WARGA kota Bandung tak hanya bicara soal banjir. Tapi juga soal
becak. Mungkin karena banjir hari-hari pertengahan Desember ini
kebetulan hanya gawat di Kecamatan Pameungpeuk dan Buahbatu di
luar kota. Atau mungkin karena banjir yang agak gawat ini pun
rutin 4 tahun sekali sebab kali Citarum seperti dikatakan
beberapa pejabat terlalu berkelok-kelok dan banyak yang dangkal
sehingga kewalahan di musim hujan. Yang pasti di tengah
peristiwa banjir itu rencana penghapusan becak di Kota Bandung
tetap menarik perhatian warga kota ini.
Sembilan puluh lima pengemudi becak berkumpul di halaman Gedung
Kertamukti. Sejumlah pejabat berdiri di hadapannya. Terdengar
pidato. Setelah itu resmilah 95 pengemudi becak tadi
meninggalkan becak masing-masing.
Itu terjadi awal September lalu. Tapi usaha pertama Dinas
Perburuhan Jawa Barat untuk menghapuskan becak di seluruh
propinsi ini belum berakhir. Sebab jumlah becak di Kota Bandung
tercatat sekitar 30 ribu. Untuk menghapuskannya disebut-sebut
rencana motorisasi. Beberapa waktu lalu Gubernur Aang Kunaefi
memang sudah membentuk Tim Asistensi Perbecakan. Dengan tugas
menyiapkan rancangan Peraturan Daerah mengenai perbecakan dan
konsep motorisasinya. Di samping menyelenggarakan inventarisasi
becak, pengemudi dan pengusahanya yang ada.
Baru tahun depan tim itu akan selesai bertugas. Sambil menunggu
konsep dan selanjutnya pelaksanaan motorisasi becak itu, dinas
perburuhan mengambil gagasan mendidik sejumlah abang becak. Ke
95 pengemudi yang meninggalkan becaknya masing-masing itu adalah
mereka yang sudah diarahkan.
Saya Cadu
Mereka kini ada yang menjadi juru parkir, tukang cukur, tukang
las, tukang tembok, juga tukang ojek sepeda. Yang terakhir
menerima sumbangan sepeda dari Gubernur Jawa Barat Aang Kunaefi:
Yaya, 36 tahun, berterima kasih atas usaha dinas perburuhan. Ia
termasuk 95 orang yang sudah pindah profesi. Setelah 6 tahun
mengayuh becak ia kini menjadi tukang cukur. Kendati masih
sedang berusaha untuk masuk salah satu Pasar Inpres.
"Saya cadu jadi tukang beca lagi." Itu komentar Tarman, 35
tahun. Cadu (Sunda) artinya tidak mau lagi.
Jelasnya Tarman mengaku berbahgia kini. Ia menerima sepeda
seharga Rp 30 ribu dari gubernur untuk diojekkan. "Hasilnya
cukup, tanpa harus bekerja berat seperti jadi tukang becak
dulu."
Menurut Kepala Dinas Perburuhan Jawa Barat drs Safiudin
Sastrawijaya SH, minat para pengemudi becak untuk beralih ke
usaha lain memang besar. Itu diketahuinya ketika beberapa waktu
lalu ia berdialog dengan kalangan yang bersangkutan. "Yang
penting asal pemerintah mau menunjukkan jalan," begitu
dikatakan.
Satu hal, misalnya di Cirebon, masalah jalan penyaluran itu
mungkin tidak harus ke sektor pertukangan. Sebab di sana dikenal
ada tukang becak musiman. Yakni tukang becak yang hanya muncul
apabila di kampung-kampung padi belum bisa dipanen.
Tak heran Komandan Satlantas Koresta 851 Cirebon Letnan Satu
Polisi Adjar Triadi sedikit optimis ketika baru-baru ini hendak
melaksanakan perluasan Daerah Bebas Becak. "Sementara mereka
mudik, kita laksanakan perluasan itu," kata Adjar.
Jumlah pengemudi becak musiman di Cirebon itu separo dari jumlah
14 ribu pengemudi becak seluruhnya. Di Cirebon beberapa waktu
lalu ketentuan DBB hanya untuk Jalan Siliwangi dan Jalan
Pasukaten saja. Belakangan sudah rambah dengan Jalan Pekiringan,
Kalibaru, Pandesan dan Karanggetas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini