang biasanya mengenakan seragam tersamar. Di dua tambang di Silesia, para pekerja tinggal di bawah tanah berminggu-minggu. Mereka percaya di seluruh negeri sedang berlangsung pemogokan. Baru setelah para istri mereka datang dan menceritakan keadaan sesungguhnya, mereka naik dengan hati yang pahit dan perasaan terpukul. Di kilang baja Huta Warszawa, pagi hari, sebuah pemogokan dipatahkan. Sekitar 100 pekerja bergerombol di depan gerbang. Mereka menyaksikan betapa pabriknya dikepung tank, dan para pemimpin aksi dipisahkan di suatu sudut. Perempuan-perempuan mulai menangis. Rasa takut menyebar. "Kami dipatahkan tanpa perlawanan," kata seorang pekerja pria, dengan nada tidak percaya. Tiba-tiba seorang pria bermantel, dengan nada ken meminta melihat surat-surat Darnton. Kerumunan kaum buruh itu berpaling kepadanya. "Mari menghajar haram jadah itu," seru seseorang. Seorang pria lain, dalam mantel kulit kualitas impor, menyelinap perlahan. Dengan sopan--tanpa kehilangan sikap tegas--ia memerintahkan si wartawan meninggalkan tempat itu. JANUARI 1982 Bagi para wartawan Barat, yang sudah terbiasa dengan kebebasan meliput berita--sesuatu yang hampir tak terpikirkan di negeri-negeri blok Soviet-Polandia hari hari ini terjerat dalam jala yang ketat. Perbatasan ditutup rapat, kecuali untuk segelintir orang asing yang mau ke luar. Teleks dan telepon diberangus. Dan hanya dalam beberapa hari sensur yang keras segera diberlakukan . Wartawan selalu diikuti, bahkan kadang diganggu. "Tak jarang mobil Volvo-ku ditemukan dengan ban yang kempis. Kadang karena paku, obeng, atau batang besi yang diruncingkan," tutur Darnton Sebuah acara televisi yang dinnlakan 'Apa & Siapa' mendongeng tentang tiga orang diplomat Amerika yang dijuluki spion. Tujuannya memutuskan kontak antara rakyat Polandia dan orang asing. Polisi menyebarkan berita penuh ancaman. Siapa saja yang menyampaikan petisi atau informasi ke tangan wartawan Barat, akan diperkarakan. Ancaman hukuman 15 tahun penjara. Adapun pertemuan para wartawan Barat sendiri - Darnton, setidak-tidaknya - dengan "teman-teman Polandia" mereka, tetap berlangsung, di bawah suasana tegang luar biasa. Darnton dan sumber beritanya mengatur perjumpaan di tempat-tempat umum. Di depan gambar tertentu di Museum Nasional, di depan kotak pos tertentu, misalnya. Mereka menyelipkan ke tangannya surat dan buletin bawah tanah. Komunikasi berikutnya ditetapkan waktu itu juga. Dua hari sekali Darnton menemui sumber khusus, seorang anak muda yang untuk mudahnya disebut saja Karol. Mereka menyepakati sistem rendezvouz yang rumit, di kedai-kedai kopi di sekitar Kota Tua. "Dia selalu terlambat beberapa menit. Sebelum ia tiba biasanya tampak seorang wanita muda masuk, dan memeriksa ruangan tanpa kentara. Sambil berlalu, wanita itu melirik sejenak ke arahku." Suatu ketika Darnton mengingatkan Karol pada risiko yang mungkin harus diambilnya, dan bertanya mengapa dia berani melakukan itu. "Boleh jadi karena film yang pernah kutonton tentang gerakan perlawanan," katanya berkelakar. Mengirimkan berita ke luar merupakan keasyikan tersendiri pula. Ada satu saluran rahasia yang bisa dipakai sekali sehari. Para wartawan menggunakannya secara bersama-sama, untuk mencapai pelbagai koran dan stasiun radio yang mengajukan permintaan di Amerika Serikat. Adapun menyelipkan sesuatu melalui pengawal perbatasan membutuhkan teknik merayu spesial. Apalagi sejak para penguasa mulai menggeledah penumpang yang dicurigai di lapangan udara. Meski demikian, seorang anak muda bisa lolos dengan kedua sepatu botnya berisi naskah berita. Salah sebuah naskah Darnton keluar menumpang sebuah ferry ke Swedia. Yang lain diselipkan di bawah jok kereta api yang melintasi Jerman Timur. Naskah ketiga direkatkan di bawah kotak sigaret Marlboro. Tak ada yang tahu mana di antara naskah itu yang berhasil mencapai New York. Akhirnya Darnton menemukan cara yang meyakinkan. Kebetulan di Polandia tida. ada fasilitas mencuci dan mencetak film berwarna. Agaknya sadar akan keterbelakangan ini, para penguasa mengizinkan beberapa jurupotret mengirimkan filmnya ke luar untuk diproses. Sudah tentu para jurupotret itu diawsi dengan ketat. Salah seorang di antara mereka memotret tiga naskah Darnton. Film yang belum dicuci itu kemudian menembus sensur dan tiba di Bonn. Di sana teknisi yang mencuci segera akan menemukan pesan untuk mengirimkan sebuah kopi ke New York. MARET 1982 Rakyat Polandia bangga akan persekutuan antara kaum buruh dan cendekiawan di dalam Solidaritas, meski dalam beberapa hal mereka berbeda. Perbedaan itu antara lain dalam sikap menghadapi hukum militer. Seorang penulis ditangkap. Di dalam sel ia berjumpa dengan tahanan lain, seorang sopir bis. "Anda punya anak?" tanya sopir bis itu. "Ya Dul, masih kecil-kecil." "Saya juga Anak-anak anda masih bangun ketik. mereka datang menangkap anda?" "Syukur mereka sudah tidur. Alhamdulillah." "Hmmm," gumam si sopir. "Anakanak saya juga sudah tidur. Tapi saya membangunkan mereka. Saya ingin mereka mengingat peristiwa itu seumur hidup: betapa para haram jadah itu datang dan menangkap ayah mereka." Peristiwa ini mendorong sang penulis berpikir. Dan menyimpulkan: intelektual ternyata tidak cukup 'tajam'. "Kita berpikir terlalu banyak. Kaum buruh tahu persis cara membenci. Dan cara menyimpan kebencian itu." APRIL 1982 Hukum Militer ternyata tak menyelamatkan sesuatu, sebab pemerintah Polandia sendiri pun tidak melakukan sesuatu. Sejauh ini tak ada langkah untuk mencapai semacam 'rujuk nasional". Atau sebaliknya memberangus Solidaritas. Seorang wartawan Polandia mengibaratkannya dengan situasi seorang pasien yang terjaga setelah pembiuasan berat. Pasien itu kemudian sadar: operasi belum dilakukan. Yang lain membandingkannya dengan masa pendudukan Nazi, meski keadaannya tentu saja berbeda. Tampaknya mereka melakukannya untuk sekedar memberi gambaran akan kemarahan yang terpendam, dan keterpisahan dengan rezim yang sedang mengamuk. Para wartawan itu memakai istilah 'perang' untuk 'keadaan perang' seperti yang tercantum di dalam Hukum Militer. Teraba juga, memang, semacam kekuatan psikologis yang agak menyelamatkan mereka dari rasa malu dan bersalah karena tipisnya perlawanan. Mereka akhirnya lebih banyak bermain dan bergurau dengan kata-kata. Anehnya, pandangan terhadap angkatan bersenjata tetap tinggi. Kebencian ditumpukkan kepada ZOMO. Pasukan wamil hanya digunakan sebagai tenaga bantuan mematahkan pemogokan. Bila mereka tampak mulai bersahabat dengan para pekerja sipil, mereka segera ditarik mundur ke tangsi. Tapi loyalitas angkatan bersenjata sendiri sebenarnya belum teruji penuh. Tetap menjadi pertanyaan, bagaimana sikap mereka kalau suatu ketika keadaan bertambah buruk, dan mereka diperintahkan menembaki para pemook atau demonstran. Para pejabat pemerintah merinding bila mendengar kata 'yunta'. Tapi dalam struktur kekuasaan, kaum militer semakin dominan. Sementara itu Partai tak memperlihatkan tanda-tanda penyegaran para pejabat pemerintah sama membeo dalam mengatakan "Polandia sedang berada di tepi jurang perang saudara." Bahwa "anarki merupakan ancaman besar," dan bahwa "hukum militer merupakan cara terakhir untuk menyelamatkan bangsa." Tapi mereka mendapat kesulitan untuk mengumpulkan bahan bagi pembuktian kekhawatiran itu. Sebab tidak ada 'anarki' di jalan-jalan, dalam pengertian kekacau balauan. Tak juga isyarat oposisi yang siap bergerak ke perjuangan bersenjata. Orang hanya sadar bahwa situasi politik sedang tak terkendalikan, dan bahwa Solidaritas sedang mempersipkan tantangan baru terhadap Partai. Keadaan ini membuat beberapa pengamat Barat sampai pada kesimpulan bahwa Solidaritas menuntut terlalu banyak, hingga hukum militer akhirnya diberlakukan. Kesimpulan ini bisa dibantah dengan mengingat kembali persetujuan yang dicapai di Gdansk, Agustus 1980. Sebagian besar dari 21 tuntutan para pemogok di Galangan Kapal Lenin saat itu, samnai hari ini, tak dipenuhi. BERHADAPAN dengan sikap tegar Partai, kepeminpinan Solidaritas menerapkan sikap yang lebih keras. Toh para ekstrimis dalam serikat ini tak pernah berhasil menguasai keadaan. Dan aksi-aksinya berakhir lebih moderat, terutama bila dibandingkan dengan retorikanya selama ini. Akhirnya, hal yang sungguh naif, Solidaritas berusaha melangkahi Partai Komunis Polandia dan menyatakan diri langsung di bawah Moskow. Itulah arti yang tersirat dalam rapat mereka 12 Desember 1981, yang menuntut referandum nasional tentang keanggotaa di dalam Pakta Warsawa. Serikat ini sampai pada pemilihan untuk meneruskan keanggotaan. Gagasan itu timbul untuk meyakinkan Moskow, bahwa jaminan militer yang dibutuhkan Rusia tidak hanya akan diberikan oleh Partai, melainkan oleh seluruh masyarakat Polandia. Pertanyaan besar yang tetap tidak terjawab adalah: sejauh mana Uni Soviet sudi memberi kebebasan. Sadar akan 'harga' sebuah intervensi, Moskow memperaakan toleransi yang melampaui dugaan sementara orang di dunia luar. Tapi yang tidak bisa ditenggang Moskow ialah setiap bentuk kesangsian akan "peranan kepemimpinan" Partai Komunis Polandia. Dalam pandangan Kremlin, Partai adalah satu-satunya alat kontrol terpercaya. Tanpa Partai, baik "sosialisme" maupun dominasi Soviet akan tamat. Kontradiksi mendasar ini memang tak mungkin diatasi. Sebuah partai komunis, dengan dukungan minoritas, berusaha menekan seluruh negeri dan membelokkannya ke arah yang bagi mayoritas sungguh diancuk. Di negeri ini Partai sedang berhadapan dengan saingan baru yang lebih populer. Gertak Kremlin hanya akan lebih membuktikan bahwa partai itu tak lebih cecunguk kekuatan asing. "Peranan kepemimpinan"nya sama sekali tai kebo. Meninjau ke belakang, titik balik sebetulnya terjadi Maret 1981, ketika serikat ini menghimbau pemogokan umum secara nasional untuk memprotes pemukulan yang dilakukan polisi di Bydgosez. Itulah saat hidup atau mati--ketika kekuatan Solidaritas berada pada puncaknya, kekuasaan goyang, dan Moskow belum memperlihatkan sikap tegas. Sebuah pemogokan umum yang mencapai kemenangan pasti memaksa para penguasa menerima kerja sama yang agak jujur. Tapi sebaliknya, Walesa dan beberapa negotiator melangkahi prosedur pengambilan keputusan yang demokratis menurut serikat. Langkah ini membuka celah perpecahan, dan memperkuat penganut garis keras di tubuh Partai. Konon, Walesa dkk diberitahu penguasa bahwa Rusia akan melancarkan invasi bila mereka tak mau mundur. Hanya sejarah yang tahu berita ini benar atau bohong. JUNI 1982 Jurek ternyata sudah ditahan. Ia diadili bersama delapan tertuduh lainnya di Gdynia. Mereka didakwa menyebarkan pamflet antipemerintah dan mencoba menggerakkan pemogokan di sebuah akademi pelayaran. Peradilan itu singkat. Bahkan sanak keluarga para tertuduh dihalangi masuk ruang sidang. Saksi-saksi penting tidak diizinkan buka mulut. Hakim membacakan keputusan tergesa-gesa. Ia tak lupa menyebutkan beberapa di antara tertuduh adalah aktivis Solidaritas. Putusannya keras--dan sudah bisa ditebak. Jurek mendapat sembilan tahun penjara. Dalam bui, kepalanya digunduli dan misainya dicukur. Mukanya sembab oleh menu yang melarat. Ibunya sering meratap. Terutama pada harihari hangat, bila ia memandang cahaya di seberang jendela dan membayangkan putranya meringkuk dalam sel yang lembab. Setiap orang rontok dalam tekanan moral. Para wartawan diubrak-ahrik. Perguruan tinggi dibersihkan. Intelektual dan profesional ditekan dan dilemparkan dari bidang mereka masing-masing. Seorang aktor dipekerjakan sebagai pelayan kedai kopi. Seorang penyanyi terkenal dikaryakan di pompa bensin. Seorang penyiar televisi wanita tampak menjajakan es krim di pasar Wroclaw. Suasana pendudukan rezim terasa di mana-mana. Pertandingan sepakbola antara kesebelasan Soviet dan Polandia berlangsung di bawah sekuriti ketat. Pasukan ZOMO dengan senjata otomatis mengelilingi stadion. Polisi berseragam dikerahkan. Dalam penerbangan di pesawat-pesawat Polandia, seorang anggota ZOMO dengan AK47 berdiri tegak di kabin belakang, siap mencegah kemungkinan pembajakan. Di, pihak lain, tetap muncul kelalaian dan ketidakmantapan dalam melakukan tindakan keras, yang tampaknya sudah merupakan semacam karakter Polandia. "Seorang pria yang kuketahui sedang bersembunyi, enak saja sewaktu-waktu bersantap di rumah makan kesenangannya," tutur Darnton. Tokoh masyarakat lainnya, seorang bekas ketua persatuan wartawan yang sebetulnya juga sedang dicari-cari, bahkan menerima pengobatan jantung-- melalui perantara-dengan fasilitas yang diberikan seoram pejabat Departemen Dalam Negeri. DI Lapangan Kemenangan terlihat salib besar dari rangkaian bunga, terhampar di ubin jalan. Dua kali polisi menyingkirkan salib itu. Tapi selalu muncul lagi, bahkan tambah besar. Di dekat salib itu ada 'tempat ziarah' untuk sembilan orang buruh tambang yang dibedil polisi di Vujek, Desember lalu. Suatu hari seorang membawa prasasti pualam bertatahkan sembilan nama ke tempat itu. Polisi menyingkirkannya. Keesokan harinya muncul sembilan tumpuk batu bara di situ. Polisi kembali bekerja. Hari berikutnya tampak sembilan salib. Begitu seterusnya. Bulan lalu, seorang diplomat Inggris melintasi lapangan tersebut. Ia menyaksikan dua orang OMO menciduk seorang anak muda yang sedang berlutut di dekat salib. Anak muda itu tak melawan. Ia dibawa ke sebuah mobil polisi. Di dalam mobil ia dihajar secara biadab dengan belantan. Diplomat itu mengaku, dengan mengintai melalui jendela mobil, ia sempat menghitung 26 pukulan di kepala dan perut. Ia kemudian dipergoki sedang melihat adegan itu--dan diperintahkan menyingkir. Ia yakin anak muda itu bakal modar. 'Kekejaman resmi' sedang memuncak. Tanggal 3 Mei berlangsung demonstrasi pro-Solidaritas. Polisi muncul dan menggebuki kepala orang. Gas air mata disemprotkan hampir di seluruh kota. Larut senja Darnton pergi ke stasiun untuk menemui seseorang. Di suatu halte bawah tanah, tempat televisi umum dipasang mati di dinding, orang berkumpul untuk mendengarkan siaran berita. Empat anggota ZOMO tampak menyolok berjaga-jaga, dengan belantan yang digoyang-goyang. Di sekitar mereka terlihat anak-anak muda, mungkin sekali demonstran. Setiap orang melihat pertarungan di layar televisi. Mungkin mereka melihat wajahnya sendiri. * * * "Itulah citra Polandia yang kubawa serta ketika tiba saatnya meninggalkan negeri itu," kata John Darnton menutup tulisannya. "Penindas dan yang tertindas berdiri berdampingan menonton teater perpecahan negeri ini".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus