Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Instrumen Bambu Endo Suanda

Seniman Endo Suanda berkreasi membuat pelbagai instrumen berbahan bambu, dari gitar, kecapi, gendang, hingga beduk.

8 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seniman Endo Suanda berkreasi membuat pelbagai instrumen berbahan bambu, dari gitar, kecapi, gendang, hingga beduk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPINTAS, sepasang gitar tanpa cat itu tampak seperti instrumen berdawai biasa. Begitu juga suaranya ketika dipetik. Satu yang berwarna pucat bersenar kawat, satunya lagi berwarna sawo matang dengan senar nilon. Keanehan baru muncul ketika gitar, juga kecapi yang tergeletak di meja ruang tamu itu, dihampiri lebih dekat. Bahannya bukan terbuat dari kayu, melainkan susunan bilah bambu. Saat diraba, permukaan badan atas gitar terasa agak bergelombang.

Gitar bambu itu merupakan kreasi Endo Suanda. Seniman 70 tahun itu merintis pembuatan instrumen musik bambu tersebut sejak 2008. Bersama dua pekerja dengan spesialisasi alat musik berdawai dan perkusi, Endo mulai mewujudkan rancangannya di tempat produksinya di rumahnya di Bogor, Jawa Barat.

Sepanjang masa eksperimentasi sekitar 10 tahun, mereka menghasilkan pelbagai instrumen, di antaranya gitar akustik, gitar keroncong cak dan cuk, biola, cello, kecapi siter, kecapi indung, rincik, rebab, tarawangsa, gendang dogdog, gendang besar, serta kulanter. Semuanya dari bahan bambu. Total ada 16 jenis, tapi jumlahnya belum dihitung rinci, termasuk yang dibuat bersama para guru seni saat pelatihan. "Gitar dan gendang yang paling banyak, masing-masing mencapai belasan," kata Endo kepada Tempo, pertengahan Maret lalu.

Belakangan, Endo bungah karena sanggup membuat beduk dari bahan bambu. Dasar rancangannya mengacu pada pembuatan gendang. Kini ia sudah membuat dua beduk, yang pertama berdiameter 66 sepanjang 101 sentimeter. Sebuah yayasan membelinya seharga Rp 17,5 juta. Adapun beduk kedua berukuran lebih besar dengan diameter 76, panjangnya 109 sentimeter. Beduk yang menelan biaya produksi Rp 25 juta itu dihibahkan ke yayasan pondok pesantren Al Ghazaly dan ikut meramaikan perayaan Cap Go Meh di Bogor pada 2 Maret lalu. "Beduk dari bambu ini bisa dibilang yang pertama di dunia," ujarnya.

Gagasan membuat instrumen musik dari bambu muncul setelah Endo mendirikan Lembaga Pendidikan Seni Nusantara pada 2004. Kegiatan lembaga itu di antaranya membuat bahan ajar berupa buku dan video bagi siswa sekolah menengah pertama dan atas, yang disebarkan ke berbagai provinsi. Isinya mencakup seni teater, sastra, kaligrafi, hingga sistem hidup permukiman. Materinya tak hanya berisi teori, tapi juga praktik membuat instrumen dari bahan sederhana dan mudah didapat, misalnya membuat gong dari kaleng, piring seng, atau bahan sejenis. "Ini untuk menjawab pertanyaan guru, kenapa tidak mengajarkan kesenian tradisi," katanya. Upayanya juga untuk menjawab ketiadaan alat musik tradisional di sekolah-sekolah.

Dari kreativitas itu, muncul ide membuat instrumen berbahan bambu secara profesional. Endo mantap memilih bambu sebagai bahan karena seratnya bergaris lurus. Pola seperti itu yang dicari para empu gitar dan biola dunia sejak dulu dari kayu seperti mahoni, maple, spruce, dan sonokeling. Eksperimen instrumen bambu itu juga sebagai referensi bagi orang lain tentang cara pembuatan dan ukuran rinci bahan yang selama ini sulit didapatkan dari alat musik tradisional. "Alat musik kita belum menjadi pengetahuan publik dan akademik. Belum ada riset yang cukup besar," ujarnya.

Seniman kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 14 Juli 1947, itu harus bekerja keras mewujudkan idenya. Ratusan juta rupiah mengucur dari kocek pribadi dan bantuan kawan. Karena itu, ia akan mulai menjual karyanya. "Pertengahan tahun ini akan menerima pesanan," katanya. Sebuah gitar bambu yang dipamerkan pernah ada yang menawar seharga Rp 5 juta. Tapi Endo tak melepasnya karena sayang. Lagi pula ia belum tahu keawetan usia gitar yang terhitung baru jadi itu. Kini ia telah punya contoh gitar bambu yang berusia lima tahun dan percaya diri untuk melayani pasar.

Boleh dibilang pengerjaan instrumen bambu lebih rumit daripada pembuatan angklung atau suling. Bambu yang berbentuk silinder harus dipotong-potong hingga menjadi bilah-bilah tipis 2-4 milimeter untuk alat berdawai. Panjangnya belasan sentimeter menyesuaikan dengan jenis instrumen. Lempengan bambu itu kemudian disusun dan dilem menjadi lembaran atau ditumpuk beberapa lapis seperti untuk leher (neck) gitar, selanjutnya diamplas sampai permukaannya halus. "Semuanya tanpa dempul dan paku agar akustikanya bersih," ujar Endo. Beberapa alat produksi, seperti mesin amplas dan alat pressing, dimodifikasi sendiri karena tidak dijual di pasar.

Bambu yang menjadi bahan utamanya adalah jenis betung, yang umumnya berdiameter 16-18 sentimeter. Pada instrumen berdawai seperti gitar, betung yang tergolong bambu berbahan keras dipakai pada lapisan belakang dan samping. Pada lapisan depan badan gitar yang ditarik senar, bambu hitam menjadi pilihan karena lebih lunak daripada betung. Pola seperti itu merujuk pada pembuatan gitar kayu akustik. Resonansi senar dari lapisan lunak dipantulkan ke bahan yang keras untuk digaungkan lebih kuat, tapi suaranya harus direm material lain pada leher gitar. "Akustika itu dasarnya suara tidak boleh dikeluarkan semua karena bisa noise," kata Endo.

Struktur atau kerangka gitar, terutama pada badan, juga menjadi acuan utama bagi instrumen bambu berdawai. Sampai kini struktur gitar kayu itu dinilainya cocok dengan instrumen bambu. Menurut Endo, riset pembuatan gitar di dunia telah berlangsung selama 400 tahun hingga hari ini. Ia tinggal mempelajarinya dari Internet dan beberapa kali belajar di tempat pembuatan gitar lokal hingga ke pabrik gitar Taylor di Amerika Serikat yang telah berteknologi canggih. "Mereka terbuka. Saya jadi banyak menyontek daripada dicontek," ujarnya. Karena itu pula Endo enggan mematenkan hasil eksperimentasinya karena banyak belajar dan mencomot ilmu dari sejumlah sumber.

Endo juga menampik jika dianggap sebagai pembuat gitar bambu pertama, karena Yamaha pernah membuatnya pada 2000 setelah itu berhenti produksi. Menurut Endo, itu karena membuat gitar bambu lebih lama dibanding gitar kayu. Kini beberapa pembuat gitar di Bandung dan Cimahi juga berkarya seperti Endo. Sebagian merancangnya dengan bentuk baru yang berbeda dengan gitar umumnya. Endo memilih bentuk instrumen yang konvensional. Tujuannya agar mudah dimainkan dan tak asing di tangan pemain.

Meski berfokus pada pembuatan instrumen berbahan bambu, Endo mempelajari seluk-beluk pengolahan bambu. Ia menggunakan cara tradisional agar bambunya awet dan anti serangan hama. Batang-batang bambu dia rendam di kolam selama setahun, lalu dikeringkan beberapa bulan sebelum siap dipakai dengan cara diangin-anginkan di tempat teduh. "Pantang untuk mengeringkannya dengan cara dijemur," katanya.

Jika diolah dengan benar dan cermat, Endo yakin bambu sebagai material instrumen punya kekuatan. Umurnya bisa tahan lama dan kualitas suaranya tak kalah dibanding gitar kayu. Instrumen bambu juga punya warna berbeda dengan bahan kayu. Endo mendengarnya dari pengakuan para pemain kecapi atau gitar yang diminta menjajal karyanya, seperti Sawung Jabo.

Endo mengatakan sebenarnya ia tak menggandrungi gitar. "Tapi, karena perlu dan bermanfaat, saya kemudian mempelajari gitar," ujarnya. Kreasinya yang lebih condong ke gitar yang berasal dari Barat, kata Endo, merontokkan identitasnya sebagai seniman yang berkutat pada seni tradisional.

Sejak usia belasan tahun, Endo menjadi penari tradisional dan pemain gendang kelompok wayang golek di Majalengka. Lulus SMA, ia melanjutkan kuliah ke Akademi Seni Tari Indonesia, Bandung, hingga lulus pada 1973. Studinya berlanjut hingga menjadi sarjana di Akademi Seni Tari Yogyakarta. Setelah lulus, ia sempat mengajar di almamaternya dan menjadi pegawai negeri selama empat tahun. Status itu dia lepas karena merasa tidak cocok. Endo bekerja sebagai seniman yang membantu teater W.S. Rendra, membentuk grup kesenian di Bali, serta menjadi pekerja lepas di Surakarta dalam pembuatan film, tari, dan musik. Sempat ikut festival penata tari muda, ia memutuskan bersekolah lagi. "Bosan juga jadi seniman yang bebas," tuturnya. Endo kemudian meraih gelar master etnomusikologi dari Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat, pada 1983.

Sepulang ke Tanah Air, ia mengajar etnomusikologi di Universitas Sumatera Utara. Selain sebagai dosen, Endo mempelajari pedalangan dan wayang golek, kebudayaan Baduy di Banten, tari dan pembuatan topeng Cirebon, serta studi kesenian Batak pada 1984-1987. Ia melengkapi pendidikannya dengan menempuh program S-3 etnomusikologi di University of Washington sejak 1987 hingga lulus 1991.

Di Amerika, Endo sempat menjadi aktor utama pertunjukan teater eksperimental Aladdin. La MaMa Experimental Theatre Club, yang berbasis di New York, mengontraknya selama satu produksi. Ia bermain dua bulan di New York dan dua bulan lagi berkeliling ke berbagai tempat. Totalnya lebih dari 60 kali pementasan. "Ketika sudah dikontrak, jadi seperti kuli, tidak seperti seniman," ucapnya.

Selain mendirikan Lembaga Pendidikan Seni Nusantara pada 2004, Endo membentuk lembaga Tikar Media Budaya Nusantara pada 2007. Misinya mendokumentasikan semua produk seni dan budaya di seluruh Nusantara secara digital bersama relawan mantan mahasiswanya. "Tujuannya agar publik mendapat akses pengetahuan itu," katanya.

Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus