Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WESTMONT College di Santa Barbara, California, Amerika Serikat, kini menjadi markas baru bagi 12 anggota tim atletik Indonesia. Selama sebulan, mereka menjalani pemusatan latihan di kampus yang memiliki kultur olahraga kuat dan menghasilkan banyak tim juara tersebut. Sejumlah turnamen lokal juga menjadi arena uji coba para atlet yang disiapkan untuk Asian Games XVIII pada 18 Agustus-2 September 2018 itu.
Berlatih di Negeri Abang Sam menjadi pilihan utama Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) menggenjot kualitas para atletnya. Sekretaris Jenderal PB PASI Tigor Tanjung mengatakan Amerika memiliki banyak fasilitas dan program atletik terbaik. "Kiblat atletik dunia di sana. Kita harus bisa belajar dari yang terbaik," kata Tigor kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Dalam program ini, PB PASI awalnya merekrut 13 atlet. Mereka adalah Atjong Tio Purwanto (lari 3.000 meter halang rintang); Eki Febri Ekawati (tolak peluru); Eko Rimbawan, Lalu Muhammad Zohri, Fadlin, Bayu Kartanegara, Rio Maholtra, dan Yaspi Boby (lari estafet); Emilia Nova (lari 100 meter gawang); Idan Fauzan Richsan (lompat galah); serta Maria Natalia Londa, Sapwaturrahman, dan Suwandi Wijaya (lompat jauh). Pada 1 April lalu, hanya 12 atlet yang berangkat setelah Yaspi urung pergi karena terganjal masalah visa.
Menurut Maria Londa, program ini menjadi peluang besar untuk memperbaiki rekor dan mempelajari teknik yang digunakan para juara di Amerika. Peraih medali emas Asian Games 2014 itu ingin mempelajari strategi para atlet Amerika ketika bertanding dan memulihkan diri seusai lomba. Hal-hal seperti ini biasanya sulit didapat dari kompetisi besar seperti Kejuaraan Dunia dan Olimpiade. "Ini peluang untuk belajar sebanyak-banyaknya," ucap Maria, Kamis dua pekan lalu.
Dengan berlatih di Amerika, tim Indonesia juga mendapatkan panduan langsung secara mendetail dari pelatih atletik kawakan Harry Marra, yang menguasai teknik 10 nomor dasalomba. "Dia salah satu pelatih atletik terbaik saat ini," ujar Tigor.
Marra sudah lebih dari 30 tahun melatih para atlet dari tingkat sekolah menengah atas hingga profesional. Ia pernah menggembleng tim nasional dasalomba Amerika pada 1990-2000. Tangan dinginnya berhasil mengorbitkan sejumlah atlet elite dunia, di antaranya Paul Terek dan Ashton Eaton. Terek adalah anggota tim atletik Amerika yang turun di nomor dasalomba Kejuaraan Dunia 2003, 2005, dan 2007 serta Olimpiade Athena 2004. Sedangkan Eaton juara dasalomba Kejuaraan Dunia 2013 dan 2015 serta juara Olimpiade London 2012 dan Olimpiade Rio de Janeiro 2016.
Marra sudah tidak asing lagi dengan dunia atletik Indonesia. Perkenalannya dengan Indonesia berawal saat bertemu dengan Ketua Umum PB PASI Bob Hasan di sela Kongres Luar Biasa Federasi Atletik Dunia di Monte Karlo pada Desember 2016. Marra ternyata sahabat Tom Tellez, pelatih Amerika rekrutan Bob yang berhasil mencetak atlet andal seperti sprinter Purnomo dan Irene Joseph.
Sepanjang tahun lalu, sudah tiga kali Marra mampir ke Indonesia dan memberikan pelajaran teknik kepada para pelatih Indonesia. Menurut Tigor, bisa mendapatkan kembali bantuan Marra hingga Asian Games nanti merupakan keuntungan besar bagi Indonesia. "Membantu tim Indonesia lebih siap," katanya.
Seperti di Olimpiade, atletik merupakan olahraga primadona sekaligus tambang medali emas yang diincar para peserta di Asian Games. Atletik akan memperlombakan 48 nomor, tapi atlet Indonesia tidak turun di semua nomor. PB PASI berencana cuma menurunkan 16 atlet yang akan berlaga di 12 nomor dengan target meraih satu medali emas.
Indonesia terlihat kewalahan bersaing dengan negara-negara Asia. Cina, Jepang, dan Korea Selatan mendominasi di nomor lari jarak pendek. Adapun di nomor lari jarak jauh, negara-negara Timur Tengah menyodok dengan kekuatan para atlet naturalisasi dari Afrika. "Yang turun di Asian Games ini bukan cuma juara dunia, tapi sudah kelas dunia," ucap Tigor.
Dalam uji coba Asian Games, Februari lalu, Indonesia bisa meraih empat medali emas. Namun prestasi di Asian Games sebenarnya kembang-kempis. Jumlah medali emas di ajang uji coba itu setara dengan yang dikumpulkan Indonesia sejak mengikuti Asian Games perdana pada 1951.
Medali emas yang diraih Maria Londa di Incheon, Korea Selatan, empat tahun lalu bahkan memutus paceklik gelar juara selama 16 tahun setelah Supriyati Sutono memenangi nomor lari 5.000 meter pada 1998 di Bangkok. "Persaingan di Asia berat dan Indonesia sudah kesulitan mengejar," kata Deputi Menteri Pemuda dan Olahraga Bidang Peningkatan Prestasi Olahraga Mulyana, Rabu pekan lalu.
Menurut Mulyana, perkembangan atlet atletik dengan mudah dilihat dari data, grafik latihan, dan prestasi yang sangat dipengaruhi oleh teknik, pola latihan, dan nutrisi. Sebagai olahraga terukur, perubahan kecil pada pola latihan, makanan, atau kondisi fisik bisa berdampak besar pada pencapaian jarak dan waktu saat bertanding. "Butuh waktu panjang hanya untuk mempercepat waktu lari kurang dari setengah detik," ujarnya.
Yaspi Boby adalah sprinter tercepat Indonesia di nomor 100 meter pada 2017 dengan catatan waktu 10,39 detik. Pada uji coba Asian Games, Februari lalu, ia membukukan 10,48 detik. Meski demikian, rekor Yaspi masih tertinggal jauh dari para pelari Asia lain. Pelari Cina, Su Bing Tian, menorehkan catatan waktu 9,92 detik di kejuaraan Diamond League tahun lalu. Catatan waktu Su Bing Tian ini hanya tertinggal 0,01 detik dari Femi Ogunade, sprinter Qatar yang meraih medali emas pada Asian Games 2014. Bahkan Kei Takase, pelari Jepang yang kala itu hanya mendapat medali perunggu, berlari dalam tempo 10,15 detik.
Emilia Nova juga menjadi andalan Indonesia di nomor 100 meter lari gawang. Ia memegang rekor nasional dengan catatan waktu 13,35 detik, yang dibuatnya di Pekan Olahraga Nasional 2016. Namun, dalam uji coba Asian Games, catatan waktunya malah melambat menjadi 14,16 detik. Dengan catatan waktu seperti itu, ia jelas bukan lawan setara bagi para pelari wanita Asia lainnya.
Di Kejuaraan Asia tahun lalu, pelari Korea Selatan, Jung Hye-lim, melesat dalam 13,16 detik untuk merebut emas. Adapun Wu Shuijiao, pelari Cina yang meraih medali emas di nomor 100 meter lari gawang pada Asian Games 2014, mampu mencapai garis finis dalam 12,72 detik.
Eki Febri Ekawati, peraih emas tolak peluru SEA Games 2017 di Kuala Lumpur, juga belum bisa menembus target pribadinya untuk bisa melempar sejauh 16 meter. Lemparan terbaiknya, yang juga menjadi rekor nasional, adalah 15,60 meter. Sementara itu, atlet Asia sudah banyak yang melempar lebih dari 17 meter. Eki kini tengah memperbaiki teknik lemparannya untuk membuat rekor baru.
Tigor Tanjung mengatakan prestasi atletik adalah buah pembinaan secara berkelanjutan dalam jangka panjang yang didukung fasilitas berlatih memadai. Selama ini, menurut dia, persiapan kerap terhambat karena Stadion Madya Gelora Bung Karno, yang menjadi markas tim atletik, direnovasi. Para atlet terpaksa berlatih di tempat terpisah dengan fasilitas kurang memadai. "Belum ada sebulan ini kami akhirnya bisa kembali bersatu di Stadion Madya. Negara lain mungkin tidak seberat ini hambatannya."
Meski banyak ganjalan, menurut Tigor, kelemahan teknik berlomba yang selama ini mendera atlet Indonesia perlahan diperbaiki. Banyak hal bisa dimanipulasi dengan memperbaiki teknik ketimbang menggenjot kemampuan fisik, yang berisiko mencederai atlet. PB PASI akan memastikan nama-nama atlet untuk Asian Games setelah Kejuaraan Nasional pada Mei nanti.
Mulyana mengatakan tim atletik Indonesia sebaiknya berkonsentrasi pada nomor-nomor lomba yang lebih spesifik dan sudah dikuasai. "Kenya itu contoh bagus, mereka fokusnya cuma di nomor lari jarak jauh, yang lain enggak diambil. Hasilnya, mereka dijamin menang di Olimpiade," katanya.
Gabriel Wahyu Titiyoga
Prestasi Atletik di Asian Games
Tahun | Emas | Perak | Perunggu |
1951 | - | - | 5 |
1962 | 2 | - | 6 |
1966 | - | 1 | - |
1970 | - | - | 2 |
1982 | - | 1 | - |
1998 | 1 | 1 | - |
2014 | 1 | - | - |
Kontingen Atletik di Asian Games
2010: 9 atlet
2014: 3 atlet (1 medali emas)
2018: 16 atlet*
*Jumlah sementara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo