Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Skenario film Kabut Berduri karya Edwin dan Ifan Ismail menjadi Skenario Pilihan Tempo 2024.
Kisah pembunuhan berantai dengan latar perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan.
Cerita Kabut Berduri memelihara ketegangan hingga akhir film.
KABUT yang menyelimuti sekujur hutan, kepala demi kepala yang menggelinding, pembunuh berantai hutan di perbatasan, dan gosip hantu komunis. Itulah kata-kata kunci yang kemudian melahirkan skenario film Kabut Berduri yang saat ini masih tayang di saluran Netflix.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para juri memilih skenario film ini sebagai pilihan Tempo karena beberapa hal. Pertama, dalam dunia sinema Indonesia, film detektif bukanlah pilihan populer karena secara teknis cukup rumit. Genre ini juga tidak bisa tidak harus melibatkan aparat. Pada 2024, yang mayoritas didominasi film bergenre horor, mungkin Kabut Berduri adalah satu-satunya film detektif whodunnit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kedua, yang lebih menarik, sebagai penulis skenario, Edwin—yang juga menyutradarai film ini—bersama Ifan Ismail memilih perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Tak aneh, ketika kisah dimulai dengan kepala-kepala yang bergelindingan, aparat dari kedua negara sama-sama muncul.
Edwin mengungkapkan, dia menyimpan ide cerita ini sejak 2010. Semuanya berawal dari dokumen pengalaman peneliti Dave Lumenta yang mempelajari antropologi perbatasan. “Foto-foto yang dikumpulkan Dave dari 1990-an sampai awal 2000-an menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang membuat saya tak henti membayangkan suasana-suasana sinematis yang mungkin terjadi dalam sebuah film,” tutur Edwin, mengisahkan latar belakang ketertarikannya pada lokasi dan kebudayaan di perbatasan itu.
Produser Meiske Taurisia (kiri), sinematografer Gunnar Nimpuno, sutradara dan penulis skenario Edwin serta Muhammad Zaidy dalam syuting film Kabut Berduri. Foto oleh Eriek Juragan/Netflix Indonesia
Dalam kisah kriminalitas, dengan adanya para korban penebasan leher itu, Jakarta menerbangkan Inspektur Polisi Dua Sanja Arunika (Putri Marino dalam penampilannya yang terbaik) ke hutan belantara tersebut. Dia disambut selimut kabut yang mengandung berbagai konflik sosial dan persoalan internal dalam masyarakat sekaligus cibiran para kolega lelaki. Sanja mewakili penonton awam yang sama sekali tidak memahami problem di Kalimantan nun jauh dari kota-kota besar pulau Jawa.
Namun Edwin dan Ifan tidak membiarkan cerita film ini berjalan dengan sudut pandang “mata orang luar” belaka. Cerita Kabut Berduri juga memperkenalkan tokoh Brigadir Polisi Kepala Thomas Martinus (Yoga Pratama) yang sama uniknya karena dia adalah perwakilan orang asli yang menerjang kolega barunya dengan jawaban-jawaban dan pertanyaan kritis.
Yang membuat skenario dan film ini menarik adalah, babak demi babak, perkembangan kasus yang ditelusuri Sanja dan Thomas selalu saja menimbulkan kejutan. Adegan demi adegan disusun dengan rapi sembari sedikit demi sedikit dibeberkan informasi baru tanpa menumpahkan semua kejutan. Di antara teka-teki siapa sang pembunuh berantai, penonton juga ikut menyusuri silang sengketa internal di perbatasan Indonesia-Malaysia, intrik di antara polisi, dan situasi masyarakat Dayak.
Hasil skenario ini adalah film yang padat, seru, dan atmosferis yang memelihara ketegangan hingga akhir.
Putri Marino sebagai Sanja dalam film Kabut Berduri. Foto oleh Eriek Juragan/Netflix Indonesia
Lalu bagaimana sineas Edwin yang juga menulis skenario ini bekerja sama dengan Ifan Ismail? Menurut Ifan, dengan bekal riset antropolog Dave Lumenta, mereka berdua mulai melakukan riset pada 2022. “Kami secara intens berdiskusi untuk membangun semesta cerita, mau ke mana arahnya, dan bagaimana membangun karakter,” ujar Ifan.
Hal yang menarik, selain cerita dan latar yang dipilih Edwin, adalah tokoh-tokohnya. Sanja, Thomas, Panca, dan Bujang adalah tokoh yang unik yang tentu saja hidup setelah diberi napas oleh para pemainnya.
Metode kerja sama mereka adalah menulis draf awal secara bergantian. “Ketika sudah mulai terasa bentuknya, Edwin mulai memasukkan point of view yang fresh dan memberi pendekatan khas Edwin,” tutur Ifan.
Meski ini kerja sama pertama bagi Ifan dan Edwin, mereka sama-sama merasa cocok. Edwin menuturkan, dia dan Ifan mempunyai insting dan radar yang sama serta menyukai film-film detektif klasik. “Tidak disadari, selama proses, kami berdua kadang-kadang belagak menjadi detektif juga. Menggali bukti-bukti, mencari motif, tapi juga tak melupakan insting kami,” kata Edwin menjelaskan kekompakannya dengan Ifan.
Edwin (kanan) dan Ifan Ismail menerima penghargaan kategori Penulis Naskah Pilihan Tempo di malam penghargaan Festival Film Tempo di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 5 Februari 2025. Tempo/M Taufan Rengganis
Edwin bahkan menganggap dia dan Ifan saling mengisi. “Saya merasa kami adalah detektif, saya adalah Mulder, sementara Ifan adalah Scully,” ucap Edwin menggunakan referensi tokoh seri terkenal The X Files—Fox Mulder adalah detektif yang menggunakan insting, sementara Dana Scully, pasangannya, selalu menantangnya dengan argumen rasional.
Keduanya sepakat bahwa pada akhirnya skenario dalam sebuah produksi film bagaikan blueprint desain suatu rumah. Edwin mengatakan sebuah skenario film yang bagus harus bisa menghadirkan kemungkinan-kemungkinan bermimpi, walaupun pada saat yang bersamaan mesti dapat diukur secara teknis. “Imaginative and tangible,” ujar Edwin.
Kesan setelah menyaksikan Kabut Berduri: skenario karya Edwin dan Ifan tak hanya menjadi “blueprint”, tapi juga kerangka dan fondasi sebuah produksi film. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawa judul Saat Edwin dan Ifan Menciptakan Kabut