Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEJU dijuluki sebagai Hawaii-nya Korea Selatan. Kepulauan seluas 1.849 kilometer persegi ini menjadi tempat wisata favorit dengan 8,7 juta pengunjung per tahun. Namun, di balik keindahannya, Jeju menyimpan sisi kelam akibat peristiwa "Pemberontakan dan Pembantaian 3 April 1948" yang masih menjadi luka terbuka bagi penduduk setempat dan pekerjaan rumah bagi pemerintah Korea Selatan.
Presiden Korea Selatan Roh Moo-hyun mengakui ada beberapa orang yang menolak mengakui sisi gelap sejarah akibat perpecahan ideologi setelah Korea lepas dari penjajahan Jepang pada 1945. "Kita harus melihat sejarah menyakitkan ini secara jujur," kata Moo-hyun dalam peringatan peristiwa ini di Peace 4.3 Park, Kepulauan Jeju, Selasa pekan lalu.
Korea, menurut harian Hankyoreh, juga belum punya kesepakatan pandangan soal penamaan peristiwa 70 tahun lalu ini. Ada yang menyebut peristiwa yang menewaskan sekitar 30 ribu warga Jeju itu dengan "pemberontakan", "gerakan", atau "insiden". Meski belum satu kata soal penamaan, hampir semua sependapat bahwa pemicu tragedi ini adalah peristiwa demonstrasi dua hari sebelumnya.
Menurut Komite Nasional untuk Penyelidikan Kebenaran Peristiwa 3 April di Juju yang dibentuk negara pada tahun 2000, kasus ini bermula pada peristiwa 1 Maret 1947. Hari itu, sekitar pukul 11 pagi, massa berkumpul di sekitar Jeju Buk Elementary School untuk memperingati 28 tahun Kemerdekaan Korea, 1 Maret 1919. Tanggal itu merujuk pada hari ketika Korea secara terbuka menolak pendudukan Jepang dan berjuang meraih kemerdekaannya.
Massa yang berjumlah sekitar 30 ribu orang itu lantas bergerak dari Jeju Buk Elementary School melewati Gwandeokjeong Square untuk menuju kantor United States Army Military Government in Korea dan kantor polisi. Di tengah keramaian massa itu, tiba-tiba ada anak enam tahun meloncat ke jalan dan ditabrak polisi berkuda. Entah sengaja entah tak menyadari, polisi itu berlalu seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Demonstran yang melihat kejadian itu berteriak dan mengerumuni sang bocah. Beberapa orang melemparkan batu ke arah polisi berkuda sambil berteriak, "Tangkap dia!" Melihat massa marah, ia memacu kudanya ke arah kantor polisi Gwandeokjeong. Polisi melepaskan tembakan ke arah massa yang datang. Enam warga tewas, termasuk siswa sekolah dasar dan wanita berusia sekitar 20 tahun yang menggendong bayi.
Menurut Huh Ho-joon, jurnalis Hankyoreh yang bertugas di Jeju, sikap pemerintahan militer di Jeju-lah yang memicu kemarahan warga. "Pemerintahan militer tidak meminta maaf kepada keluarga korban dan warga kepulauan. Mereka malah berkukuh penembakan itu merupakan aksi membela diri, dan insiden tersebut hasil konspirasi dengan Korea Utara," kata Ho-joon, awal Maret lalu. Kemarahan publik ini memicu pemogokan massal 10 Maret 1947, yang dipimpin Partai Buruh Korea Selatan di Jeju.
Wakil Kepala Polisi Nasional Korea Selatan Choi Gyeong-jin, yang melihat situasi terbaru ini, menuding warga Jeju lebih condong ke kelompok kiri. Itu adalah sebutan untuk para pendukung kelompok komunis. Pemerintah juga berusaha membungkam pemogokan massal ini dengan menangkap para penggagasnya.
Polisi menggerebek markas besar komite pemogokan dan komite Front Nasional untuk Demokrasi dan Partai Buruh Korea Selatan. Awalnya ada 200 orang yang ditangkap dengan tuduhan menggelar demonstrasi ilegal dan menyebabkan gangguan di seluruh provinsi. Sampai April, jumlah orang yang ditangkap menjadi 500 orang.
Korea saat itu baru dua bulan lepas dari penjajahan Jepang. Setelah Negeri Matahari Terbit itu menyerah kepada Tentara Sekutu, kekuasaan atas negara jajahannya juga beralih. Sesuai dengan hasil perundingan di Yalta tahun 1946, Korea bagian selatan di bawah pengampunan Amerika Serikat, sedangkan di bagian utara di bawah Uni Soviet. Keduanya akan mengendalikan sementara sampai pemerintahan terbentuk.
Pada 1947, Amerika dan Soviet berada di tubir konfrontasi meski bersekutu dalam Perang Dunia Kedua. Sebab, Presiden Amerika Serikat Harry Truman mengeluarkan kebijakan yang intinya akan membendung pengaruh Soviet dan komunisnya. Apa yang kemudian dikenal sebagai Doktrin Truman inilah yang memicu Perang Dingin di antara blok dua negara raksasa itu.
Amerika mengajukan resolusi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk membentuk pemerintahan Korea melalui pemilihan umum. Usul itu tak disambut Soviet. Sebagai solusinya, disepakatilah pemilu hanya digelar di Korea Selatan pada 10 Mei 1948. Partai Buruh menolak rencana ini dengan cara melakukan mogok massal selama 24 jam pada 7 Februari 1948.
Pemogokan juga terjadi di Jeju, selain diikuti dengan sejumlah kasus serangan terhadap kantor polisi dan penyebarluasan selebaran. Pemogokan ini berujung pada penangkapan 479 orang secara nasional, yang 290 di antaranya di Jeju. Saat penangkapan itu, terjadi juga kasus penyiksaan, yang salah satunya menyebabkan kematian pelajar Jocehon School, Yang Eun-ha.
Meski ada penolakan, Amerika tetap mempersiapkan pemilu. Di Jeju, terjadi sejumlah serangan untuk menggagalkan pemilihan umum. Pada 26 Februari 1948, kantor polisi di Provinsi Jeonbuk diserang, empat pos polisi lain dihancurkan, dan dua dibakar. Bagi kelompok garis keras Jeju, pemilihan umum yang hanya digelar di Korea Selatan akan menghalangi penyatuan Korea.
Serangan ini dihadapi pemerintah dengan operasi penangkapan. Tindakan keras pemerintah dan militer itu mendorong warga dan para politikus buruh menggelar pertemuan di Shinchon pada Februari 1948. Mereka memutuskan melancarkan pemberontakan bersenjata untuk melindungi organisasi mereka dan menentang rencana pemilihan umum itu.
Rencana untuk angkat senjata ini disetujui dalam pertemuan komite tetap Partai Buruh Korea, 15 Maret dan 28 Maret 1948. Selain kecewa terhadap sikap polisi menangani penembakan 1 Maret 1947, mereka marah terhadap intimidasi kelompok pemuda kanan, Asosiasi Pemuda Seobuk.
Seperti direncanakan, sekitar pukul 2 pagi pada 3 April 1948, pemberontakan bersenjata dimulai dengan adanya sinyal api menyala di lereng Gunung Halla. Pada pagi itu, sekitar 350 anggota kelompok gerilyawan bersenjata menyerang 12 dari 24 pos polisi secara bersamaan. Sasarannya antara lain polisi dan tokoh Asosiasi Pemuda Seobuk. Perlawanan bersenjata inilah yang kemudian memicu pertumpahan darah yang berlangsung selama enam tahun dan enam bulan berikutnya.
Setelah pecah perlawanan bersenjata, ada upaya perdamaian yang dirintis Komandan Resimen ke-9 Korea Selatan, Kim Ik-ryeol, dan pemimpin kelompok perlawanan bersenjata Kim Dal-sam di Gueok-ri, Daejeong-myeon, pada 28 April 1948. Perundingan damai itu membuahkan hasil dihentikannya aksi saling serang. Namun kesepakatan tersebut buyar setelah Asosiasi Pemuda Seobuk menyerbu rumah warga Desa Yeonmi, Ora-ri.
Serangan gerilyawan berlanjut dan dibalas dengan aksi militer. Persiapan pemilu di Jeju juga banyak mengalami masalah. Pada 18 April, misalnya, tempat pemungutan suara di Dopyeong-ri, Jeju, diserbu dan catatan pemilunya dicuri. Pada pertengahan April juga terjadi serangan terhadap kantor panitia pemilihan umum. Bahkan ada anggota Panitia Pemilihan Nasional yang dibunuh.
Pemilihan umum tetap dilaksanakan. Berbeda dengan di daerah lain, jumlah pemilih yang tak mencoblos di Jeju sangat tinggi. Komite Pemilihan Nasional mengumumkan ada 95,9 persen pemilih di 200 daerah pemilihan di Korea, yang berarti 7.487.649 dari 7.840.871 pemilih memberikan suara mereka. Sedangkan di Jeju, 53.698 dari total 85.517 pemilih memberikan hak suaranya.
Seusai pemilihan umum ini, pemerintahan Korea Selatan resmi terbentuk pada 15 Agustus 1948 dan Rhee Syng-man menjadi presiden pertamanya. Korea Utara mengikuti jejak tetangga selatannya itu dengan membentuk pemerintahan sendiri pada 9 September pada tahun yang sama. Perkembangan ini membuat Korea tak lagi menjadi satu negara karena membentuk pemerintahan sendiri-sendiri.
Untuk menghadapi para pemberontak, militer Korea mengeluarkan ultimatum pada 17 Oktober 1948. Intinya, militer akan memberlakukan karantina di wilayah yang dikuasai gerilyawan. Mereka yang menentang karantina akan diperlakukan sebagai musuh dan ditembak mati.
Perdana Menteri Korea Selatan Lee Beom-seok menjelaskan tiga tahap operasi militer mereka di Jeju. Pertama, militer akan memisahkan gerilyawan dengan warga desa. Kedua, memusatkan kekuatan gerilyawan sebelum memulai operasi pembersihan. Ketiga, pasukan mulai mengepung dan mengejar kelompok bersenjata yang melarikan diri ke puncak Gunung Halla sejak 25 Februari.
Operasi militer ini membuat para pria di Jeju tak lagi bertahan di desa dan memilih kabur ke gunung. Ada yang memang bergabung dengan gerilyawan atau ada juga yang sekadar menghindari penangkapan. Kim Eun-hee, Kepala Riset Institut Studi Jeju 4.3, mengatakan, "Kalau ada pria yang tak ada di rumah, anggota keluarga lain akan menjadi korban penangkapan dan dieksekusi."
Eun-hee menunjuk ke salah satu prasasti di Bukchon-ri, Provinsi Jeju, salah satu situs tempat korban insiden Jeju dimakamkan. "Di dalam daftar ini, ada empat orang yang punya nama keluarga yang sama. Itu artinya mereka ini satu keluarga yang dieksekusi mati karena ada keluarganya yang menjadi gerilyawan," ucapnya kepada jurnalis, awal Maret lalu.
SELAIN Bukchon-ri, situs utama dari Insiden Jeju adalah Jeju Peace 4.3 Park dan Memorial Hall yang terletak di Bonggae-dong, Kota Jeju. Pemerintah membangun permakaman umum yang berisi nisan korban tewas atau nisan tanpa nama bagi yang tak diidentifikasi. Juga ada museum yang berisi sejarah pemberontakan dan pembantaian, termasuk galeri foto para korban tewas dalam tragedi ini. Tempat ini dibuka untuk umum sejak 28 Maret 2008.
Bukchon-ri merupakan salah satu situs penting karena besarnya jumlah korban pembantaian. Salah satu peristiwa yang banyak memakan korban adalah pada 17 Desember 1948, setelah dua tentara ditemukan mati akibat serangan para gerilyawan bersenjata di desa pesisir Bukchon. Takut mendapat balasan, para orang tua di desa itu membawa dua jenazah tersebut ke markas tentara. Di luar dugaan, tentara malah menembak semua orang tua yang mengantar jenazah itu, kecuali beberapa yang merupakan keluarga polisi dan tentara.
Pagi itu juga tentara mendatangi Desa Bukchon dan menggiring warganya untuk berkumpul di Bukchon Elementary School. Menurut Lee Jae-hoo, pengurus Asosiasi Keluarga Bukchon 4.3, warga diminta datang ke sekolah itu untuk mendengarkan pidato. "Saat itu ada 1.000 orang yang tinggal di desa tersebut dan 700-800 di antara mereka tiba di sana setelah diminta datang. Tentara dengan bersenjata pistol mengepung sekolah untuk mencegah ada warga yang lari," kata Jae-hoo kepada Jeju Weekly. Saat peristiwa itu terjadi, Jae-hoo masih berusia 8 tahun.
Ko Wan-soon, 80 tahun, kala itu berusia 9 tahun. "Keluarga saya diseret ke taman bermain sekolah dan para tentara menyuruh kami semua berlutut. Kemudian saya mendengar tembakan dilepaskan, dan orang-orang tumbang. Saya merangkak seperti semut," ujarnya kepada Korea Herald. "Adik laki-laki saya menjerit di punggung ibu saya. Dia terdiam setelah seorang tentara datang dan memukul kepalanya dua kali. Ia selamat setelah komandan militer datang dan meminta penembakan dihentikan."
Selain orang dewasa, korban eksekusi adalah anak-anak. Ada prasasti bernama Eh-gi-mu-dum untuk menandai anak-anak yang menjadi korban. "Mayat anak-anak ditinggalkan sendirian di tempat mereka meninggal," ujar Jae-hoo. "Karena mereka adalah anak-anak dari orang-orang di gunung, orang-orang desa tidak dapat mengadakan pemakaman untuk mereka."
Kim Eun-hee menunjuk ke arah semak dengan sejumlah batu yang tersebar di sekitarnya. "Di sana adalah situs tempat bayi dan anak-anak warga Bukchon yang mati dieksekusi," tuturnya. Tak jauh dari sana, ada situs lain dengan penanda batu yang seperti berserakan, yang menunjukkan lokasi korban tewas yang memang tak beraturan.
Warga Desa Bukchon lain yang juga hampir menjadi korban eksekusi adalah Ko Wan-soon. Ia diminta datang bersama ibu dan adik laki-lakinya ke Bukchon Elementary School sehari setelah dua tentara Korea itu tewas. Wan-soon baru berusia 9 tahun saat itu, ketika dia melihat warga desa dieksekusi. "Di sela keramaian orang, saya mendengar serangkaian tembakan dan melihat tujuh hingga delapan orang roboh ke lantai," kata Wan-soon kepada wartawan di Neobeunsung Sacred Memorial for Victims of Jeju 4.3 di Bukchon-ri, awal Maret lalu.
Eksekusi di Bukchon-ri merupakan yang terbanyak makan korban. Dalam dua hari, setidaknya ada 390 orang yang ditembak mati. Sebanyak 300-400 rumah warga dibakar. Adapun yang membuat situs Bukchon-ri cukup populer adalah novel Aunt Suni, yang terbit pada 1978, yang kisahnya diangkat berdasarkan cerita salah satu warga desa yang selamat dari pembantaian itu.
Menurut Kim Eun-hee, dalam novel itu, Suni bersama dua keponakannya yang berusia kurang dari 10 tahun diminta berkumpul di sekolah. Suni selamat dari eksekusi hari itu, tapi tidak dengan dua keponakannya. "Suni memang selamat, tapi hatinya hancur. Ia datang lagi 30 tahun kemudian dan bunuh diri di sini," ucap Eun-hee.
Popularitas novel itu membuat pemerintah mengabadikannya dalam sebuah prasasti di Bukchon-ri. Ada sejumlah prasasti batu yang dipasang melintang dan saling bertindih, dengan nama korban tertulis di atasnya. Situsnya diberi nama Neobeunsungi April Third Historical Site, dibangun pemerintah tahun 2008. Di prasasti itu tertulis bahwa Monument of Literature for Novel Aunt Suni ini untuk menghormati kebenaran soal insiden Jeju yang terkubur di dalamnya.
Upaya pemerintah Korea Selatan memburu para gerilyawan bersenjata di Jeju terus berlangsung meski menghadapi serbuan tentara Korea Utara pada 25 Juni 1950. Perang Korea berakhir pada 27 Juli 1953 melalui gencatan senjata yang melenyapkan tiga juta nyawa. Saat itu militer Korea Selatan masih terus berusaha memadamkan perlawanan gerilyawan yang sudah diisolasi di Gunung Halla. Operasi militer dan penutupan Gunung Halla untuk umum dicabut pada 21 September 1954 setelah gerilyawan yang tersisa ditaksir hanya tinggal lima orang.
Setelah operasi militer di Jeju berakhir, menurut Hankyoreh, masalah ini tak pernah dibicarakan secara terbuka di Korea, termasuk di kalangan warga Jeju. Menurut Baek Ga-yoon, dari organisasi Jeju Dark Tours, tak banyak orang yang mau bicara. Umumnya mereka takut masa lalunya dihubungkan dengan komunis. Sebab, hal itu bisa membuat mereka kesulitan mencari pekerjaan yang layak. "Ada juga yang takut bicara karena khawatir anaknya tahu kakeknya mati, dan mereka malu atau akan menuntut. Beberapa orang juga masih mengalami trauma."
Setelah menerbitkan novel Aunt Suni, Hyun Ki-young juga mendapat ancaman. Menurut Jeju Weekly, ia awalnya ditangkap bersama temannya saat ikut dalam sebuah demonstrasi. Keduanya ditangkap dan disiksa selama tiga hari oleh badan intelijen Korea Selatan. Menurut Ki-young, saat disiksa itulah salah satu pelaku mengeluarkan ancaman: jangan menulis tentang pembantaian Jeju lagi.
INSIDEN Jeju ini perlahan-lahan mulai dibicarakan secara terbuka pada 2000 setelah Jeju 4.3 Special Act disahkan menjadi undang-undang pada 12 Januari 2000. Pada tahun yang sama, "3 April" juga ditetapkan sebagai hari peringatan nasional. Setelah undang-undang itu keluar, Korea Selatan membentuk komite untuk menyelidiki insiden Jeju.
Komite menyelesaikan laporannya yang berjudul "The Jeju 4.3 Incident Investigation Report" pada 2003. Setelah laporan setebal 758 halaman itu dipublikasikan, Presiden Korea Selatan (2003-2008) Roh Moo-hyun menyampaikan permintaan maaf secara resmi mewakili pemerintah pada 3 April 2006 atas penggunaan kekerasan terhadap warga sipil dalam insiden Jeju itu.
Pembentukan Komite Penyelidik dan permintaan maaf itu memang tak lantas membuat masalahnya selesai. Menurut Baek Ga-yoon, ada sejumlah warga Jeju juga yang menuntut ganti rugi, selain pemulihan nama baik. Pemerintah menyatakan ganti rugi akan diberikan jika korban mengajukan gugatan ke pengadilan. Tapi tak banyak yang mau melakukannya. "Karena prosesnya lama dan panjang. Ke pengadilan kan juga butuh pengacara," ucapnya.
Kini, Ga-yoon menyebutkan, korban dan lembaga sipil yang bergerak di bidang hak asasi manusia juga menggalang petisi untuk pemerintah Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Targetnya, mendesak Amerika mengakui keterlibatannya dalam kasus itu dan meminta maaf. Untuk PBB, diharapkan ada komite penyelidikan lagi karena komite penyelidik yang dibuat pemerintah pada 2003 kurang menggali keterlibatan tentara Amerika. "Sekarang sudah mendapatkan 17 ribu tanda tangan dari target 100 ribu," ujat Ga-yoon kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu.
Pemerintah menyadari bahwa masalah ini belum selesai. Presiden Roh Moo-hyun, saat peringatan 3 April, di Jeju, Selasa pekan lalu, berjanji mengungkap fakta-fakta di balik peristiwa itu untuk menjawab keluhan korban, mengembalikan kehormatan mereka, melanjutkan pekerjaan untuk mengambil sisa-sisa orang yang hilang, memberikan kompensasi kepada yang selamat, serta mendirikan pusat trauma yang dikelola negara. "Menyelesaikan masalah ini sepenuhnya akan menjadi dasar yang kuat untuk rekonsiliasi, integrasi, perdamaian, dan hak asasi manusia, yang tak hanya diinginkan warga Jeju, tapi juga semua orang di negara ini," ujar Moo-hyun seperti dilansir Korea Times.
Kisah Tak Terlupakan di SD Bukchon
GURATAN ketuaan terlihat jelas di wajah Ko Wan-soon. Warga Bukchon-ri, Provinsi Jeju, Korea Selatan, ini sudah berusia 80 tahun, tapi masih mengingat cukup baik peristiwa pemberontakan dan 3 April 1948 yang kemudian berujung pada pembantaian yang menewaskan sekitar 30 ribu orang di Jeju.
Ia adalah satu di antara sekian orang yang beruntung masih selamat dari penembakan terhadap warga Desa Bukchon-ri setelah militer Korea mengumpulkan mereka di Bukchon Elementary School, pukul 3 sore pada 18 Desember 1948. Saat itu umurnya baru 9 tahun.
Wan-soon tiba di sekolah dasar itu bersama ibu dan adik laki-lakinya. Tak tahu untuk apa dikumpulkan, ia bertanya kepada prajurit yang berjaga di sekolah. Bukannya mendapatkan informasi, ia malah dimarahi.
"Di sela keramaian itu, saya mendengar serangkaian tembakan dan melihat tujuh hingga delapan orang roboh ke lantai," ujar Wan-soon kepada wartawan di Neobeunsung Sacred Memorial for Victims of Jeju 4.3 di Bukchon-ri, tempat jenazah para korban insiden Jeju dimakamkan, awal Maret lalu.
Melihat pemandangan mengerikan itu, saudara laki-laki Wan-soon menjerit ketakutan. Ia juga berusaha melarikan diri, tapi tak berhasil. "Kemudian seorang tentara memberikan pukulan keras ke kepala saudara laki-laki saya," katanya. Prajurit Korea Selatan itu berteriak: "Tidak ada masalah jika kamu mati sekarang atau nanti."
Nyawa adik laki-lakinya tak selamat kalau tidak ada perintah dari seorang komandan militer yang baru datang naik jip dan meminta pemukulan dihentikan. Ia memang selamat dari pemukulan itu, tapi akhirnya meninggal pada Agustus 1952 akibat cedera kepalanya.
Belakangan diketahui bahwa pemanggilan ke Bukchon Elementary School ini berhubungan dengan peristiwa sehari sebelumnya. Pada 17 Desember 1948, itu ada dua tentara Korea yang tewas. Keduanya disergap secara tiba-tiba oleh "orang-orang gunung" di desa pesisir Bukchon.
Orang-orang gunung adalah sebutan warga desa untuk orang-orang yang angkat senjata serta bergerilya melawan polisi dan militer Korea. Sikap mereka itu awalnya sebagai protes atas penembakan polisi terhadap massa demonstran pada 1 Maret 1947 saat memperingati hari Kemerdekaan Korea.
Selain itu, mereka menentang rencana pemilihan umum hanya digelar di Korea Selatan, yang dijadwalkan 10 Mei 1948. Sebab, menurut mereka, hal itu akan menyebabkan Korea terpecah jadi dua. Militer Korea dan Amerika menuding mereka adalah para simpatisan komunis.
Menurut kesaksian mantan tentara di lokasi beberapa tahun kemudian, mereka awalnya hari itu berencana menembakkan mortir untuk memusnahkan penduduk Desa Buckhon tersebut sebagai pembalasan atas kematian dua temannya. Menurut Korea Times, mereka mengurungkan niatnya dan memutuskan menembak penduduk desa secara individu untuk "melatih" anggota baru, kata Kim Nam-hoon, anggota staf dari Jeju Dark Tours, kelompok sipil yang mempromosikan pengungkapan kasus Insiden Jeju ini.
Eksekusi terhadap warga desa berhenti setelah komandan militer datang mengendarai jip. "Menurut kesaksian seorang mantan tentara, beberapa prajurit yang lahir di Jeju memohon kepada sang jenderal untuk menghentikan pembunuhan tersebut. Jenderal menerima permohonan mereka," ucap Kim Eun-hee, Kepala Peneliti Lembaga Riset Jeju 4.3.
Setelah lolos dari penembakan itu, Wan-soon dan warga desa diminta berbaris dalam dua kelompok jika ingin pergi dengan selamat. Mereka dijanjikan akan diantar ke Jeju dengan truk. Tak percaya pada janji tentara, Wan-soon memilih tak ikut berbaris dan memutuskan kembali ke rumahnya bersama ibunya.
Di sana, ia melihat rumahnya sudah dilalap api. Ibunya menyarankan agar ia membawa makanan yang tersisa dan pergi ke Kota Jeju untuk menemui salah satu saudaranya di sana. Sang ibu masih hendak mencari kabar saudaranya di desa lain. Wan-soon mendengarkan nasihat ibunya. Keduanya akhirnya bisa bertemu beberapa bulan sesudahnya.
Jejak peristiwa pembunuhan itu tetap berada di dalam tubuh dan saraf Ko Wan-soon. "Sampai hari ini, saya tidak pernah bisa menahan lapar karena kenangan kelaparan sepanjang masa kecil saya," tuturnya. Dia masih ingat dengan jelas saat mencuri nasi mendidih tanpa memakai sendok di rumah temannya.
Wan-soon juga masih dihantui ketakutan kalau berkunjung ke Ompangbat, salah satu lokasi penembakan warga oleh tentara di Bukchon. "Saya masih merasa takut ketika pergi ke sana, yang dulu menjadi tempat ditumpuknya empat mayat. Rumor juga masih beredar bahwa seseorang melihat hantu di depan Sekolah Dasar Bukchon," ucapnya.
Bukchon juga disebut sebagai "Desa tanpa laki-laki" karena mereka semua dibantai. Perempuan umumnya hidup sendiri dengan keluarga yang tersisa. Menurut Wan-soon, mereka ingin bernyanyi, menari, dan bepergian, tapi mereka tak bisa. "Karena luka yang diterima selama pembantaian, kita bahkan tidak bisa berdiri. Saya selalu takut mati sendirian," ujarnya.
Menurut Lee Jae-hoo, pengurus Bukchon 4.3 Bereaved Family Association, saat itu warga desa berjumlah 1.000 orang. Dari jumlah itu, 500 orang tewas ditembak. "Jadi sekitar setengah dari penduduk Desa Bukchon meninggal, khususnya suami dan laki-laki muda," kata Jae-hoo, seperti dilansir jejuweekly.com.
Peristiwa pembantaian Jeju membuat warga Bukchon mandiri. Menurut Kim Eun-hee, para laki-laki di desa itu umumnya naik ke gunung setelah memutuskan angkat senjata melawan pemerintah. Kalaupun bertahan di desa, mereka biasanya mati dieksekusi. "Karena tak ada laki-laki, perempuan Bukchon sangat mandiri karena mengurus semua urusan rumah tangga sendiri," kata Eun-hee.
Wan-soon, yang kini menjadi Ketua Bukchon Senior Villager Association, lebih banyak berbagi pengalaman buruknya kepada orang yang datang. Dalam beberapa tahun ini, Jeju tidak hanya menjajakan kecantikan Gunung Halla dan pantainya, tapi juga sisi kelam masa lalunya.
Bukchon-ri adalah salah satu tempat wisata sisi hitam sejarah Jeju, selain Peace 4.3 Park dan Memorial Hall di Jeju 4.3 di Bonggae-dong, Kota Jeju. Di sini ada prasasti yang didedikasikan untuk novel Aunt Suni. Novel karya Hyun Ki-young terbitan 1978 itu diinspirasi oleh korban insiden Jeju di desa ini.
Ko Wan-soon tak sekuat puluhan tahun lalu sehingga harus mengambil jeda minum setiap berbicara tiga-lima menit kepada para wisatawan yang datang ke Bukchon-ri. Ia kini hanya berharap peristiwa seperti yang ia alami tak terjadi lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo