Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mau Dibawa ke Mana Colomadu

Bekas Pabrik Gula Colomadu di Karanganyar beralih fungsi menjadi concert hall, convention center, dan area komersial. Dikritik sejumlah pihak.

8 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR tiga ribu orang memadati salah satu ruangan di bekas Pabrik Gula Colomadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu tiga pekan lalu. Selama dua setengah jam, mereka larut dalam alunan musik yang ditampilkan musikus beken asal Kanada, David Foster, bersama sejumlah penyanyi Indonesia, yakni Anggun C. Sasmi, Sandhy Sondoro, Dira Sugandi, dan Yura Yunita, serta penyanyi R&B Amerika Serikat, Brian McKnight. Kolaborasi itu membawakan sejumlah lagu ciptaan Foster, antara lain Winter Games dan Through the Fire.

Konser musik bertajuk "The Hitman David Foster and Friends" tersebut merupakan bagian dari rangkaian pembukaan bekas Pabrik Gula Colomadu yang berganti nama menjadi De Tjolomadoe. Sebelumnya, bangunan di Jalan Adi Sucipto, Karanganyar, itu menjalani revitalisasi sejak April tahun lalu. Revitalisasi mengubah peran Colomadu dari pabrik gula menjadi concert hall, convention center, ruang rapat dan pameran, serta area komersial. "Pengerjaannya kurang dari sebelas bulan," kata Direktur Utama PT Sinergi Colomadu yang juga pengelola bangunan itu, Wahyono Hidayat.

Pabrik Gula Colomadu adalah bangunan bersejarah di Karanganyar. Mangkunegara IV (1811-1881) mendirikannya pada 8 Desember 1861-dengan nama Tjolomadoe-sebagai bangunan industri gula pertama milik bumiputra di tanah Jawa pada masa kolonial Belanda. Bahkan Colomadu pernah menjadi pabrik gula terbesar di dunia. Setelah Indonesia merdeka, Colomadu dinasionalisasi pemerintah republik dari tangan Praja Mangkunegaran. Nasionalisasi berlandaskan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1946 tentang Pembentukan Badan Penyelenggara Perusahaan Gula.

Dalam perkembangannya, Pabrik Gula Colomadu mengalami sejumlah dinamika hingga akhirnya berhenti beroperasi pada 1998. Sejak itu, bangunan Colomadu-yang menjadi milik PT Perkebunan Nusantara IX-terbengkalai. Belakangan, Presiden Joko Widodo meminta agar Colomadu dihidupkan kembali sebagai kawasan seni dan budaya bagi Solo Raya. Dari situ, sejumlah badan usaha milik negara menggagas revitalisasi Colomadu, yakni PT Pembangunan Perumahan; PT Pembangunan Perumahan Properti; PT Taman Wisata Candi Prambanan, Borobudur, dan Ratu Boko; serta PT Jasa Marga Properti.

Perusahaan pelat merah itu berkolaborasi membentuk konsorsium dan anak perusahaan bersama, PT Sinergi Colomadu, yang ditugasi mengurus revitalisasi dan pengelolaan bekas Pabrik Gula Colomadu. Penandatanganan perjanjian pendirian konsorsium sekaligus peletakan batu pertama dimulainya revitalisasi Colomadu dengan total luas 19,7 hektare berlangsung pada 8 April tahun lalu. Perencanaan kawasan bekas pabrik gula itu diperkirakan berlangsung secara bertahap selama 30 tahun. Revitalisasi tahap awal rampung pada Maret lalu, yang mencakup luas bangunan 1,3 hektare di atas lahan 6,4 hektare.

Dalam pelaksanaannya, revitalisasi tersebut melibatkan PT Airmas Asri sebagai konsultan arsitektur dan Yuke Ardhiati-arsitek lulusan Universitas Sebelas Maret Solo yang juga pakar cagar budaya-sebagai pendamping konsultan arsitektur. Sistem pendampingan dilakukan lantaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya mengamanatkan adanya tim perencana bagi pekerjaan revitalisasi. Adapun Colomadu sedang menunggu penetapan status sebagai cagar budaya.

Yuke mengatakan ia bertugas mendata keberadaan bekas Pabrik Gula Colomadu dan melakukan riset dokumen gambar arsitektur bangunan itu untuk menentukan sikap terkait dengan revitalisasi. "Ini untuk menentukan jenis revitalisasi yang tepat agar perencanaan dapat diakomodasi," ujarnya. Semuanya dilakukan dengan berpatokan pada keinginan konsorsium BUMN itu dalam merevitalisasi Colomadu. "Mereka ingin mengekspos pusaka artefak sebagai unggulannya."

Kerja PT Sinergi Colomadu bersama konsultan arsitektur itu telah mengubah wajah Colomadu. Semula, bangunan yang mangkrak selama hampir 20 tahun itu tampak usang dengan beberapa kerusakan cukup parah. Mesin-mesin raksasa di dalamnya juga berkarat dan sekitar bangunan dipenuhi semak. Kini ia telah bersolek. Colomadu terlihat sangat megah, lengkap dengan cerobong asapnya yang menjulang. Temboknya terlihat kokoh dan bersih. Meski telah dicat ulang, bentuk dan ornamennya masih memperlihatkan usia bangunan yang sudah uzur.

Gedung bagian belakang pabrik itu kini berfungsi sebagai concert hall berkapasitas 3.000 orang. Di situlah konser David Foster digelar. Dulu, gedung itu berfungsi sebagai tempat finishing untuk memproses cairan nira tebu menjadi kristal gula. Adapun ruangan stasiun gilingan-yang menjadi pintu masuk untuk mengakses ruangan lain di Colomadu-akan dijadikan museum. Saat ini ruangan stasiun gilingan baru diisi mesin dengan roda gigi raksasa dan rangka-rangka baja merah menyala. Mesin kuno tersebut dulu dipakai untuk menggiling tebu, sedangkan rangka baja digunakan sebagai rel untuk crane pengangkat tebu.

Pada bagian lain, ruangan besali yang dulu menjadi bengkel tempat reparasi dan pembuatan suku cadang berubah fungsi menjadi kafe. Di sana, meja dan kursi tertata rapi dengan beberapa mesin kuno yang menyembul di antaranya. Penggunaan ruangan lain pun nyaris serupa dengan besali. Pengelola mengubah fungsinya menjadi tempat komersial, seperti restoran, kafe, dan gerai suvenir. Bahkan ada ruangan yang kelak difungsikan untuk berbagai keperluan, seperti rapat, konvensi, dan pameran dengan kapasitas 1.000 orang.

Direktur Utama PT Pembangunan Perumahan, Tumiyana, mengatakan revitalisasi Colomadu dimaksudkan untuk mengembalikan kejayaan Colomadu yang pernah menjadi pabrik gula terbesar pada zamannya. "De Tjolomadoe diharapkan menjadi destinasi wisata heritage terbaru yang dapat difungsikan sebagai pusat kebudayaan dan concert hall berkelas internasional," ucap Tumiyana.

Menteri BUMN Rini Soemarno juga punya harapan yang sama, yakni ingin Colomadu kembali terkenal. "Kalau Colomadu pernah menjadi pabrik terbesar di dunia, saya ingin concert hall ini juga terkenal di dunia," kata Rini. Karena itu, rangkaian pembukaan bekas Pabrik Gula Colomadu-sebelum nantinya diresmikan Jokowi-sengaja menampilkan konser musikus kenamaan David Foster, yang telah mengorbitkan banyak penyanyi terkenal. "Kami undang David Foster karena ingin menjadi atensi internasional," ujar Rini ketika membuka konser David Foster di Colomadu pada 24 Maret lalu.

n n n

DI sisi lain, alih fungsi Colomadu ternyata memunculkan sejumlah kritik. Seniman asal Solo, Sardono W. Kusumo, menyoroti Colomadu yang hanya menjadi concert hall. Sardono pernah menggelar pertunjukan di Colomadu pada 2015 dan 2016. Waktu itu dia mengajak sejumlah seniman, antara lain Rachman Sabur, Bambang Besur Suryono, dan Otto Sidharta, untuk mementaskan karyanya dalam perhelatan seni budaya Fabriek Fikr. Mereka diajak menyelami bangunan Colomadu dan menjadikannya sebagai inspirasi dalam membuat karya seni.

Menurut Sardono, Colomadu merupakan tempat yang sangat menarik untuk dijadikan site-specific performance, pementasan karya seni yang dibuat dengan mengambil inspirasi dari situs yang dipakai sebagai lokasi pertunjukan. "Ruang latar pementasan bukan sebagai obyek pertunjukan, tapi juga menjadi sebuah subyek," ujar Sardono. Ia mengatakan Colomadu bukan sekadar bangunan tua, tapi menyimpan sejarah, nilai, budaya, hingga ilmu pengetahuan. Sebab, pabrik itu dibangun berdasarkan hasil revolusi pemikiran pada masa lalu, yakni dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri.

Sardono menyayangkan jika Colomadu hanya dijadikan sebagai tempat pertunjukan yang biasa-biasa saja dan orientasinya komersial. "Artinya, pertunjukan yang sebenarnya bisa dipentaskan di mana saja," ucap koreografer itu. Padahal, ia melanjutkan, konsep site-specific performance saat ini justru tengah dikembangkan di banyak negara. Karena itu, menurut Sardono, nilai dan gagasan besar yang melandasi pendirian Colomadu semestinya juga diterapkan dalam revitalisasi bekas pabrik gula itu. "Bangunan ini bukan sekadar benda mati."

Pengamat seni Halim H.D. juga menyayangkan pembukaan Colomadu yang justru menyuguhkan konser David Foster. Menurut dia, ada banyak seniman asal Solo yang punya nama di dunia dan sering tampil di sejumlah negara, seperti Eko Supriyanto, Suprapto Suryodarmo, dan Rahayu Supanggah. Mereka mampu membuat karya besar dengan mengambil inspirasi dari lingkungan lokasi pementasan. "Sedangkan karya David Foster sebenarnya bisa dipentaskan di mana saja," katanya. Halim khawatir Colomadu akan menjadi tempat pertunjukan komersial yang hanya bisa diakses kalangan tertentu.

Tak cuma itu, kritik pun muncul dalam pemilihan nama De Tjolomadoe. Pihak Praja Mangkunegaran, pendiri Colomadu, menganggap penamaan De Tjolomadoe sebagai sebuah penyimpangan sejarah, karena mengesankan Colomadu sebagai peninggalan pemerintah kolonial Belanda. "Sepertinya pengelola tidak percaya diri jika menggunakan nama yang sesuai dengan budaya sendiri," ujar Didik Wahyudionno, salah seorang anggota tim pengembalian aset Mangkunegaran.

Arsitek sekaligus pemerhati sejarah Bambang Eryudhawan juga menganggap penamaan De Tjolomadoe tidak pas. Sebab, nama Tjolomadoe berasal dari ejaan Van Ophuijsen yang dipakai pada masa kolonial Belanda. Menurut Bambang, sesuai dengan ejaan baru, semestinya bangunan itu bernama Colomadu, atau Tjolomadu sesuai dengan ejaan republik (Soewandi) yang dipakai sejak 1947. Penamaan itu tanpa menambahkan kata "De" di depannya, yang terkesan bernuansa Belanda. "Apa urusannya sama Belanda? Bangunan itu dulu punya Mangkunegaran, bukan Belanda," ucapnya.

Di luar itu, Bambang juga menyoroti penataan kawasan di sekitar Colomadu. Menurut dia, revitalisasi Colomadu akan berdampak terhadap wilayah sekitarnya. Misalnya kemunculan area ekonomi baru atau tuan tanah yang menguasai lahan di sekitar Colomadu. Apalagi revitalisasi itu diharapkan mengundang banyak orang untuk datang. "Kita boleh memikirkan bekas pabrik gula itu, tapi jangan lupa perencanaan kotanya," kata Bambang. "Jangan cuma mikirin di dalamnya, dampaknya ke pinggiran bagaimana?"

n n n

YUKE Ardhiati menyatakan tak ada yang salah dalam pemanfaatan Colomadu sebagai fungsi komersial selama revitalisasi dilakukan sesuai dengan prosedur. Menurut dia, pemanfaatan secara komersial justru supaya Colomadu bisa membiayai segala kebutuhannya sendiri. "Sebagai venue, De Tjolomadoe tidak bisa berdiri sendiri," ujar Yuke. "Ia memerlukan mixed used agar antara program budaya dan komersial bisa saling menghidupi."

Ihwal De Tjolomadoe, Yuke mengatakan nama itu dipilih lantaran dianggap tepat karena nama lama pabrik gula tersebut adalah Suikerfabriek Tjolomadoe. "Dengan mengembalikan kepada ejaan lama, warganet akan lebih mudah mengaitkan hubungannya dengan peristiwa kesejarahan yang tersaji di dunia maya," ucapnya. Yuke pun tak menyalahkan jika De Tjolomadoe dianggap terlalu berorientasi Belanda karena, menurut dia, pabrik gula itu dibangun Mangkunegara IV dengan dibantu pemerintah kolonial Belanda. Adapun soal dampak revitalisasi Colomadu, Yuke menyatakan tujuannya masyarakat Solo Raya dan Karanganyar bisa mengembangkan potensi ekonomi mereka. "Bertumbuhnya penguasaan tanah dan hal-hal lain tentu tidak terelakkan," katanya. Yuke menegaskan perencanaan kawasan Colomadu akan dilakukan bertahap hingga 30 tahun ke depan.

Bisa dipastikan kawasan sekitar Colomadu lambat-laun akan dipenuhi area komersial semacam mal. Di tengah kawasan seperti itu, yang dikhawatirkan para seniman adalah Colomadu tak akan pernah menjadi pusat kesenian atau pusat kebudayaan sesungguhnya; yang unik, yang menimbulkan gairah eksperimental, yang mampu merangsang kreativitas para seniman sehari-hari dan bisa dipergunakan seniman secara mudah. Ia tidak akan pernah menyediakan suatu atmosfer berkesenian untuk seniman dari segala lapisan-sesuatu yang amat dirindukan para seniman lintas disiplin. Sebab, dengan menggelar pembukaan dengan konser David Foster, terlihat arah pengelolaan concert hall Colomadu mirip dengan katakanlah di Sentul International Convention Center, yang hall utamanya bisa menampung 11 ribu penonton. Selama ini, sejak 2011, di tempat itu tampil penyanyi pop dunia, seperti Justin Bieber, Kylie Minogue, Katy Perry, Shahrukh Khan, dan terakhir Celine Dion. Tapi sehari-hari tak banyak kegiatan seni yang berlangsung di sana.

Prihandoko, Ahmad Rafiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus