Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Garin Nugroho: Sutradara Film Pilihan Tempo 2024

Garin Nugroho mampu menyajikan film Samsara yang didasari pemahaman utuh akan tradisi pewayangan dan sinema dengan apik.

9 Februari 2025 | 08.30 WIB

Sutradara Garin Nugroho saat sesi foto di kawasan Tebet, Jakarta, 29 Januari 2025. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Sutradara Garin Nugroho saat sesi foto di kawasan Tebet, Jakarta, 29 Januari 2025. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Garin Nugroho menjadi Sutradara Film Pilihan Tempo 2024.

  • Film Samsara menjadi jejak perjalanan Garin Nugroho dalam mengeksplorasi kebaruan.

  • Garin mampu menyajikan film berdasarkan tradisi wayang dan sinema dengan apik.

KETIKA saya menonton film Samsara untuk pertama kalinya di layar bioskop, tampilan hitam-putih dalam tata kamera yang memukau ini memberikan pengalaman menonton yang unik. Penataan musik yang menggabungkan unsur elektronik dengan tradisi mampu memunculkan rasa yang kuat tanpa hadirnya dialog di sepanjang film.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pun penataan kostum dan karakter yang bercorak panggung beserta pengadeganan yang meminjam ilmu pewayangan membuat Samsara menjadi film yang berkesan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Cerita film karya sutradara Garin Nugroho ini sebenarnya sangat sederhana dan klasik: seorang lelaki papa ingin menikahi anak perempuan raja, terhalang status, lalu dupa berbicara. Ini sebuah impian, juga mungkin kenyataan, yang sering terjadi di masyarakat kita dan muncul dalam kisah tragedi percintaan yang seolah-olah selalu menarik. Bahkan Garin sendiri pernah menggunakan premis yang sama dalam film Setan Jawa dan Opera Jawa, meski yang terakhir ini tidak betul-betul persis. 

Namun kisah seorang manusia yang menggugat ketidakadilan struktur sosial masyarakat yang memisahkan kelas-kelas sosial berdasarkan kemampuan ekonomi hampir selalu muncul dalam film Garin. Misalnya kisah Rumi-Yuli dalam Aach... Aku Jatuh Cinta. Lalu dalam film-film lamanya, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Daun di Atas Bantal, dan Cinta dalam Sepotong Roti

Menonton Samsara membuat saya membayangkan film-film lawas dalam tradisi bertuturnya yang awal, jauh sebelum dialog menjadi bagian langsung dari produksi film. Film-film awal itu memang kerap meminjam cerita yang telah populer di masyarakat, dan sering kali kisah cintalah yang diadaptasi menjadi tontonan film.

Tradisi Eropa atau Barat itu sangat bergantung pada dua hal: ilmu pertunjukan dan sastra. Banyak film di era ini yang diadaptasi dari karya sastra dan model pengadeganannya didasari ilmu pertunjukan, seperti teater, tari, dan bahkan sulap. Penyajiannya diiringi seorang komposer yang bersama para musikus membawakan gubahan musik orkestra yang membantu mendorong emosi dalam film tersebut masuk lebih jauh ke benak penonton. Sering pula ada dukungan teks yang muncul sejenak untuk membantu menjelaskan jalan cerita atau adegan, yang lalu menghilang dan membiarkan gambar di dalam layar bergerak menunjukkan gambar dan adegan selanjutnya.

Sutradara Garin Nugroho di balik layar pembuatan film Samsara. Foto/Batara Goempar/Cineria Films

Teknologi perekaman audio kemudian ditemukan dan mengubah konsep pembuatan film sepenuhnya karena tokoh-tokoh dalam film kini betul-betul dapat berbicara. Warna dalam film pun lantas hadir. Kedua hal itu menandai era baru ilmu film yang melahirkan berbagai macam eksplorasi dalam bercerita dan menyajikan tontonan yang menarik serta menutup era film klasik sekaligus membuka jalan era film modern hingga saat ini. 

Garin Nugroho melihat ada yang tak kalah penting dalam sejarah bertutur dan hiburan masyarakat dalam konteks budaya Indonesia atau Timur, yaitu ilmu wayang. Tentu kita tahu, wayang adalah ilmu tua yang mengakar pada sejarah manusia Indonesia.

Pertunjukan wayang bisa memikat dan mendatangkan banyak orang serta begitu berkesan. Wayang juga pernah menjadi satu-satunya pertunjukan elite bagi masyarakat karena hanya penggede dan penguasa yang mampu menyajikannya, baik sebagai bagian dari hajatan desa, hiburan masyarakat pekerja pabrik atau kebun tebu, maupun perayaan ulang tahun sebuah kota.

Bertemunya beberapa hal—Barat dan Timur, klasik dan modern, tradisi dan baru, manusia dan hewan, kaya dan miskin, cantik dan buruk, benar dan salah, menindas dan ditindas, ilusi dan nyata—dalam satu film menunjukkan betapa kisah manusia sebenarnya tidaklah pernah berbeda. Hal itu berputar di tempat yang sama, bertabrakan dan bercerai-berai, mati, dan kemudian lahir kembali, terus hidup dan berulang, seperti dalam Samsara

Film ini menyajikan begitu banyak hal, tapi kita tidak diajak untuk memilih salah satunya. Meski cenderung berpihak kepada yang ditindas, Garin menyajikan tokoh dan karakter dalam film ini sebagai manusia yang kompleks dan rumit, tapi dengan keinginan yang begitu sederhana: dicintai dan mencintai, hidup bahagia dalam cinta, saling memiliki.

Premis ini memang kerap muncul dalam cerita-cerita film sebelumnya. Namun cara Garin menyajikannya begitu unik dan khas sehingga film Samsara menjadi tontonan yang berkesan dan meninggalkan jejak lama di benak saya hingga jauh setelah meninggalkan bioskop.

Aktor Ario Bayu dan Juliet Widyasari dalam perannya di Film Samsara. Foto/Batara Goempar/Cineria Films

Sebagai sutradara dan penulis, Garin kerap bereksplorasi dalam mencari bentuk sinema sendiri, atau kecenderungan artistik sendiri, seperti pelukis yang mempunyai corak, gaya, dan garis sendiri.

Tentu ada banyak risiko menjadi sutradara seperti dia, mengingat industri film umumnya dibuat untuk menghibur penonton semata, di Indonesia ataupun di dunia. Namun dia terus berusaha menyajikan yang tak terlihat dan tak terjamah. Tentu tidak semua usaha dan filmnya berhasil atau menjadi mudah dipahami.

Tapi, hingga hari ini, eksplorasi dan ketekunan Garin mengasah keterampilannya dan masuk ke jalan-jalan baru membuatnya menjadi sutradara yang berkarakter kuat dan khas. Samsara adalah salah satu film yang berhasil menemukan jalan yang lebih mudah bagi penonton untuk memahami cerita dan merasakan para tokoh di dalamnya. 

Gaya, cara, eksplorasi dalam ilmu film dan perkembangannya begitu beragam dari era ke era. Sangat banyak sutradara, penulis, produser, penata kamera, editor, dan lain-lain yang muncul dan berkarya.

Namun yang tidak pernah berubah adalah tujuan suatu film dibuat, yaitu membangun koneksi antara pembuat dan penonton sehingga cerita dan pesan yang sampai di benak penonton mampu membuat penonton memahami dan merasakan hal yang dialami tokoh dan karakter dalam film yang disajikan. Film bisa menjadi hiburan ataupun produk intelektual pembuatnya, keduanya sah dan penting bagi perkembangan peradaban manusia.

Salah satu adegan pada film Samsara. Foto/Batara Goempar/Cineria Films

Garin Nugroho dinobatkan sebagai Sutradara Film Pilihan Tempo 2024 karena kemampuannya dalam menyajikan film Samsara yang didasari pemahaman utuh akan dua ilmu dan tradisi: wayang dan sinema. Keduanya jarang sekali terlihat bersatu dalam film-film Indonesia kontemporer. Menariknya, Garin mampu bercerita kepada penonton dengan terang dan runtut meski tanpa menggunakan sedikit pun dialog dalam film. 

Sebagai sutradara yang memegang visi utama sebuah film, Garin mampu menjalankan tugas dengan baik. Ia menjadi mercusuar gagasan sebuah film dan mengantarkan seluruh divisi artistik ataupun teknis menuju tempat berlabuh yang aman dan nyaman untuk dinikmati oleh masyarakat luas, oleh penggemar film ataupun wayang, tanpa menjadi tontonan yang sulit dipahami. 

Film ini menjadi sebuah homage yang apik bagi film bisu yang dalam sejarahnya terkait langsung dengan sejarah sinema Eropa yang kemudian berkembang mempengaruhi semua bahasa film dunia. Sejarah itu dipertemukan dengan tradisi wayang yang tak kalah tuanya tapi berakar dari tradisi Timur, khususnya India, yang unik untuk dipertautkan bersama dalam satu karya, baik dalam pertunjukan panggung maupun film.

Samsara adalah tanda perjalanan Garin yang selalu berusaha menemukan baik yang baru maupun yang lama dalam jalan setapak yang ia hidupi selama berpuluh tahun. Mungkin hingga bertahun mendatang, kisah yang sama, premis yang sama, akan didatangi kembali dengan cara-cara yang berbeda, dalam perspektif yang baru, lahir kemudian mati, berputar dan berulang, entah sampai kapan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Eksplorasi Garin Menemukan Kebaruan

Ismail Basbeth

Ismail Basbeth

Produser dan salah satu pendiri Matta Cinema Production dan Bosan Berisik Lab serta sutradara film Keluarga Cemara 2 dan Sara

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus